Menuju konten utama

The Magnificent Seven, si Pembungkam Raksasa di Piala Thomas 1958

Dianggap medioker, tim Indonesia justru membungkam para unggulan dalam Piala Thomas 1958. Turut membuka jalan prestasi Indonesia di kancah internasional.

The Magnificent Seven, si Pembungkam Raksasa di Piala Thomas 1958
Anggota The Magnificent Seven berpose bersama Piala Thomas berhasil direbut dari Malaya. Dari kiri ke kanan: R Yusuf (Tim Manajer), Lie Po Djian, Njoo Kim Bie, Ramli Rikin (non-playing captain), Tan King Gwan, Eddy Joesoef, Tan Joe Hok, dan Ferry Sonneville. (Sumber: Koleksi Foto Tan Joe Hok)

tirto.id - Indonesia berhasil meneruskan langkahnya di ajang Piala Thomas 2020 setelah menundukkan China Taipei dengan skor 3-2. Kemenangan tersebut mengantar Indonesia menjadi juara Grup A seraya menjaga asa untuk merebut Piala Thomas yang selalu luput sejak 2002.

Menilik sejarah, Piala Thomas pertama kali digelar pada 1949 di Preston, Inggris. Gelaran perdana itu diikuti oleh tiga negara saja, yaitu Malaya, Amerika Serikat, dan Denmark. Malaya yang kala itu diperkuat oleh legendanya, Wong Peng Soon, berhasil menjadi juara setelah menundukkan Denmark 8-1 di partai puncak.

Indonesia baru ikut kejuaraan itu pada 1958. Indonesia berhak menapak kejuaraan utama Piala Thomas usai memenangi babak kualifikasi Zona Australasian. Indonesia berhasil melewati fase ini dengan catatan gemilang. Australia dan Selandia Baru, penghuni zona ini, dilibas Indonesia dengan skor masing-masing 9-0. Artinya, Indonesia tiada pernah kehilangan satu set pun.

Nama Tan Joe Hok pun mulai mencuri perhatian lantaran berulangkali menampilkan permainan atraktif dan bertenaga selama kualifikasi. Meski begitu, Indonesia datang ke Singapura—lokasi perhelatan Piala Thomas 1958—sebagai peserta yang tak diunggulkan. Tidak ada satu pun pihak yang memprediksi Indonesia mampu berbuat banyak.

Seluruh bursa taruhan menjagokan Malaya. Sang juara bertahan kala itu memang diperkuat oleh pemain-pemain terbaiknya, mulai dari Eddy Choong—juara All England, Denmark Open, Dutch Open, dan Scotland Open—hingga Johnny Heah dan Lim Say Hup yang digadang-gadang sebagai ganda terbaik dunia kala itu.

“Kami sudah memilih tim yang kuat. Kami pasti menang. Saya bahkan sudah memesan empat botol sampanye untuk perayaan kemenangan,” demikian sesumbar Ketua Federasi Bulu Tangkis Malaya Heah Joo Seang seperti dikutip The Straits Times (2 Juni 1958).

The Magnificent Seven

Skuad Indonesia saat itu dihuni oleh para pemain terbaik dari daerah asalnya masing-masing, yaitu Tan Joe Hok (Bandung, Juara Nasional 1956), Tan King Gwan (Salatiga), Eddy Joesoef (Jakarta), Njoo Kiem Bie (Surabaya), Lie Poo Djian (Purwokerto), dan Olich Solichin (Tasikmalaya).

Guna menambah kekuatan Indonesia, muncul usulan untuk memulangkan Ferry Sonneville yang kala itu tengah studi di Rotterdam. Pengalaman Ferry yang berhasil menjuarai Malaysia Open 1955, Dutch Open 1956 dan French Open 1957, jelas dibutuhkan agar Indonesia mampu berbuat banyak di kancah Piala Thomas.

Proses pemulangan Ferry sempat terganjal keadaan finansial PBSI yang morat-marit. Namun, masalah itu teratasi berkat inisiatif penggalangan dana dari seorang penduduk Bogor bernama Tjoa Keng Lin. Majalah Star Weekly pun kemudian membuka dompet sumbangan.

Upaya penggalangan dana tersebut menghasilkan Rp175.000. Rp40.000 di antaranya kemudian digunakan untuk memboyong pulang Ferry ke tanah air, sementara sisanya digunakan untuk pembiayaan operasional.

Skuad inti Piala Thomas yang pertama itu kemudian dapat julukan The Magnificent Seven. Selain ketujuh pahlawan tersebut ada juga nama Thio Tju Djen dan Tan Thiam Beng sebagai cadangan.

Mereka berangkat tanpa adanya pelatih. Tercatat hanya ada nama R. Joesoef selaku manajer tim, Dr. Ong Teng Houw sebagai dokter tim, Ramli Rikin selaku non-playing captain, dan Tan Liang Tie yang khusus dikirim Star Weekly untuk meliput pertandingan.

Tan Joe Hok, satu-satunya anggota The Magnificent Seven yang masih tersisa, menuturkan bahwa proses pengaturan dan penentuan komposisi pemain hanya didasarkan pada diskusi antarpemain semata.

Kontingen Indonesia untuk Piala Thomas berangkat ke Singapura pada 1 Juni 1958. Tiada kemeriahan yang mengantar mereka. Di Bandara Kemayoran, mereka hanya dilepas oleh Dr. Halim selaku Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Maklum, Indonesia memang tak pasang target muluk kala itu, sekadar berpartisipasi saja.

Selama di Singapura, skuad Piala Thomas Indonesia mendapatkan sokongan makanan dari diaspora Indonesia yang tinggal di sana. Di luar itu, mereka harus mengurus segala macamnya sendiri, termasuk mencuci pakaian. Di tengah berbagai keterbatasan tersebut, mereka menatap pertandingan pertama melawan Denmark dengan gembira dan tanpa beban.

Skuad Denmark jelas jauh lebih diunggulkan kala itu. Apalagi skuad Denmark dihuni nama-nama mentereng, seperti Erland Kops, Finn Kobbero, hingga Jorgen Hammergaard Hansen. Manajer tim Denmark Borge Frederiksen pun yakin betul dapat mengalahkan Indonesia dengan skor terburuk 6-3.

Omong besar Frederiksen tak hanya sebatas itu. Tanpa memperhitungkan kekuatan Indonesia, Frederiksen pun sudah menatap pertandingan final melawan Malaya yang dia yakini dapat mereka menangi dengan skor akhir 5-4.

Padahal, kenyataan berbicara lain. Tim Indonesia-lah yang justru menekuk Denmark dengan skor akhir 6-3. Di Stadion Guillemard Road yang berkapasitas 7.000 penonton, Tan Joe Hok sukses melibas Erland Kops maupun Finn Kobbero. Sementara itu, pasangan ganda terbaik Indonesia Njoo Kiem Bie/Tan King Gwan juga berhasil menghentikan perlawanan Finn Kobbero/Jorgen Hammergaard Hansen dalam pertandingan yang berlangsung tiga set.

Kemenangan tersebut mengantarkan Indonesia bertemu tim unggulan lainnya, yaitu Thailand.

Skuad Thailand saat itu juga dihuni pemain-pemain jempolan. Salah satunya adalah Charoen Wattanasin yang diprediksi akan menjadi batu sandungan bagi Indonesia. Namun di luar prediksi, Indonesia berhasil menggasak Thailand dengan skor mencolok 8-1.

Satu-satunya kekalahan Indonesia diderita oleh pasangan dadakan Tan Joe Hok/Lie Po Djian dalam pertandingan kesembilan yang tak lagi menentukan. Kemenangan tersebut pun mengantarkan Indonesia bertemu Malaya di laga puncak.

Si Tikus Melawan si Raksasa

Wartawan Star Weekly Tan Liang Tie menggambarkan partai final Indonesia versus Malaya dengan metafora “si tikus melawan si raksasa”. Bursa taruhan menjagokan Malaya akan menggondol Piala Thomas untuk keempat kalinya dengan perbandingan 60:40. Di Penang, ratusan ribu dolar dipertaruhkan untuk kemenangan Malaya di atas 6-3.

Para pandit bulu tangkis pun memprediksi Malaya akan menang dengan skor 7-2 bila beruntung, atau 6-3 sesuai tingkat kekuatan skuad mereka saat itu, atau 5-4 bila mereka sedang sial. Mereka makin percaya diri lantaran Malaya berlaga di kandang sendiri.

Perhatian terbesar Malaya hanya ditujukan pada Ferry Sonneville dan Tan Joe Hok semata. Sekalipun telah mengalahkan pasangan ganda terbaik Denmark dan Thailand di babak sebelumnya, sektor ganda Indonesia masih dipandang sebelah mata.

Pada hari pertama babak final, semua prediksi itu dibikin seolah omong kosong belaka oleh performa ciamik tim Indonesia. Mereka sukses merebut tiga kemenangan dari total empat pertandingan yang diadakan hari itu.

Tiga kemenangan tersebut dibukukan oleh Ferry Sonneville yang mengalahkan Eddy Choong dengan skor 15-12, 15-4; lalu Tan Joe Hok yang melibas Teh Kew San 18-14, 15-3; dan Njoo Kiem Bie/Tan King Gwan yang mengandaskan perlawanan Johnny Heah/Lim Say Hup dalam tiga set 7-15, 15-5, dan 18-15.

Satu-satunya kekalahan dialami pasangan dadakan Ferry Sonneville/Tan Joe Hok ketika melawan Oei Teik Hock/Eddy Choong dengan skor 15-18, 5-15.

Skuad Indonesia membuat skuad Malaya makin terpuruk di hari kedua. Harapan Malaya untuk membalik keadaan dibuat sirna ketika Tan Joe Hok mampu mengalahkan Eddy Choong dalam dua set langsung, 15-11, 15-6. Di partai lain, Ferry Sonneville juga mampu mengandaskan perlawanan sengit Teh Kew San dalam tiga set yang berakhir dengan skor 13-15, 15-13, dan 18-16.

Skor 5-1 pun memastikan Indonesia merebut Piala Thomas dalam keikutsertaannya yang pertama. Ratusan suporter Indonesia seketika tumpah ruah di lapangan. Mereka mengalungi Tan Joe Hok dan Ferry Sonneville dengan karangan bunga bertuliskan “Hidup Indonesia”. Euforia itu berlangsung selama beberapa menit, sebelum lapangan disterilkan untuk pertandingan selanjutnya yang mempertemukan antara Eddy Joesoef dan Abdullah Piruz.

Orang Tionghoa Indonesia di Piala Thomas

Euforia kemenangan Regu Indonesia atas Malaya di partai puncak Thomas Cup. Tampak Tan Joe Hok dan Ferry Sonneville diarak keliling lapangan dengan karangan bunga bertuliskan “Hidup Indonesia”. (Sumber: Koleksi Foto Tan Joe Hok)

Untuk kesekian kalinya, pemain Indonesia mampu membungkam Malaysia. Eddy Joesoef mampu mengalahkan Piruz dalam pertandingan tiga set, 6-15, 15-10 dan 15-8. Kemenangan itu terasa makin istimewa lantaran sebelumnya Eddy sempat diremehkan sebagai medioker oleh media Singapura.

Indonesia kalah di dua partai sisa, tapi itu sama sekali tidak memengaruhi kepastian Indonesia merengkuh piala paling bergengsi di ajang bulu tangkis beregu putra tersebut. Skor akhir 6-3 pun meruntuhkan hegemoni Malaya sekaligus menjadikan Indonesia sebagai kekuatan baru di dunia bulu tangkis.

Kemenangan tersebut pun disambut dengan gegap gempita oleh seluruh rakyat Indonesia. Kemenangan itu ibarat oase di tengah padang gurun masalah politik dan ekonomi. Sebuah kepanitiaan khusus yang diketuai oleh Abdulwahab Djojohadikusumo pun dibentuk untuk menyambut kepulangan regu Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, regu olahraga mendapatkan penghormatan nasional.

Infografik Orang Tionghoa di Piala Thomas

Infografik Orang Tionghoa di Piala Thomas. tirto.id/Fuad

Diantar dengan Becak, Disambut Sebagai Pahlawan

Puluhan ribu orang tumpah ruah ke jalan guna menyambut kepulangan regu Indonesia ke tanah air. Mereka menyemuti jalan mulai dari Bandara Kemayoran hingga Istana Merdeka. Hari itu, regu Indonesia bakal diterima langsung oleh Presiden Sukarno.

Tan Joe Hok masih ingat betul pesan Sukarno kala itu, “Ingat Joe Hok, kamu akan terus bermain untuk bangsa dan negaramu!”

Prestasi tersebut terasa semakin komplit setelah Joe Hok dinobatkan sebagai pebulutangkis terbaik dunia tahun itu.

Piala Thomas ini pun diparadekan di berbagai kota besar, mulai dari Jakarta, Bandung, hingga Surabaya. Berita seputar kemenangan Indonesia di ajang Piala Thomas pun menghiasi pemberitaan radio dan media cetak hingga berminggu-minggu lamanya.

Orang Tionghoa Indonesia di Piala Thomas

Ribuan orang di Jakarta yang menyambut kedatangan skuad Indonesia yang berhasil memboyong Piala Thomas ke Tanah Air. (Sumber: Koleksi Foto Tan Joe Hok)

Tidak pernah terbesit sedikit pun dalam benak Tan Joe Hok dan kawan-kawannya untuk menepuk dada atas prestasi yang telah mereka torehkan. “Sebab itu semua murni kami lakukan demi nama Indonesia,“ ujarnya.

The Magnificent Seven sontak jadi pesohor. Foto mereka menguasai papan-papan reklame di berbagai sudut jalan ibu kota. Prestasi mereka di Piala Thomas nyatanya menjadi pembuka jalan kegemilangan pebulu tangkis Indonesia di masa selanjutnya.

Orang Tionghoa Indonesia di Piala Thomas

Regu Piala Thomas diundang secara khusus oleh Presiden Soekarno ke Istana Negara. Tampak Tan Joe Hok, Ferry Sonneville, dan Eddy Joesoef berjalan di depan. (Sumber: Koleksi Foto Tan Joe Hok)

Pada 1959, Tan Joe Hok menjadi orang Indonesia pertama yang menjuarai All England setelah menundukkan Ferry Sonneville dalam drama all-Indonesian final. Di tahun yang sama, Joe Hok juga berhasil menjuarai Muangthai Open setelah mengalahkan Charoen Wattanasin di partai final.

Nama Joe Hok semakin dielu-elukan tatkala dia menjuarai Canadian dan US Open. Majalah olahraga terbesar di Amerika Sports Illustrated sampai mengulas kemenangan Joe Hok tersebut dalam dua halaman penuh.

Orang Tionghoa Indonesia di Piala Thomas

Potret Tan Joe Hok yang dimuat dalam Sports Illustrated setelah menjuarai US Open yang diselenggarakan di Detroit. (Sumber: Sports Illustrated, 13 April 1959)

Di saat cabang olahraga lain kesulitan untuk berprestasi di kancah internasional, bulu tangkis selalu muncul sebagai penyelamat wajah Indonesia. Dalam perhelatan Asian Games 1962 di Istora Senayan, kontingen bulu tangkis Indonesia berhasil merengkuh 5 medali emas, 3 perak, dan 3 perunggu.

Sejak Olimpiade pertama kali mempertandingkan cabang bulu tangkis pada 1992 di Barcelona, Indonesia telah mendulang total 21 medali, dengan rincian: 8 medali emas, 6 perak dan 8 perunggu. Yang mutakhir tentu saja ada Greysia Polii dan Apriyani Rahayu yang berhasil meraih medali emas di Olimpiade Tokyo 2020.

Meski begitu, prestasi internasional macam itu nyatanya belum cukup untuk membuat pemerintah perhatian pada kesejahteraan atletnya. Beberapa dari The Magnificent Seven pun harus menanggung sengsara di hari tuanya, lantaran kurangnya perhatian dari pemerintah itu.

“Seperti Kang Olich Solichin yang meninggal dalam keadaan buta setelah menderita katarak berkepanjangan, atau Tan King Gwan yang hidup sengsara di masa tuanya lantaran kanker paru-paru,” tutur Joe Hok.

Baca juga artikel terkait JUARA PIALA THOMAS atau tulisan lainnya dari Ravando Lie

tirto.id - Olahraga
Penulis: Ravando Lie
Editor: Fadrik Aziz Firdausi