Menuju konten utama

Gotong Royong Warga Sambil Menunggu Pemerintah Lebih Berguna

Aksi gotong royong warga muncul sebagai gerakan sosial di saat pemerintah bergerak lambat, sibuk dengan eufemisme dan oksimoron.

Gotong Royong Warga Sambil Menunggu Pemerintah Lebih Berguna
Warga mengambil bahan makanan secara gratis yang disediakan pada rak pangan di kawasan Dalung Permai, Badung, Bali, Rabu (10/6/2020). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/aww.

tirto.id - “Jadi kalau ada yang berbicara bahwa [Covid-19] tidak terkendali keadaannya, [saya jawab:] sangat-sangat terkendali. Yang bicara tidak terkendali itu bisa datang ke saya, nanti saya tunjukkan ke mukanya bahwa kita terkendali.”

Apa yang dikatakan Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali, dalam konferensi pers daring, Senin (12/7/2021), merujuk kepada banyaknya kritik kepada pemerintah terkait penanganan pandemi, terutama sejak beberapa minggu belakangan ketika kasus terkonfirmasi semakin menanjak.

Seminggu terakhir, penambahan kasus harian Covid-19 selalu lebih dari 30 ribu. Pada Selasa 13 Juli, kasus harian terkonfirmasi bertambah 47.899.

Luhut mengklaim pemerintah sudah mulai menangani masalah yang ada dengan menambah tempat tidur pasien, obat, hingga pelaksanaan PPKM. Minggu depan, tepatnya 19 Juli, Luhut menargetkan kurva kasus dapat melandai, tidak lebih dari 30 ribu. “Mungkin kalau semua sudah berjalan disiplin, akan mulai flattening atau mulai akan merata dan kemudian kita harap nanti cenderung akan terkendali.”

Orang kepercayaan Presiden Joko Widodo ini boleh saja mengklaim macam-macam, tapi omongannya sendiri tidak konsisten dan kontradiktif. Dalam satu hari dia menilai situasi pandemi “terkendali” sekaligus “cenderung akan terkendali,” dua keadaan yang sama sekali berbeda.

Ini bukan kali pertama pernyataan otoritas mengaburkan kenyataan dengan eufemisme--penghalusan bahasa. Ketika banyak rumah sakit tidak mampu menampung pasien Covid-19 dan kekurangan oksigen, Kementerian Kesehatan melalui Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Siti Nadia Tarmizi malah menyatakan “kolaps, tidak; tapi overcapacity, ya.” Tentu yang dimaksud dengan kolaps oleh publik adalah rumah sakit kelabakan menangani pasien yang membeludak. Pengertian yang sebenarnya sama saja dengan pernyataan Siti. Bedanya, Kemenkes mengelak.

Dulu, ketika Wuhan jadi episentrum Covid-19, Indonesia sibuk menyelamatkan warga negaranya. Kini situasi Indonesia justru menyerupai kondisi Wuhan. Dilansir dari Asia Nikkei, Jepang memutuskan untuk mengevakuasi warganya dari Indonesia. Keputusan ini diambil setelah kasus di Indonesia tak juga menurun.

Situasi yang kian parah justru membuat beberapa otoritas mengelak. Di media sosial, tersebar poster ajakan untuk menghentikan distribusi berita-berita tentang Covid-19. Salah satunya bahkan turut disebarkan oleh Bupati Lamongan 2021-2024, Yuhronur Efendi di Instagram (yang kini telah dihapus).

Covid-19 telah menunjukkan ke muka Luhut, dan kita semua, bahwa dia masih belum akan berhenti. Dan belum ada tindakan pemerintah yang bisa membuatnya ciut bahkan mungkin memperparahnya.

Solidaritas Warga

Di tenah segala impitan, masyarakat sibuk mencari dan memberikan bantuan sendiri lewat gerakan yang populer disebut 'warga bantu warga'. Misalnya dapur umum di Yogyakarta, produksi masker untuk dibagikan gratis di Solo, sampai yang memanfaatkan teknologi sehingga lintas wilayah seperti seperti wargabantuwarga.com--di dalamnya tertera informasi soal rumah sakit, ketersedian oksigen, dan lain sebagainya--juga gerakan sejuta tes antigen yang yang berhasil mengumpulkan dana sampai Rp46 miliar.

Eko Riyadi, Dosen Fakultas Hukum dan Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia di Universitas Islam Indonesia (UII), dalam tulisannya di The Conversation, mengatakan “upaya kolektif dalam berbagi dan saling menguatkan di tengah pandemi jelas patut diapresiasi.” Namun ia pun menggarisbawahi “munculnya solidaritas warga sering kali adalah gambaran ketidakpercayaan mereka pada kemampuan pemerintah menangani masalah,” meski mereka yang berinisiatif bersolidaritas pun kadang tak ambil pusing soal itu.

“Situasi ini menuntut tindakan lebih dari pemerintah,” catat Eko.

Eko menyimpulkan demikian dengan memperhatikan kebijakan selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ia mengatakan selama PSBB seharusnya “hukum HAM juga mewajibkan pemerintah untuk memastikan warganya tetap mendapatkan fasilitas dan layanan kesehatan selama pembatasan gerak dilakukan.” Tapi ketika itu “kewajiban ini masih belum terlaksana dengan optimal.”

Dalam PSBB, Eko menekankan ada perbaikan yang harus dilakukan pemerintah. Mulai dari ketersediaan fasilitas kesehatan, kemudian akses kepada layanan tersebut, lalu semua layanan kesehatan dalam kondisi standar kesehatan–artinya kesediaan alat pelindung diri, perawat, obat-obatan patut dijaga. Dan terakhir, layanan kesehatan harus tepat sasaran tanpa diskriminasi.

Sampai saat ini perbaikan tersebut belum tampak signifikan. Sekarang kasur-kasur rumah sakit mulai penuh dan semakin sedikit tempat untuk menampung pasien Covid-19 yang membeludak. Tabung oksigen rumah sakit juga kurang, hingga vaksin yang seharusnya gratis malah hendak diperjualbelikan.

Lalu sampai kapan warga, dengan segala keterbatasannya, harus menyelesaikan masalah sendiri?

Vaksin Gotong Royong Individu, Sebuah Oksimoron

Pemerintah juga mengampanyekan solidaritas. Memasuki bulan kedua pandemi, Jokowi menyerukan: “Mari kita terus bersama-sama menangani pandemi ini, bergotong-royong, bersatu padu, Hanya dengan cara kebersamaan ini kita akan dapat mengatasinya.” Beberapa hari lalu dia menyerukan hal serupa, bahwa kita semua harus gotong royong karena “pemerintah tidak bisa bekerja sendiri.”

Tapi bagi Sri Lestari Wahyuningroem, dosen Ilmu Politik di UPNVJ, dalam opininya di The Jakarta Post, solidaritas “tidak termasuk dalam kosakata, apalagi kebijakan strategis pemerintah.”

Indikasi solidaritas dari pemerintah seharusnya mencakup kebijakan-kebijakan konkret, bukan sekadar anjuran, misalnya “lebih banyak perlindungan terhadap kelompok yang paling rentan dari penularan Covid-19.” Hal ini yang ia tak lihat. Pemerintah kerap menyalahkan warga yang tetap keluar dan tak pakai masker atas penambahan kasus. Itu memunculkan kesan bahwa pemerintah mengabaikan fakta bahwa “masyarakat miskin tidak punya banyak pilihan untuk bertahan hidup di tengah terbatasnya jaring pengaman.”

Untuk hal dasar seperti tes usap dan antigen saja masyarakat masih harus membayar. Harga yang paling murah Rp900 ribu untuk tes usap PCR dan Rp150 ribu untuk tes antigen. Hanya mereka yang sudah jelas-jelas kedapatan positif atau berobat ke puskesmas yang bisa tes tanpa biaya. Meski sudah setahun berselang, pemerintah tidak bisa mengupayakan tes gratis bagi seluruh warga, padahal tes yang masif adalah salah satu upaya menekan penyebaran virus, selain tracing dan treatment.

Hal serupa tampak dari kebijakan vaksinasi, yang ramai dibicarakan baru-baru ini lewat vaksin mandiri yang kemudian dikemas dengan nama "vaksin gotong royong" [sic].

Ide awal vaksin gotong royong adalah perusahaan/badan usaha menyelenggarakan vaksinasi untuk para pekerja dan keluarganya.I stilah gotong royong dipakai karena biaya dibebankan kepada perusahaan, dan sebagai imbal baliknya para pekerja tetap bisa produktif dan akhirnya menguntungkan perusahaan pula.

Ini sebenarnya telah menyalahi prinsip penanganan pandemi di mana vaksinasi gratis dari pemerintah untuk seluruh warga negara adalah cara paling efektif. Dalam praktiknya hanya sedikit perusahaan yang melakukan itu: hanya 500 dari 28 ribu yang mendaftar, per akhir Juni lalu. Sebelum kebijakan ini berlangsung, Jokowi menyatakan vaksin gratis bagi semua orang.

Vaksin gotong royong ini kemudian diperluas, dengan menghilangkan sama sekali esensi gotong royong dengan membebankan semua ke individu masing-masing. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 telah memperbolehkan vaksin dijual kepada individu dengan harga ratusan ribu rupiah.

Dengan program ini vaksinasi seakan-akan diutamakan bagi mereka yang berduit--dan akhirnya, jadi ajang bisnis belaka

Infografik Daftar Vaksin Covid-19 di Indonesia

Infografik Daftar Vaksin Anti Covid-19 di Indonesia. tirto.id/Quita

Vaksin berbayar muncul ketika program vaksin gratis masih jauh dari tuntas. Per 2 Juli, penambahan vaksinasi pertama dan kedua harian tidak sampai satu juta: masing-masing 707.429 dan 145.950. Per 4 Juli, angkanya melorot menjadi 490.505 dan 56.832. Ketika target satu juta per hari tidak terpenuhi, Jokowi justru pasang target dua juta dan harus terpenuhi pada Agustus, dengan tambahan vaksin berbayar.

Pemerintah juga sudah mendapat banyak bantuan sosialisasi vaksinasi gratis dari swasta, misalnya Bank Mega yang mengajak vaksinasi nasabahnya, kemudian restoran Holywings yang menggratiskan vaksin bagi siapa pun yang mau datang ke sana (meski sebelumnya mereka bermaksud mengeruk keutungan).

Bukannya memperbanyak sentra pelayanan dan dosis vaksin, pemerintah justru memutuskan vaksin jadi barang dagangan dengan nama gotong royong (meski akhirnya ditunda, bukan dibatalkan, setelah muncul desakan publik).

Akhirnya gotong royong versi pemerintah berbeda dengan versi warga. Jika versi warga menggratiskan bagi yang memerlukan, bagi pemerintah gotong royong artinya membayar bagi siapa pun yang mampu dan dengan begitu sedikit meringankan kewajiban mereka terhadap warga.

Baca juga artikel terkait GOTONG ROYONG atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino