tirto.id - Keputusanumpire setelah gim kedua dalam pertandingan All England 1958 itu membuat Ferdinand Alexander “Ferry” Sonneville dongkol bukan main. Kala itu, Ferry tengah menghadapi Finn Kobbero dari Denmark. Di gim pertama, pemain tunggal putra Indonesia itu bermain tajam dengan skor 15—5.
Ferry tak menduga Kobbero menghemat energinya di paruh awal gimkedua. Semula, Ferry sangat percaya diri hingga mampu memimpin 11 angka. Tapi, Kobbero tiba-tiba merangsek memasukkan 15 angka bertubi-tubi. Hasil itu kini membuat Ferry dan Kobbero berkedudukan setara. Gimketiga setelahnya akan menjadi babak penentuan.
Aturan main All England menyatakan apabila dua pemain mencapai kedudukan seri setelah dua gim berjalan, pemain tidak diperkenankan beristirahat. Tapi, sewaktu Kobbero meminta istirahat, umpire justru mengizinkan!
Ferry tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menunggu di lapangan sampai wasit pertama atau referee menanyakan alasan permainan tidak dilanjutkan. Ketika umpire menyatakan telah memberi izin rehat, kontan referee memprotes karena hal itu melanggar peraturan. Durasi tiga menit yang lowong itu dianggap merupakan waktu yang lebih dari cukup buat memulihkan tenaga Kobbero.
“Se-olah2 kesandingan iblis, saja tidak bermain lagi dengan pikiran jang sehat. Saja bersitegang-leher dan tetap bermain didekat net, meski ber-ulang2 saja kena terpukul. Finn me-nambah2 kekalapan saja sebab side-line smash jg. dikirimnja selalu murni, zuiver sekali,” ungkap Ferry dalam artikel “Kekalahan Saja terhadap Finn Kobero dalam tornoi All England” yang dimuat Star Weekly (Nomor 642 Th. XIII, 19 April 1958).
Alhasil, dengan semangat “gerudak-geruduk” karena kalap, Ferry masuk jebakan Kobbero yang pandai bermain halus. Dia pun mesti tersisih di babak semifinal All England 1958 itu.
Walau gagal menyabet gelar juara All England, masuknya Ferry Sonneville ke babak semifinal telah cukup jadi bukti ketangguhannya. Dia siap jadi andalan regu bulu tangkis Indonesia untuk Thomas Cup yang bakal digelar pada Juni 1958 di Singapura.
Permintaan Ferry dan Sumbangan Tjoa Keng Lin
Sebelum All England berlangsung, kepada mingguan Star Weekly (1 Maret 1958), Ferry mengaku optimistis jika harus berhadapan dengan Finn Kobbero di All England. Namun, optimisme itu ternyata tidak serta-merta dapat meyakinkan PBSI bahwa dia layak. PBSI pun “menantang” Ferry, dia harus lolos hingga semifinal.
Ferry menyambut tantangan itu. Dia bersedia berjuang untuk Indonesia sebagai atlet atau pelatih sekalipun. Masalahnya, Ferry kala itu juga tengah menempuh studi ekonomi di Universitas Erasmus, Rotterdam, Belanda. Karena itu, dia minta PBSI untuk menanggung ongkos tiket pesawat pulang pergi Belanda-Indonesia sebesar Rp50 ribu.
Itu jumlah uang yang kelewat besar untuk ukuran zaman itu. Sebagai perbandingan, satu eksemplar majalah Star Weekly saat itu seharga Rp4. Artinya, dengan uang Rp50 ribu, Anda bisa membeli 12.500 eksemplar majalah.
Pada 3 Maret 1958, kantor redaksiStar Weekly kedatanganseorang pembaca dari Bogor bernama Tjoa Keng Lin. Tak disangka-sangka, Keng Lin secara sukarela menyerahkan uang tunai Rp1.000 untuk membantu PBSI membelikan tiket pesawat bagi Ferry. Star Weekly tentu gembira, tapi tidak serta-merta memberitakannya.
Keng Lin sendiri berterus-terang ihwal alasannya menyumbang, “Bulu tangkis adalah satu-satunya cabang sport di mana kita mempunyai harapan menjadi kampiun dunia. Untuk itu, kita harus berani berkorban!”
Dompet Pembaca untuk Ferry
Meski akhirnya kalah dari Finn Kobbero, Ferry tetap berhasil memenuhi tantangan PBSI dan membuktikan kelayakannya. Usai kemenangan itu, kepada wartawan olahraga Star Weekly Tan Liang Tie, PBSI menyatakan siap mengusahakan dana ulang-alik untuk Ferry. Meski begitu, PBSI kebingungan juga menyediakan dana sebesar itu.
Saat itulah, Star Weekly ikut bergerak dengan membuka program dompet pembaca. Redaksi Star Weekly pun ikut merogoh koceknya sebesar Rp1.000. Jadi, dana awal yang terkumpul saat itu sebesar Rp2.000.
Program dompet pembaca itu diumumkan pada edisi 29 Maret 1958 dengan sebuah pengumuman pendek berkepala: “Diminta Bantuan Pembatja supaja Ferry Sonneville Dapat Mendjundjung Nama Indonesia”. Pengumuman berisi enam butir penjelasan itu ditutup dengan keterangan: “Berilah kesempatan kepada Ferry Sonneville untuk mendjundjung tinggi nama Indonesia ditjabang olahraga satu2nja dimana kita kini punja harapan mendjadi kampiun dunia.”,
Antusiasme pembaca rupanya juga besar. Sejak pengumuman itu, donasi untuk Ferry tak putus mengalir ke alamat kantor redaksi Star Weekly di Jalan Pintu Besar Selatan 86-88, Jakarta Kota. Laporan perkembangan donasinya ditampilkan secara berkala setiap Sabtu (mulai 5 April hingga 24 Mei 1958) di halaman “Dunia Olahraga”.
Pada minggu pertama, sumbangan yang masuk tercatat Rp4.525. Setiap minggunya, akumulasi donasi bertambah sekira Rp3 ribu hingga Rp4 ribu hingga mencapai Rp13.295 di akhir April. Penambahan tertinggi tercatat dalam laporan tanggal 3 Mei senilai Rp8.745.
Donasi itu tak hanya datang dari pembaca individu, tapi juga dari sejumlah persatuan bulu tangkis, iuran peserta seleksi bakat sebuah persatuan bulu tangkis, hingga sumbangan pabrik shuttlecock.
Star Weekly menutup program donasi itu pada 24 Mei 1958 dengan membukukan total donasi sebesar Rp40.025. Meski sudah menutup dompet, masih ada saja dermawan yang mengirimkan sumbangan.
Menurut pemberitaan Star Weekly (31 Mei 1958), ada enam donatur lagi yang menyumbang Rp400 dan tiga penyumbang lain pada minggu berikutnya tercatat menambah 120 rupiah 80 sen. Jadi, total keseluruhannya mencapai Rp40.545,80.
Pada 16 Juni 1958, redaksi Star Weekly menyerahkan sumbangan pembaca itu kepada PBSI. Foto kuitansi penyerahan sumbangan itu lantas dicetak di Star Weekly edisi 21 Juni 1958 di halaman 41.
Tak Mengkhianati Usaha
Kontingen Indonesia untuk Thomas Cup 1958, termasuk Ferry Sonneville, berangkat ke Singapura pada 1 Juni 1958. Sehari sebelumnya, Ferry menulis surat kecil berisi ucapan terima kasih yang ditujukan kepada Pemimpin Redaksi Star Weekly Auwjong Peng Koen. Tak mau ketinggalan, Star Weekly mengutus Tan Liang Tie ke Singapura dalam rombongan atlet Indonesia untuk mendapatkan liputan eksklusif.
Liputan pertama Star Weekly tentang Thomas Cup diterbitkan dalam Nomor 650 Tahun XIII (14 Juni 1958). Kulit depan majalahdihiasi foto enam pemain yang dijuluki sebagai“Pedjoang2 Indonesia di Singapura”. Mereka di antaranya Ferry Sonneville, Tan Joe Hok, Lie Po Djian, Njoo Kim Bie, Tan King Gwan, dan Eddy Jusuf.
Sebagai sajian utama, liputan bertajuk “Regu Indonesia Menggemparkan Dunia Bulutangkis Internasional di Singapura” diturunkan di halaman 2 dan 3. Tan Liang Tie menggambarkan secara kronologis perkembangan performa atlet-atlet bulu tangkis Indonesia. Mereka yang semula dianggap medioker itu nyatanya mampu tampil trengginas sehingga dijuluki The Giant Killer.
Pada helatan 9 Juni, misalnya, duet Kim Bie-King Gwan mampu menaklukkan pasangan ganda putra Denmark Hammergaard Hansen-Finn Kobbero yang digadang-gadang sebagai lawan tangguh bagi sang juara bertahan Malaya.
Ferry pun tak kalah ligat saat mengayunkan raket. Dalam pertandingan tunggal yang dihelat pada 10 Juni, dia berhasil menekuk Thanoo Kajadbhai dari Thailand dengan skor 15—7. Begitu pula keesokan harinya, Chaeroen Wattanasin dikalahkannya secara telak dengan perolehan akhir 15—2.
“Melihat prestasi pemain2 kita sampai sebegitu djauh, pada tempatnja kalau disini kami menjatakan optimisme mengenai pertandingan terachir melawan regu Malaja,” tulis Tan Liang Tie menutup liputan perdananya dari gelanggang Singapore Badminton Stadium.
Pada partai puncak turnamen yang digelar pada 15 Juni, tim Indonesia berhadapan dengan Malaya. Ferry turun gelanggang melawan Teh Kew San yang mewakili Malaya. Dalam gimketiga, Ferry berhasil menundukkan Teh Kew San dengan skor tipis 18-16.
Tim Indonesia pada akhirnya bisa mengakhiri dominasi Malaya yang menjadi juara bertahan Thomas Cup sejak 1949. Ini adalah Thomas Cup pertama untuk Indonesia.
Gilang-gemilang kemenangan Indonesia ini ikut dirayakan juga oleh Star Weekly. Kulit depan edisi 21 Juni 1958 memuat gambar Piala Thomas dikelilingi enam kepala atlet Indonesia yang berhasil merebutnya. Disediakan pula 7 halaman liputan khusus disertai foto-foto, tajuk rencana surat kabar Pedoman, serta dua artikel feature tentang Ferry Sonneville dan Tan Joe Hok yang didaulat sebagai bintang utama Thomas Cup 1958.
“Ketika kembali ke tanah air, regu Piala Thomas pun dielu-elukan. Koran-koran menjamu mereka dan menghadiahkan raket. Star Weekly diam-diam saja. Auwjong bukan jenis orang yang suka menonjol-nonjolkan jasa majalahnya. Sebagai tanda gembira, redaksi Star Weekly makan-makan di sebuah restoran sederhana di dekat kantor mereka,” kisah Helen Ishwara dalam buku PK Ojong: Hidup Sederhana Berpikir Mulia (2014, hlm. 158).
Meski merayakan kemenangan secara sederhana, Ferry masih ingat akan sumbangsih besar Star Weekly yang menggalangkan dana untuknya. Tak cukup menulis surat, sehari sebelum dia berangkat kembali ke Belanda, Ferry tiba-tiba muncul di kantor redaksi untuk mengucapkan terima kasih.
“Pak Ojong sangat menghargai kedatangan Ferry ini,” kenang Harjoko Trisnadi dalam wawancaranya dengan Helen Ishwara pada 1980.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi