tirto.id - Laporan Komnas HAM mengenai temuan pelanggaran dan kekerasan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Yogyakarta menjadi angin segar bagi Vincentius Titih Gita Arupadhatu. Ia merupakan narapidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang menjadi salah satu korban dari kekerasan yang dilakukan oleh petugas lapas tersebut.
Bersama pengacaranya Anggara Adiyaksa, Vincent menceritakan upayanya untuk mendapat keadilan atas siksaan yang dialami selama menjadi WBP di Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta.
“Begitu saya masuk lapas, tanpa adanya kesalahan apa pun langsung dipukuli menggunakan selang, diinjak, ditendang," kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (9/3/2022).
Tidak hanya dengan tangan kosong, para sipir juga melakukan kekerasan dengan sejumlah alat seperti selang dan perkakas bangunan yang berada dalam lapas.
“Selain diinjak dan saya dipukul menggunakan kabel hingga meninggalkan bekas cukup banyak di tubuh saya," terangnya.
Menurutnya siksaan yang menimpa WBP dilakukan secara merata. Tanpa peduli apakah mereka tahanan baru atau residivis yang mengulang kejahatan yang sama.
“Bahkan ada tahanan titipan dari kejaksaan yang belum terbukti secara sah melakukan kejahatan, namun sudah mendapat perlakukan tidak manusiawi. Seperti dipukuli hingga ditelanjangi selama semalaman hingga menggigil,” kata Vincent.
Luthfi Farid serupa nasibnya dengan Vincent. Ia mengaku menjadi bahan 'mainan' para sipir dalam lapas. Dirinya diperintahkan untuk berguling-guling di sebuah lapangan voli sambil mendapat cambukan dengan kabel yang sengaja dipersiapkan.
“Saat itu saya dipaksa mengakui kesalahan yang tidak saya lakukan yaitu membawa handphone. Padahal mereka tidak memiliki bukti atas tuduhan tersebut,” kata Luthfi.
Selama disiksa, Luthfi menyebut para pejabat lapas menyaksikan tindakan para sipir tersebut. Namun mereka hanya diam saja.
“Saat itu disaksikan oleh sejumlah pejabat dan ada juga kepala hingga saya dimasukkan dalam sel isolasi," ujarnya.
Siksaan masih belum berhenti. Dalam sel isolasi, Luthfi tidak diberi pakaian yang layak, diletakkan dalam ruangan tanpa cahaya dan hanya diberi makan sekali dalam sehari.
“Saya tidak diberi pakaian yang layak dalam beribadah, makan hanya dengan tiga suap nasi tanpa lauk, dan tidak ada alat salat serta alat mandi sebagaimana yang harus disiapkan oleh petugas," ujarnya.
Selain mendapat siksaan karena fitnah tanpa bukti, para WBP juga kerap diperlakukan kasar dalam kesehariannya. Seperti pintu ditendang tanpa sebab. Hingga kekerasan karena kesalahan kecil bahkan tanpa alasan.
“Beberapa kali kami dikeluarkan dan ditampar wajah kami oleh petugas regu jaga lapas,” kata dia.
Berawal dari Juni 2020
Menurut Anggara yang ditunjuk menjadi pendamping hukum dalam kasus ini, ada banyak kesaksian kasus pelanggar HAM. Namun tidak semua berani melaporkan karena berbagai alasan.
“Sebenarnya ada banyak kesaksian yang disampaikan, namun tidak semuanya mau menyampaikan,” kata Anggara.
Anggara sendiri sudah mulai menerima laporan kekerasan dan tindakan penganiayaan di dalam lapas sejak Juni 2020. Namun kala itu dirinya tidak langsung percaya karena minimnya bukti dan keterangan saksi.
“Saat itu banyak klien saya yang tersandung kasus narkotika, dan setelah itu mulai terhimpun satu persatu kasus. Hingga akhirnya saya mengumpulkan keterangan dan bukti untuk diadukan ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Ham melalui aplikasi online," ujarnya.
Laporan tertanggal 16 September 2020 itu menyebutkan mengenai hak WBP yang belum tersampaikan, antara lain: 1. Perlengkapan mandi (sabun, sampo, sikat gigi, dan lainnya). 2. Pakaian hanya satu stel. 3. Tidak ada alas tidur (baik kasur dan lainnya). 4. Alquran dan bahan bacaan tidak diperbolehkan. 5. Tidak ada informasi kapan batasan tinggal di ruang hukuman, sel kering atau isolasi.
“Selain itu saya juga melaporkan sejumlah dugaan kekerasan yang diterima para WBP, terutama bagi mereka yang memiliki status residivis," jelasnya.
Laporan yang dibuat Anggara akhirnya menuai respons. Sebuah surat klarifikasi bertanggal 20 September 2020 menyangkal semua tuduhan dan aduan yang disampaikan Anggara. Dalam surat itu disebutkan:
- Para WBP mendapat perlengkapan mandi berupa sabun, sampo, pasta gigi dan sikat gigi.
- WBP mendapat 2 stel pakaian yaitu pakaian dis dan pakaian bebas untuk ibadah salat.
- Setiap WBP mendapat karpet sebagai alas tidur dan salat. Adapun ketiadaan kasur karena mengalami kerusakan yang disebabkan oleh WBP.
- WBP diberikan Alquran, Al-Kitab dan bahan bacaan lainya.
- Tidak ada istilah sel kering yang ada hanya sel pengasingan. Adapun setiap pelanggaran dalam lapas akan ditindak sesuai dengan ketentuan.
“Namun menurut kesaksian para WBP, fasilitas tersebut kemudian ditarik setelah inspeksi,” ujarnya.
Melaporkan ke Ombudsman
Setahun pasca melaporkan ke Kemenkumham, Anggara berusaha mengumpulkan bukti yang lebih kuat dan kesaksian para WBP baik yang ada di dalam maupun yang telah keluar.
“Dari hasil penelusuran, kekerasan yang terjadi di dalam merupakan tindakan sistematis, karena para sipir baru yang masih berstatus CPNS juga dipaksa menyiksa para WBP," ungkapnya.
Namun kesaksian dari CPNS tidak bisa dia dapatkan karena kekhawatiran akan karier mereka yang takut dipecat atau dipindahkan ke daerah lain. “Tentu mereka berpikir mengenai karier dan juga anak istri yang harus mereka tanggung," ujarnya.
Anggara juga menghimpun bukti dari WBP yang baru saja keluar tepat dari lapas. Sehingga bukti yang didapat masih fresh, dengan segala luka yang masih membekas.
“Langsung saya cegat mereka yang baru keluar dari lapas. Saya ambil gambar, dan didokumentasikan untuk menjadi barang bukti,” kata dia.
Anggara mengaku kesulitan mendapat bukti fisik, karena akses yang terbatas untuk masuk lapas. Serta ada dugaan penghilangan barang bukti yang dilakukan untuk menyiksa para WBP.
“Sudah sangat sulit untuk menemukan bukti berupa selang, atau kabel yang digunakan untuk kekerasan. Besar kemungkinan sudah dimusnahkan," jelasnya.
Dari kesaksian dan bukti yang didapatkan, Anggara bersama para mantan WBP yang berjumlah 46 orang mendatangi kantor Ombudsman Republik Indonesia DIY.
“Pada 1 November 2021, kami langsung mendatangi Ombudsman DIY. Dengan jumlah 46 orang kami seperti menggeruduk kantor. Namun yang diambil kesaksian hanya 4 orang di antaranya, karena harus disertakan sumpah," terangnya.
Saat dihubungi Tirto, Kepala Perwakilan Ombudsman DIY, Budhi Masturi, saat itu langsung menyatakan kesiapan untuk menindaklanjuti laporan para WBP tersebut.
“Langsung kami lakukan pendalaman dan koordinasi dengan pihak lapas dan Kemenkumham," jelasnya.
Selain mengadu ke Ombudsman DIY, Anggara beserta para mantan WBP mengadu ke Komnas HAM.
“Tim Komnas HAM langsung melakukan investigasi dan mendatangi lapas. Kami juga sempat dimintai keterangan saat di Jogja," imbuhnya.
Anggara menyebut, ada sejumlah laporan yang belum disampaikan karena minimnya alat bukti yang dia temukan.
“Ada banyak laporan yang tidak saya sampaikan, paling parah saat ini berupa pelecehan seksual yaitu pemaksaan onani dengan timun,” kata dia,
Tindak Lanjut Hasil Temuan Komnas HAM
Setelah melakukan penyelidikan secara independen, dan terjun langsung ke Lapas Narkotika Kelas II Yogyakarta, Tim Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM memberikan rekomendasi agar Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memeriksa terhadap siapa pun yang melakukan atau mengetahui tindakan penyiksaan, namun tidak mengambil langkah pencegahan. Sejumlah pihak yang direkomendasikan untuk diperiksa, antara lain sipir lapas, penjaga pintu utama, eks kalapas, maupun eks kepala KPLP periode 2020, serta pihak terkait lainnya.
“Jika ditemukan adanya pelanggaran hukum, ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," kata Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Endang Sri Melani.
Rekomendasi itu diberikan dari penyelidikan di 15 lokasi itu berada di dalam lapas, yakni branggang, ruang P2U, lapangan transit, ruang registrasi, 5 blok tahanan beserta lorong, dapur, klinik, ruang ibadah, ruang video call, ruang bimbingan kerja, dan kolam ikan lele.
“Terkait kondisi sel tahanan sebagian besar WBP tidak mengeluhkan terkait fasilitas yang diberikan oleh pihak lapas seperti tempat tidur, ruang untuk menjemur pakaian, kamar mandi termasuk makanan, dengan kata lain terpenuhi," kata Analis Pelanggaran HAM Komnas HAM Nina Chesly.
Atas temuan itu, Kantor Wilayah Kemenkumham DIY langsung melakukan sejumlah rekomendasi dari Komnas HAM, antara lain: Pertama, melakukan pemeriksaan terhadap beberapa petugas yang terlibat. Kedua, memindahkan 5 petugas yang disinyalir melakukan kekerasan ke kantor wilayah.
Ketiga, menetapkan pejabat sementara dan merotasi beberapa petugas untuk menetralisir situasi dan kondisi. Keempat, memastikan pelaksanaan tugas sesuai SOP dalam rangka pemenuhan hak-hak tahanan dan narapidana seperti penerimaan dan pembinaan.
Kelima, memberikan perawatan kesehatan secara maksimal dan pendampingan psikologis bagi beberapa warga binaan yang masih mengalami traumatik. Keenam, memberikan penguatan kepada petugas dan monitoring secara intensif terhadap setiap perubahan yang mengarah pada perbaikan di Lapas Narkotika Yogyakarta serta memastikan tidak ada peredaran maupun tindakan terlarang.
Ketujuh, tetap melakukan koordinasi dan komunikasi dengan Ombudsman Republik Indonesia perwakilan DIY dan Komnas HAM.
“Saat ini telah ditempatkan pejabat-pejabat baru, dan Kepala Kesatuan Pengamanan telah dikembalikan ke Lapas Narkotika Yogyakarta sesuai tugas dan fungsi," kata Kakanwil Kemenkumham DIY, Budi Argap Situngkir.
Menanggapi laporan Komnas HAM, Ombudsman DIY belum memberikan tanggapan resmi dan masih melakukan investigasi dengan penyelidikan kepada seluruh jajaran Lapas dan Kemenkumham DIY.
“Kami no comment soal hasil temuan. Namun kami sudah memeriksa petugas lapas, sampai Kadivpas Kumham DIY, juga para pelapor. Sementara ini hasil pemeriksaannya sedang kami susun," kata Budhi Masturi.
Adapun para mantan WBP tidak berharap banyak dengan hasil temuan Komnas HAM, selain adanya perubahan sistem dan penghapusan segala kekerasan yang sempat mereka alami dalam Lapas.
“Kami hanya meminta agar para WBP tidak mengalami seperti yang kami rasakan. Tidak perlu para petugas Lapas sampai masuk penjara, kami tahu rasa tidak enaknya," kata Vincent.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz