tirto.id - “Kawan-kawan yang distribusi dari dapur Prawirotaman, ada yang nunggu di depan Museum Perjuangan. Tolong didatangi ya. Mas Dodie namanya. Dia kontak aku dan butuh nasi bungkus."
“Gaes... ati2 ya yg distribusi di jalan (ttp jaga jarak aman) jgn sampe malah relawan jd carrier buat para pekerja informal."
Percakapan dua orang relawan Solidaritas Pangan Jogja (SPJ) di WhatsApp grup Koordinasi Relawan SPJ Senin (30/3/2020) siang itu menandai kerja para sukarelawan membagikan makanan bagi mereka yang kekurangan di tengah pandemi virus Corona atau Covid-19.
Para pekerja informal di Yogyakarta yang mengandalkan pendapatan dari bekerja harian kalah oleh pandemi Covid-19. Tukang becak, sopir ojek online, pemulung, pedagang pasar makin sulit dapat pemasukan setelah orang-orang makin membatasi diri ke luar rumah demi menghindari virus corona.
Sekitar dua pekan lalu ketika kasus Corona mulai merebak di Indonesia dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda) DIY mengumumkan satu orang warganya positif terinfeksi virus Corona, kekhawatiran mulai melanda warga Yogya.
Yogyakarta yang detak perekonomiannya digerakkan oleh sektor pariwisata, tiba-tiba mulai limbung di tengah pandemi. Jumlah wisatawan ke Yogya mulai menurun drastis, para pekerja informal yang ditopang oleh sektor andalan Yogyakarta itu menemui gusar.
Orang-orang ekonomi menengah ke atas bisa dengan mudah mengakses pangan, membeli kebutuhan bahan makanan untuk beberapa hari saat mereka tak ke luar rumah. Namun, tidak bagi mereka kalangan bawah, para pekerja informal yang mengandalkan penghasilan harian.
Ita Fatia Nadia seorang pekerja sosial, mantan Direktur Kalyanamitra, menilai tak berdayanya pekerja informal di tengah pandemi Covid-19 ini sebagai sebuah persoalan.
Bersama dua putrinya, ia kemudian melakukan pemetaan. Ia mendatangi para pekerja informal yang dinilainya paling dikalahkan oleh pandemi hingga sulit mencari makan.
“Kami melihat orang mulai memborong makanan tapi orang tidak memikirkan komunitas kecil, orang miskin. Kami ke Pasar Beringharjo, kami menemui buruh-buruh gendong. Mereka mulai gelisah karena pembeli mulai berkurang, sehingga mereka tidak mempunyai pemasukan. Mereka tidak bisa makan,” kata Ita kepada Tirto, Senin (30/3/2020).
Perputaran ekonomi rakyat kecil seketika seret. Sementara yang paling utama, mereka semua butuh makan untuk sehari-hari. “Mereka yang butuh makan terutama adalah tukang becak dan para buruh gendong di pasar-pasar,” kata Ita.
Ita dan kedua putrinya kemudian terpikir untuk membuat dapur umum di rumah mereka di kawasan Ngadiwinatan, Ngampilan, Kota Yogya. Pada 17 Maret 2020 dapur umum swadaya yang dibikin Ita menghasilkan 50 bungkus nasi. Sehari dua hari berjalan, ia dan kedua anaknya semakin kewalahan.
Lalu ia mengontak jaringan pekerja sosial lainnya yang ia kenal di Yogya, salah satunya adalah Sosial Movement Institute (SMI). Bersama SMI yang mayoritas adalah aktivis mahasiswa, gerakan itu semakin lebar. Donasi mulai berdatangan, para pembuat nasi angkringan yang dagangannya tak laku kemudian dibeli untuk dibagikan.
Solidaritas semakin luas, sejumlah organisasi kemudian ikut bergabung seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, dan sejumlah organisasi serta lembaga lainnya.
Solidaritas & Protokol Kesehatan
Aksi sosial beberapa organisasi itu lantas dinamai gerakan Solidaritas Pangan Jogja. Seorang mahasiswa yang tergabung di SMI, Raihan Ibraim Annas menjadi koordinator gerakan ini. Kepada Tirto, Senin (30/3/2020) Raihan menuturkan awalnya hanya tiga dapur umum yang didirikan.
“Awalnya tiga dapur umum sekarang total ada enam dapur umum di Gamping, Seyegan, Prawirotaman, Mergangsan, Piyungan dan Wonocatur,” ujarnya.
Dua dapur umum terakhir yang disebut yakni Piyungan dan Wonocatur merupakan dapur umum khusus. Di dapur umum tersebut, relawan hanya memasok bahan makanan. Di Piyungan, dapur umum dikelola dan dibagikan untuk para lansia.
Sementara di Wonocatur, dapur umum dikelola dan dibagikan oleh komunitas pemulung yang tinggal di sekiar TPA Piyungan.
Raihan bilang, cara kerja para relawan dan komunitas yang terlibat dalam solidaritas ini diminta tetap mematuhi protokol pencegahan penyebaran Covid-19. Setiap dapur umum, kata dia, tak lebih dari tiga orang yang memasak. Mereka diharuskan bergantian untuk menghindari kerumunan.
Pun demikian dengan para relawan yang menjadi kurir pemasok bahan baku makanan atau distributor nasi bungkus. Mereka semua diminta untuk mematuhi protokol, mengenakan masker, sarung tangan, dan juga membawa cairan sanitasi tangan.
Belakangan, relawan juga bertambah dari unsur tenaga kesehatan. Saat ini, kata Raihan, ada sekitar 50 relawan yang terlibat mulai dari dapur hingga ke jalanan sebagai kurir. Mereka yang terjun langsung ke lapangan diminta untuk melakukan cek kesehatan secara berkala.
Sebab mereka yang berada di lapangan, membagikan nasi bungkus secara langsung di sejumlah titik dinilai yang paling rentan terinveksi virus Corona.
“Kami terlebih dahulu memasok alat pelindung diri dulu sebelum memulai gerakan ini. Kami pastikan masker, sarung tangan, hand sanitizer, sabun cuci tangan kita pastikan ada semua dulu baru mulai jalan,” kata dia.
Dari Dapur Umum Sampai ke Jalanan
Semua dapur umum berada di rumah relawan yang bersedia menjadikan rumahnya sebagai tempat mengolah pasokan bahan makanan.
Ahmad Rijal merupakan salah seorang relawan yang rumahnya di kawasan Margoluwih, Seyegan, Sleman dijadikan sebagai dapur umum. Rijal merupakan pekerja swasta, ia mengkoordinir 12 relawan lain yang juga bertugas memasak makanan.
“Relawan dari berbagai latar belakang, kebanyakan orang Seyegan ada yang mahasiswa ada yang pekerja,” kata Rijal kepada Tirto, Senin (30/3/2020).
Ke-12 relawan ini, kata Rijal, bertugas secara bergiliran maksimal tiga orang yang bertugas dalam satu kali periode masak. Selain bertugas bergiliran, mereka juga tidak setiap hari terus bekerja. Mereka hanya memasak dua hari, kemudian dua hari selanjutnya mereka bekerja sama dengan warung makan.
Semua makanan yang telah selesai dimasak segera didistribusikan pada hari itu juga. Melalui grup Whatsapp, koordinasi relawan bergerak. Mereka mengambil nasi bungkus di dapur umum dan langsung didistribusikan sesuai titik yang telah ditentukan.
Menurut Raihan, titik distribusi ini berdasarkan lokasi-lokasi yang banyak terdapat para pekerja informal seperti kawasan Nol Kilometer yang banyak di antaranya dijadikan titik kumpul para tukang becak. Kemudian pasar-pasar khususnya di daerah Kota Yogya untuk didistribusikan kepada para buruh gendong dan juga pedagang kecil.
Jalan-jalan protokol juga tak luput untuk pendistribusian, mereka mencari lokasi-lokasi tempat istirahat para tukang becak, pemulung atau pedagang kecil.
Mahasiswa Hingga PNS Ambil Bagian
Setelah berjalan beberapa hari, gerakan ini mendapatkan respons dari sejumlah kalangan. Donasi yang terkumpul, kata Raihan, hingga saat ini mencapai Rp50 juta. Dari donasi tersebut setiap dapur umum dapat menghasilkan rata-rata 100 bungkus makanan tiap hari.
Banyaknya donasi yang masuk ini, kata dia, tak lepas dari sejumlah lembaga dan individu yang ambil bagian untuk ikut menyuarakan penggalangan donasi agar lebih masif. Tak hanya lembaga sosial nonpemerintah, para pekerja swasta, bahkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga ikut ambil bagian dalam gerakan ini.
Michelle Rizky Yuditha, seorang PNS di Pemkab DIY ikut tergerak dalam gerakan ini dan menyuarakan tentang kebutuhan pangan untuk para pekerja informal di tengah pandemi global.
“Sementara warga itu butuh makan. Bagaimana mau memikirkan kebersihan sementara mereka itu tidak memiliki penghasilan,” ujar Michelle kepada Tirto, Senin (30/3/2020).
Hal itu menggerakkannya untuk ikut partisipasi dalam solidaritas. Selain berdonasi, ia juga ikut menggerakkan rekan-rekan sejawat yang bekerja sebagai PNS untuk ikut berdonasi.
“Kemarin awal-awal dari siang sampai malam terkumpul Rp2,5 juta,” kata Michelle.
Michelle berharap gerakan ini semakin meluas sehingga semakin banyak orang-orang yang sulit mendapatkan makan di tengah situasi pandemi ini semua terbantu. Sebab di Yogyakarta, kata dia, mayoritas pekerja merupakan pekerja informal yang dalam situasi pandemi ini semua merasakan dampak secara langsung.
=====
Informasi seputar COVID-19 bisa Anda baca pada tautan berikut:
1. Ciri-Ciri Corona & Gejala COVID-19, Apa Beda dari Flu & Pneumonia?
2. Gejala Coronavirus Selain Demam dan Batuk: Tak Mampu Mencium Bau
3. Pentingnya Jaga Jarak di Tengah Pandemi COVID-19
4. 8 Cara Mencegah Penularan Virus Corona pada Lansia
5. Cara Deteksi Dini Risiko Covid-19 Secara Online
6. Update Corona Indonesia: Daftar Laboratorium Pemeriksaan COVID-19
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri