tirto.id - Suasana Guillemard Road, Singapura, begitu ramai. Para penonton datang menyemuti Singapore Badminton Hall untuk menyaksikan partai final yang mempertemukan Malaya dan Indonesia. Tidak ada yang menyangka Indonesia mampu melangkah sejauh ini. Apalagi kejuaraan Piala Thomas 1958 menjadi partisipasi pertama bagi mereka. Indonesia memang mampu membuat kejutan dengan menyingkirkan tim unggulan Denmark dan Thailand di babak sebelumnya, masing-masing dengan skor 6-3 dan 8-1. Namun berbagai media Malaya sesumbar, Indonesia belumlah menjadi lawan sepadan untuk Malaya.
Seluruh bursa taruhan menjagokan Malaya akan menggondol Piala Thomas untuk keempat kalinya. Wartawan Star Weekly yang bertugas meliput langsung partai tersebut, Tan Liang Tie, bahkan menyebut partai ini sebagai "si tikus melawan si raksasa". Apalagi skuad Malaya saat itu memang dihuni oleh pemain-pemain terbaik seperti Eddy Choong dan Teh Kew San. Namun di luar dugaan, Indonesia kembali membuat kejutan dan mengandaskan Malaya dengan skor akhir 6-3. Tan Liang Tie menyebut peristiwa ini sebagai momen "si tikus menelan si raksasa".
Salah satu pemain Indonesia yang menonjol dalam Piala Thomas 1958 adalah Ferry Sonneville. Dalam perjalanan menjadi juara, ia mampu mengandaskan nama-nama besar seperti Erland Kops, Charoen Wattanasin, hingga Eddy Choong.
Ferry Sonneville sebetulnya hampir tidak dapat berpartisipasi dalam perhelatan Piala Thomas 1958. Musababnya, saat itu Ferry tengah berada di Belanda untuk menempuh studi di Rotterdam. Proses pemulangan Ferry terganjal oleh keadaan finansial PBSI yang karut-marut. Namun publik sadar, kehadiran Ferry akan memberikan suntikan tenaga bagi skuad inti Indonesia yang kala itu dihuni oleh Tan Joe Hok, Eddy Joesoef, Tan King Gwan, Njoo Kim Bie, Lie Poo Djian.
Akhirnya, berkat inisiatif dari seorang penduduk Bogor bernama Tjoa Keng Lin, dilakukanlah penggalangan dana untuk memulangkan Ferry. Star Weekly bahkan secara khusus membuka dompet sumbangan bagi rencana tersebut. Dan dalam waktu cukup singkat berhasil terkumpul dana sebesar Rp. 175.000, jauh melebihi ekspektasi awal.
Rp. 40.000 kemudian digunakan untuk membiayai kepulangan Ferry ke tanah air, sementara sisanya digunakan untuk pembiayaan operasional regu Piala Thomas. Upaya patungan tersebut pada akhirnya berbuah manis. Piala Thomas 1958 pun menjadi tonggak awal bagi berbagai prestasi Indonesia lainnya dalam dunia bulu tangkis. Tercatat Indonesia mampu mempertahankan Piala Thomas tersebut pada 1961 dan 1964, sebelum lepas ke tangan Malaya pada 1967, yang ternyata juga tidak dapat dipisahkan dari arogansi Ferry di dalamnya.
Pembunuh Raksasa
Ferdinand Alexander Sonneville lahir pada 3 Januari 1931 dari pasangan Dirk Jan Sonneville dan Leoni Elizabeth. Ayahnya orang Belanda totok yang bekerja di Perusahaan Gas di Jakarta, sedangkan ibunya indo yang bertugas mengurus rumah tangga. Bakat olahraga Ferry diturunkan dari kedua orang tuanya. Ayahnya juara tenis di Jakarta, sementara ibunya aktif dalam Bataviaasche Badminton Bond (Perkumpulan Badminton Batavia) yang sempat menjuarai turnamen pada tahun 1935.
Bahtera rumah tangga orang tua Ferry kandas ketika dirinya masih belia. Leoni kemudian menikah lagi dengan Eduart Antonius Hubeek, sedangkan Dirk mengawini Noya, indo keturunan Belanda. Pendudukan Jepang membuat keluarga Ferry berantakan untuk kedua kalinya. Eduart meninggal dalam penjara Jepang dan Dirk juga harus meregang nyawa dalam perjalanan ke Bangkok sebagai romusa.
Pendidikan dasar Ferry ditempuh di Santo Yoseph, Jakarta Pusat. Di sekolah inilah Ferry belajar bulu tangkis, tentu selain mendapat pelatihan langsung dari sang ibu. Guna memperdalam kemampuan bulu tangkisnya, Ferry dikirim ke organisasi bulu tangkis bernama Satu Untuk Semua/Semua Untuk Satu. Sejak saat itu nama Ferry pun ramai digadang-gadang sebagai calon juara Indonesia.
Dari Santo Yoseph, Ferry melanjutkan pendidikan menengahnya di Hogere Burgere School (HBS) di Nassau Boulevard (sekarang Jalan Imam Bonjol), Menteng. Di HBS Ferry juga memulai karier olahraganya sebagai atlit jujitsu. Lantaran tidak dapat sepenuhnya menggantungkan hidup dari bulu tangkis, Ferry sempat bekerja sebagai guru jujitsu bagi kepolisian Jakarta dari 1951 hingga 1955. Ferry juga menjadi figur penting di balik berdirinya Jujitsu Club Indonesia dan Persatuan Judo Seluruh Indonesia.
Pada 1949, Ferry Sonneville masuk dalam regu bulu tangkis Indonesia yang rencananya akan melawan skuad bulu tangkis Penang (Malaya). Skuad muda Indonesia terdiri dari Ferry Sonneville dan Tan Tjin Ho (Jakarta), Kusmayadi dan Margono (Bandung), Yap Liang Seng (Cirebon), Sularto dan Tjondor (Yogyakarta), Rachmat dan Surono (Solo), serta Njoo Kiem Bie dan Sie Kok Tiong (Surabaya).
Pertandingan persahabatan ini menjadi pertandingan internasional pertama bagi Indonesia setelah merdeka, sehingga para pemainnya tidak diberi beban apapun, terkecuali untuk sekadar menimba pengalaman. Sesuai prediksi, seluruh pemain Indonesia dikalahkan dengan skor mencolok, kecuali Ferry yang berhasil mencuri satu-satunya kemenangan dari Cheah Thien Kioe.
Sempat bimbang antara jujitsu atau bulu tangkis, Ferry akhirnya memutuskan bulu tangkis sebagai jalan hidupnya. Prestasi Ferry di cabang oleh raga ini bermula ketika ia menjuarai kejuaraan bulu tangkis Jakarta dan Bandung pada pada 1951 dan 1952.
Nama Ferry Sonneville pun mulai ramai diperbincangkan ketika ia menjuarai Selangor Open pada 1954. Di partai puncak, ia menundukkan legenda bulu tangkis Malaya, Ong Poh Lim, dengan dua set langsung, 15-11 dan 15-8. Sebelumnya, Ferry juga membuat kejutan dengan mengalahkan pemain kuat Malaya lainnya, Wong Peng Soon. Setahun berselang, Ferry juga berhasil menjadi juara di Malaya Open, ia mengalahkan pebulutangkis Denmark, Jørn Skaarup, di final dengan skor telak 15-5 dan 15-4.
Pada 29 September 1954, Ferry mempersunting perempuan idamannya Yvonne Theresia de Wit. Pertemuan Ferry dengan Yvonne berawal dari latihan bulu tangkis bersama pada 1951. Saat itu Ferry merupakan mahasiswa pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (yang kemudian tidak ia selesaikan), di samping profesinya sebagai pebulutangkis profesional. Bersama-sama dengan Yvonne, Ferry sempat menjuarai French Open (1960) dan menjadi runner-up di German Open (1963).
Menjelang akhir 1955, Ferry Sonneville hijrah ke Belanda untuk melanjutkan kuliahnya di Erasmus University di Rotterdam. Selama kuliah, dirinya masih sempat membagi waktu dengan bermain bulu tangkis. Tercatat ia berhasil menjuarai berbagai kejuaraan bulu tangkis prestisius, di antaranya Malaysia Open (1955), Dutch Open (1956, 1958, 1960, 1961, 1962), Scotland's World Invitational Tourney (1957), French Open (1957, 1960), German Open (1958, 1960, 1961), Canadian Open (1962), dan US Open (1962).
Kecintaannya kepada bulu tangkis juga ia tuangkan dalam dua buah buku mengenai teknik bermain bulu tangkis. Buku pertama berjudul Beter Badminton yang ditulis dalam bahasa Belanda dan terbit pada 1955. Kemudian buku kedua berjudul Bulutangkis Bermutu yang berhasil ia selesaikan pada 1959 dan diterbitkan oleh Penerbit Kinta tiga tahun berselang. Buku ini pun menjadi pegangan wajib bagi yang ingin menekuni bulu tangkis.
Pada tahun yang sama, Ferry Sonneville mampu mencapai partai puncak All England 1959. Namun di partai final ia dikalahkan rekan senegaranya, Tan Joe Hok, dengan skor 15-8, 10-15, dan 15-3. Capaian ini masih lebih baik dari All England tahun sebelumnya ketika Langkah Ferry terhenti di babak semifinal oleh Finn Kobbero 15-5, 11-15, dan 3-15.
Pencapaian Ferry Sonneville dan kawan-kawan yang berhasil mempertahankan Piala Thomas pada dua perhelatan setelahnya, membuat mereka dianugerahi tanda kehormatan, di antaranya Satya Lencana Kebudayaan (1961) dan Bintang Tanda Jasa (1964). Dalam pidato penganugerahan tersebut, Presiden Sukarno berkata: “Inilah penghargaan pemerintah kepada pahlawan-pahlawan nasional yang telah berjuang dalam bidangnya dengan semangat yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika.”
Pelbagai Kontroversi
Usia Ferry Sonneville sudah 36 tahun ketika ia bermain di Piala Thomas 1967. Performanya sudah jauh menurun dan publik memandang karier bulu tangkisnya telah usai. Namun beredar kabar bahwa Ferry memaksa untuk masuk dalam regu Indonesia, apalagi saat itu Indonesia berlaga di depan pendukungnya sendiri di Istora Gelora Bung Karno.
Terlepas dari insiden Herbert Scheele, sosok yang dianggap paling bertanggungjawab atas lepasnya Piala Thomas dari Indonesia, nama Ferry Sonneville ternyata tidak mampu memberikan satu pun poin bagi Indonesia. Ia bahkan disoraki seisi Istora lantaran hanya menjadi bulan-bulanan Tan Aik Huang. Piala Thomas 1967 pun menjadi akhir dari karier bulu tangkisnya.
Sejak PBSI berdiri pada 1951, Ferry Sonneville sudah aktif mewakili Indonesia dalam keanggotaan International Badminton Federation (sekarang Badminton World Federation). Ia bahkan sempat menjadi Presiden dari International Federation Badminton (IBF) antara 1971-1974, membuatnya sebagai orang Indonesia pertama yang menempati posisi tertinggi tersebut.
Ferry juga dikenal sebagai salah satu pemrakarsa berdirinya Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Dia juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum PBSI (1981-1985), menjadikannya orang tersohor kedua dalam dunia bulu tangkis Indonesia setelah Dick Sudirman.
Ferry sempat membuat kontroversi dengan mengubah aturan sponsor perorangan menjadi kolektif, yang proses pembagiannya diatur oleh PBSI. Menurut Tan Joe Hok, kebijakan tersebut jelas mengganggu periuk nasi para pemain, sehingga membuat para pemain ogah-ogahan. “Ibaratnya biasa makan satu roti untuk satu orang, kini si pemain harus membaginya dengan banyak orang,” tutur Joe Hok.
Dalam perhelatan Piala Thomas 1984, Ferry Sonneville kembali membuat kontroversi dengan melakukan intervensi terlalu jauh dalam penentuan skuad Indonesia yang kala itu dilatih oleh Tan Joe Hok. Indonesia memiliki misi berat untuk mengembalikan Piala Thomas yang pada 1982 dikuasai Tiongkok.
Menurut Tan Joe Hok, Ferry Sonneville menolak seleksi penentuan pemain dan mengajukan beberapa nama pilihannya sendiri. Tindakan Ferry tersebut disambut dengan mogok seluruh pemain. Ferry akhirnya melunak dan Tan Joe Hok diberi keleluasaan untuk menentukan komposisi pemain. Alhasil, Indonesia berhasil mengandaskan perlawanan Tiongkok di partai final dengan skor 3-2.
Selain berkiprah dalam pengembangan bulu tangkis Indonesia, Ferry juga sempat memegang beberapa posisi penting di sektor berbeda, di antaranya Wakil Gubernur Bank Indonesia, Ketua Yayasan Trisakti, Ketua Yayasan Rumah Sakit Fatmawati, hingga pendiri Asosiasi Perguruan Tinggi Katholik Indonesia. Di samping itu, Ferry juga merintis perusahaan real estate bernama PT Ferry Sonneville & Co. Perusahaan ini menguasai lahan seluas 800 hektar di wilayah Gunung Putri Bogor, dan menjadi salah satu perusahaan real estate terbesar di Indonesia.
Pada 20 November 2003, tepat hari ini 18 tahun lalu, Ferry mengembuskan napas terakhirnya dalam usia 72 tahun, setelah bergelut dengan penyakit leukemia yang sudah lama dideritanya. Jenazahnya disemayamkan di Rumah Sakit Dharmais sebelum dikremasi di Marunda, Jakarta Utara. Ferry Sonneville tak hanya meninggalkan seorang istri, tiga orang anak, dan dua cucu, tapi juga meninggalkan warisan berharga bagi dunia bulu tangkis Indonesia.
Penulis: Ravando Lie
Editor: Irfan Teguh Pribadi