Menuju konten utama

Merunut Perkara Richard Lee hingga Ia Jadi Tersangka Dua Kasus

Kini Richard Lee menjadi tersangka dalam dua kasus tindak pidana, tapi keduanya merupakan satu rangkaian perkara.

Merunut Perkara Richard Lee hingga Ia Jadi Tersangka Dua Kasus
Richard Lee (tengah) dipulangkan Polda Metro Jaya pada Kamis malam (12/8), ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat

tirto.id - Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menetapkan Richard Lee, dokter kecantikan, sebagai tersangka dugaan pencemaran nama baik terhadap aktris Kartika Putri. Status tersangka ini diungkapkan Dirreskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Auliansyah Lubis, Selasa, 5 April 2022.

“Sudah kami tetapkan sebagai tersangka,” kata Auliansyah Lubis, di Polda Metro Jaya. Pada kasus ini, Richard diduga membeli kosmetik yang berbeda dengan yang dipromosikan oleh Kartika. Richard diduga membeli kosmetik palsu merek H secara daring.

Produk H yang ditinjau oleh Richard, ternyata belum memiliki label terdaftar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dalam pengusutan kepolisian, ternyata produk yang dibeli Richard merupakan keluaran 2019.

“Jadi beda, itu produk 2019. Sedangkan (kosmetik) Kartika Putri produk (keluaran tahun) 2020," terang Auliansyah. Kosmetik tahun 2020 itulah yang menurut Kartika sudah berizin BPOM.

Auliansyah melanjutkan, Richard sempat menyatakan ada banyak korban dari produk tersebut, bahkan ada pengguna kosmetik yang melaporkan wajahnya rusak lantaran pemakaian. Namun hingga kini Richard belum memberitahukan kepada penyidik siapa orang yang mengaku wajahnya rusak itu.

Ini merupakan kedua kalinya Richard resmi jadi tersangka. Kasus hukum yang melibatkannya, bermula dua tahun silam. Richard mengulas salah satu produk perawatan kulit buatan lokal. Merek inisial H itu dia sebut mengandung 57 persen hidrokuinon dan merkuri, berdasar hasil uji sampel di laboratorium. Bahkan dari tiga-empat kali pengujian, kandungan dua bahan itu bergantian positif dan negatif.

Bahkan botol produk itu hanya ada logo merek, tanpa ada tulisan kandungan bahan, cara pemakaian, dan nihil label BPOM. Richard menyebut merek H termasuk produk abal-abal dan berbahaya bagi kulit, serta mengingatkan selebgram yang mempromosikan produk H, agar tak sembarangan menerima endorsemen produk kecantikan. Kartika Putri pun gerah dengan upaya Richard.

Mereka baku balas pernyataan, hingga akhirnya, Desember 2020, mereka duduk bersama dan membahas soal ‘sengketa produk kecantikan’ tersebut. Hal itu pun tak membuat permasalahan rampung, malah Kartika melaporkan Richard ke Polda Metro Jaya di bulan itu. Perkara pun bergulir.

Richard Lee Sempat Ditahan

Subdit Siber Polda Metro Jaya pun menangkap Richard karena dugaan akses ilegal terhadap akun Instagram @dr.richard_lee, lantaran akun yang disita oleh polisi itu diakses oleh si pemilik.

“Ini terjadi akses ilegal dan pencurian oleh seseorang, kemudian dilakukan lidik dan sidik oleh penyidik. Berdasarkan penyelidikan, ternyata yang lakukan akses ilegal dan pencurian akun dilakukan sendiri oleh RL," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus, Kamis, 12 Agustus 2021.

Kasus ini bermula kala polisi menyidik kasus pencemaran nama baik yang dilakukan Richard terhadap Kartika Putri, melalui akun Instagram-nya. Polisi sempat mengupayakan mediasi dan selama proses penyidikan berlangsung, akun Instagram Richard disita berdasarkan keputusan hakim.

Pada 6 Agustus 2021, penyidik melihat unggahan di akun @dr.richard_lee, yang bertuliskan “Hai semua, akhirnya saya kembali lagi setelah sekian lama. Ini adalah perjuangan yg luar biasa!! Banyak halangan, banyak hambatan..”

“Padahal secara sadar, R mengetahui akun tersebut telah disita berdasarkan surat penyitaan tanggal 5 Agustus (yang diterbitkan) Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, dikuatkan dengan ketetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juli 2021,” jelas Kasubdit Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Kompol Rovan Richard Mahenu.

Pada 10 Juli 2021, pengadilan membuatkan berita acara penyitaan terhadap akun Richard. Tak hanya itu, polisi juga menemukan bukti bahwa Richard mengunggah promosi produk. "Yang bersangkutan ada mengunggah endorse di akun Instagram-nya, di-story maupun feed-nya, padahal akunnya sudah kami sita," sambung Rovan.

Akibat unggahan itulah polisi menangkap Richard pada 11 Agustus 2021 di rumahnya di kawasan Palembang, Sumatera Selatan. Dalam perkara akses ilegal ini, Richard dijerat Pasal 30 juncto Pasal 46 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Pasal 231 KUHP dan/atau Pasal 221 KUHP.

Dalam unggahan di akun Instagram @dr.richardlee_official, Richard berterima kasih dan mengatakan bahwa "saya sudah kembali". Hal itu diunggah usai ia menjalani pemeriksaan. Razman Arif Nasution, kuasa hukum Richard, mengatakan kalau kliennya dibebaskan atas perintah langsung dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

"Pertama, kami berterima kasih kepada Bapak Kapolri yang telah mengatensi kejadian atau perkara tentang klien saya. Klien saya tidak ditahan atas atensi Pak Kapolri," kata Razman, di Polda Metro Jaya, 12 Agustus 2021, usai pemeriksaan Richard. Kooperatif selama pemeriksaan jadi dalih Richard tak mendekam di sel.

Razman membandingkan kasus Richard dengan kasus lain dalam segi persepsi hukum. Misalnya, ada garis polisi yang membatasi sebuah rumah yang bersengketa. Tapi untuk memasuki rumah itu harus dengan keputusan polisi atau ketetapan pengadilan.

“Kalau dunia maya, bagaimana? Dia (Richard) bilang, mengunggah itu di (akun) Facebook. Lalu otomatis terunggah di (akun) Instagram. Lalu kami tidak menghilangkan data yang lain, mungkin hilang otomatis atau apa,” jelas Razman.

Ia berpendapat perlu ada kajian teknologi dalam perkara ini. Bahkan tim kuasa hukum bisa mendatangkan ahli untuk kesaksian di pengadilan, yang disita polisi pun akun Instagram Richard, bukan akun Facebook-nya. Menurut si advokat, Facebook berbeda dengan akun media sosial lainnya.

“Saya minta dia tidak ditahan dan biar nanti di pengadilan kami datangkan ahli. Kalau memang ini dianggap serius, kami bawa ke Mahkamah Konstitusi. Kami minta putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Razman.

Bahkan kuasa hukum pun meminta penangguhan penahan untuk Richard, istri dokter tersebut jadi pihak penjamin dan yakin kliennya tak melarikan diri.

Dobel Tersangka

Kini Richard menjadi tersangka dalam dua kasus tindak pidana, tapi keduanya merupakan satu rangkaian perkara. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi berpendapat, jika hal seperti ini terjadi, maka biasanya jaksa penuntut umum akan menggabungkan perkara dalam satu surat dakwaan.

“Dasarnya Pasal 141 KUHAP, meski jaksa mempunyai dominus litis, dia bisa menggabungkan tindak pidana yang ada sangkut pautnya maupun yang tidak,” tutur Fachrizal, kepada Tirto, Rabu, 6 April 2022.

Pasal 141 KUHAP menyebutkan tiga penyebab penuntut umum bisa menggabungkan perkara, yaitu: a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

Penggabungan perkara itu agar dapat ‘sekali jalan’ mengusut kasus. Pada tahap persidangan, hakim bisa memvonis. “Ancaman pidana yang terberat ditambah satu per tiga. Misalnya, ilegal akses (terancam) 5 tahun (penjara), pencemaran nama baik (terancam) 7 tahun; maka 5 tahun ditambah 7 tahun, pokoknya tidak boleh lebih dari 15 tahun atau 20 tahun,” terang Fahrizal.

Perbarengan dua kasus ini sebagai pengejawantahan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Asas ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif; sementara “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat.

Namun asas tersebut dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.

Fachrizal berpendapat jika dua penersangkaan ini masih saling terkait, maka sebaiknya tak perlu pisah berkas perkara. Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, itu pun ada tujuannya. “Karena anggaran negara untuk perkara pidana bisa terbatas. Ada jatahnya tiap tahun. Daripada dua berkas, lebih baik satu berkas. Jadi, anggaran penuntutan yang lain bisa (dialokasikan) untuk kasus lain,” kata dia.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, pun bicara soal perbarengan tindak pidana. “Dua kasus ini bisa disidangkan sekaligus dalam satu perkara, jika locus delicti bersamaan. Tapi bila (locus) berbeda, akan disidangkan sendiri sesuai dengan kewenangan pengadilan di mana terjadinya kejahatan,” kata dia kepada Tirto, Rabu (6/4/2022).

Dampak positif dari perbarengan, menurut Fickar, yakni pembuktian kasus menjadi sederhana. Perbarengan diatur dalam Pasal 65 KUHP yakni mengenai pengakumulasian/penggabungan tindak pidana yang dikenal dengan ‘Concursus realis’. Gabungan tindak pidana ini diartikan sebagai beberapa tindak pidana yang dilakukan dalam waktu yang berbeda dan dilakukan oleh hanya satu orang.

Concursus bisa dianggap sebagai kebalikan dari penyertaan tindak pidana, yaitu keadaan ketika satu tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang. Pasal 65 KUHP mengatur mengenai gabungan beberapa tindak pidana dalam beberapa perbuatan yang berdiri sendiri. Pasal ini tidak mengindikasikan apakah perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sejenis atau berbeda, hanya menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan diancam dengan pidana pokok yang sejenis.

Pidana pokok diatur dalam Pasal 10 (a) KUHP, yang terdiri dari: (i). Pidana mati; (ii). Pidana penjara; (iii). Pidana kurungan; (iv). Pidana denda; dan pidana tutupan.

Dus, bila seseorang melakukan beberapa tindak pidana yang berbeda pada waktu yang berbeda, maka tindak-tindak pidana tersebut harus ditindaklanjuti secara tersendiri dan dipandang sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. Hukuman terhadap orang yang melakukan tindak-tindak pidana tersebut kemudian diakumulasikan atau digabung, namun jumlah maksimal hukumannya tidak boleh melebihi ancaman maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.

Baca juga artikel terkait KASUS DR RICHARD LEE atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz