tirto.id - Pandemi global Covid-19 telah merevolusi nyaris seluruh aspek kehidupan manusia di berbagai belahan bumi. Salah satu aspek yang terdampak adalah tradisi menonton film beramai-ramai di layar lebar yang berpindah ke layar gawai/komputer nan individualistis.
Migrasi kebiasaan menonton secara besar-besaran itu membawa ekses negatif yang cukup luas. Banyak orang yang selama ini mengais nafkah di sekitar geliat ekosistem bisnis bioskop lokal dan perhelatan layar tancap di desa-desa, terpaksa gigit jari.
Layar, karya teranyar Ifa Isfansyah, mengangkat perihal reaksi ekonomi berantai tersebut. Film berdurasi 70 menit yang tersedia di kanal daring Klik Film ini dikemas dalam balutan romansa, yang mengandung nilai sentimental yang tinggi.
Nostalgia Layar Lebar
Era Orde Baru ditandai oleh menjamurnya bisnis bioskop lokal di banyak daerah. Menjelang reformasi, moda usaha ekshibisi dan distribusi film berubah menjadi sentralistik sejak salah satu grup penyedia jasa bioskop secara perlahan mendominasi pasar.
Penonton film mulai memadati studio-studio milik grup bisnis tersebut yang jauh lebih canggih, elegan, serta bernuansa mewah. Banyak bioskop lokal yang memilih gulung tikar akibat ketiadaan pengunjung, biaya operasional dan pajak hiburan tinggi, serta kesulitan memperoleh materi film dan teknologi pemutaran terbaru.
Seiring waktu, muncul grup usaha baru yang menjadi kompetitor arus utama. Persaingan konglomerasi ekshibisi film pun merangsek memasuki kota-kota kecil dan ibukota kabupaten, yang menawarkan ceruk pasar penonton baru yang belum tersentuh.
Strategi ekspansi bisnis semacam itu membuat eksistensi bioskop lokal bersejarah di daerah-daerah semakin terancam hingga sampai pada satu titik yang tak terelakkan: berhenti beroperasi dan memindahtangankan kepemilikan properti.
Tutupnya bioskop lokal memicu ketidakpastian penghidupan bagi banyak profesi yang menggantungkan nafkah hariannya dari kehadiran penonton di bioskop dimaksud. Tukang becak, supir angkot, ojek pangkalan, satpam, pemungut karcis, cleaning service, jasa pemasangan poster film, pedagang kaki lima, hingga operator proyektor termasuk di sini.
Film Layar memotret kegelisahan kolektif itu melalui sudut pandang tokoh Ani (Siti Fauziah), seorang petugas perobek tiket di Bioskop Merapi. Ani pula yang membuka kanal solutif tatkala ia menginisiasi kegiatan yang menandakan bahwa bioskop belum mati.
Ia berhasil meyakinkan Pak Bimo (Pritt Timothy), sang pemilik Bioskop Merapi yang tengah mencari calon pembeli potensial, agar tetap membuka bioskop sehari-harinya tanpa perlu merogoh kocek pribadi barang sepeser pun.
Demi menutup biaya operasional, Ani mengajak Joko (Adi Marsono), Wati (Brilliana Arfira), Rani (Resti Praditaningtyas), Tanto (Kurniawan Hasnajaya), serta Agus (Aryudha Fasha) berkolaborasi secara kreatif.
Suatu ketika seorang produser terkenal bernama Saras Wijaya (Onet) tertarik menyelenggarakan gala premiere film terbarunya di Bioskop Merapi. Ketertarikan itu dilatarbelakangi oleh nilai sejarah panjang yang dimiliki oleh bioskop tersebut.
Sayangnya, sentimen nostalgia semacam ini justru memutarbalikkan ekspektasi Ani dan kawan-kawannya. Dari situ, tekanan konfliktual yang mereka alami semakin berat demi mempertahankan satu-satunya layar lebar yang tersisa.
Romansa Sinema
Ifa Isfansyah memilih desain produksi yang cukup sederhana tatkala memoles semesta filmnya. Mungkin saja pilihan tersebut mencerminkan kondisi pandemi yang sedang mencekik ruang gerak banyak pihak, tak terkecuali proses pembuatan film.
Pada hakekatnya, Layar merupakan film tentang pembuat film, pemutar film, ornamen-ornamen khas seputar pembuatan film, serta para penonton setia yang kukuh memegang memori romantis tentang pengalaman mereka menonton film di bioskop.
Esensi sedemikian rupa sejatinya memicu romantika tersendiri. Dengan kata lain, penonton Layar sesungguhnya sedang menyaksikan sajian romansa tentang romansa sinema. Dan cita rasa romansa itu amatlah manis!
Tak heran bila lapisan demi lapisan konflik yang tersaji dalam film ini menemui titik kulminasinya dalam situasi yang nyaris utopis: berbagai pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam proses kreasi sebuah film menunjukkan solidaritas kolektif lintas profesi dan donasi demi menyelamatkan bioskop yang mereka cintai.
Film Layar seperti hendak menyatakan bahwa bioskop, secara fisik dan metafisik, adalah milik publik. Oleh karena itu sudah sepatutnya publik memiliki saham berbasis kesetaraan yang menjadi bukti kepemilikan mereka di sana.
Apakah mungkin idealisme semacam itu terealisasi di dunia nyata sehari-hari? Jawabannya tidak lagi penting, sebab imajinasi penonton yang menyesap setiap adegan demi adegan dalam film Layar akan larut jua dalam aroma romantis yang menguar.
Pernah ada sebuah kutipan kalimat yang menyatakan bahwa film adalah sebenar-benarnya wadah eskapisme dari kerumitan dunia nyata. Agaknya, kutipan itu sangat relevan dalam konteks semesta film Layar.
Dunia Ani dan kawan-kawan adalah dunia yang serba romantis alih-alih realistis, persis sebagaimana kritik Pak Bimo kepada Ani yang menolak untuk menyerah dan menerima keadaan status quo Bioskop Merapi.
Sah-sah saja bila memang demikian adanya. Bagaimanapun juga, film tergolong pada seni hiburan. Tujuan terutamanya sebelum merangsang imajinasi positif adalah menghibur penonton sehingga melupakan barang sejenak kesusahan keseharian masing-masing.
Dalam kerangka itu, Layar telah cukup berhasil menghadirkan hiburan yang santai dan jenaka tanpa terkesan dibuat seadanya. Desain produksi yang minimalis dan sederhana tidak membuat value film tersimplifikasi, melainkan semakin kental dengan nuansa romantis.
Senyum lebar Ani tatkala menonton sendirian di pengujung film merepresentasikan poin-poin krusial tersebut. Mungkin yang terpampang di layar Bioskop Merapi adalah presentasi audio-visual yang memicu nostalgia tentang masa-masa kejayaan bioskop lokal.
Sebuah film yang penuh dengan adegan romantis dalam bingkai sinematografi aduhai, sesekali disisipi celetukan-celetukan kocak, serta tak lupa memberikan komentar sosial terhadap riwayat layar lebar otonom yang kian darurat.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi