tirto.id - Malam dingin dan cerah di dataran tinggi utara pada November 1833. Sekelompok Yanktonais Nakota berkumpul menatap langit yang berbintang menyelimuti bumi dari cakrawala ke cakrawala. Tidak ada sumber cahaya lain yang mengganggu, jutaan bintang menggantung cemerlang di atas tanah, hampir dapat disentuh.
Ada yang lebih besar dan lebih terang dari yang lain, ada juga yang bersinar dengan warna kemerahan yang hangat, ada yang berwarna putih cerah, dan ada yang berwarna biru serta perak. Malam ini sesuatu yang sangat istimewa terjadi di langit. Setiap beberapa menit, cahaya kemerahan melintasi langit dan menghilang.
Kepada kaum Yanktonais, sepertinya bintang-bintang berjatuhan. Masyarakat mengamati fenomena langit ini hampir sepanjang bulan November, dan ini menjadi peristiwa penting dalam ingatan kolektif mereka serta menjadi bagian dari sejarah masyarakat.
Penggalan kisah di atas merupakan catatan yang terdapat dalam sebuah salinan kain yang pertama kali didapat oleh seorang letnan infanteri AS pada tahun 1870-an. Piktograf tersebut dikenal dengan The Lone Dog Winter Count, berasal dari komunitas Yanktonais Nakota, bagian dari suku penduduk asli Amerika Sioux.
Komunitas ini mengambil nama seorang pria Yanktonais berjuluk Lone Dog, penjaga terakhir penghitungan musim dingin, berisi piktograf yang mendokumentasikan tujuh puluh tahun sejarah Yanktonai, sejak musim dingin tahun 1800 dan berakhir pada 1871.
Salinan tersebut salah satunya menggambarkan peristiwa jatuhnya Meteor Leonid pada tanggal 12 dan 13 November 1833. Meteor-meteor itu muncul dari arah konstelasi Leo dalam jumlah yang diperkirakan mencapai ratusan ribu per jam dan merupakan salah satu peristiwa astronomi paling spektakuler yang pernah tercatat dalam sejarah.
Malam Menakutkan Sekaligus Kegembiraan
Hujan meteor ini disebut Leonid karena titik radiannya berada di konstelasi bintang Leo. Penyebabnya adalah debu dan puing-puing yang ditinggalkan oleh komet 55P/Tempel-Tuttle.
Komet ini ditemukan pada tahun 1865 dan orbitnya dihitung 33,17 tahun. Maka, saat Bumi akan melintasi jalur debu ini yang kemudian masuk ke atmosfer, serpihan-serpihan tersebut terbakar dan meninggalkan jejak cahaya di langit.
Diperkirakan ada lebih dari seratus ribu meteor yang terlihat dalam waktu satu jam. Beberapa laporan menyebutkan meteor terlihat seperti hujan bintang atau bahkan seperti petir yang menyambar langit.
Di sebagian besar wilayah Amerika Utara terjadi hujan meteor yang menyebabkan cahaya berkedip yang tersebar di seluruh langit. Banyak orang percaya takhayul pada malam yang spektakuler itu dan meyakini akhir dunia telah tiba.
Beberapa kesaksian dari orang-orang yang menyaksikan hujan meteor menjadikan cerita ini begitu menggemparkan. Peristiwa ini dipandang sebagai penggenapan nubuat Alkitab, seperti yang dituturkan oleh Parley P. Pratt, seorang pemuka agama Orang Suci Zaman Akhir (Mormon).
Pratt menyaksikan pemandangan hujan meteor dalam suasana kegembiraan daripada ketakutan. Ia teringat peristiwa yang terjadi sebelumnya ketika beberapa orang suci diusir dari Jackson County, Missouri, lalu gerombolan massa berkumpul untuk menyerang mereka.
Bintang-bintang yang jatuh membuat massa ketakutan dan mereka melarikan diri, sehingga Pratt percaya bahwa itu adalah tanda-tanda hari akhir.
“Ribuan meteor terang melesat menembus ruang angkasa ke segala arah, dengan kereta cahaya panjang mengikuti jalurnya. Ini berlangsung selama beberapa jam, dan hanya ditutup oleh fajar matahari terbit. Setiap hati dipenuhi dengan sukacita pada tampilan agung tanda-tanda dan mukjizat,” ujarnya seperti dikutip dalam Autobiography of Parley P. Pratt, Revised and Enhanced Edition (2000:121).
Lalu ada Joseph Smith yang menganggap bintang-bintang berjatuhan sebagai kiriman dari surga, menggenapi catatan dalam tulisan suci. Ia terkagum-kagum melihat pemandangan itu dan mengucap syukur atas kemurahan Tuhan.
Beberapa saksi mata lainnya menggambarkan fenomena bintang jatuh dengan sangat detail. Hujan meteor diibaratkan hujan api yang lebat, yang jatuh setebal butiran salju. Penampakan bintang jatuh dipandang dengan penuh kekaguman oleh sebagian orang, dan ketakutan serta kekhawatiran oleh sebagian lainnya.
Sementara seorang pendeta lainnya, Joseph Harvey Wagoner, yang sedang melakukan perjalanan dari Florida ke New Orleas menggambarkan langit terlihat seperti terbakar dan cahayanya sangat terang.
Waggoner sangat terkesan lalu mencatat pengalaman dalam buku harian perjalanannya. Ia juga melihat banyak orang lain di sepanjang jalan yang berhenti untuk menyaksikan fenomena alam yang luar biasa tersebut.
Catatan Wagoner lantas menginspirasi seorang seniman, Adolf Vollmy, lewat ukiran kayunya yang terkenal. Pemandangan yang digambarkan dalam ukiran kayu menunjukkan sebuah desa yang kagum dengan badai meteor, dengan langit malam yang dipenuhi banyak bintang.
Ukiran oleh Adolf Vollmy diproduksi sekitar 50 tahun setelah kejadian sebenarnya.
Siklus Leonid dan Prakiraan Hujan Meteor Tahun 2023
Hujan meteor tahun 1833 terlihat di seluruh Amerika Utara, dari Kanada hingga Meksiko dan menjadi perhatian para ilmuwan, karena fenomena ini memberikan informasi tentang komposisi komet dan asal usul tata surya kita.
Saat itu, tidak ada yang tahu apa sebab munculnya atau dari mana meteor itu berasal. Astronom Denison Olmsted adalah orang pertama yang menyadari bahwa bintang jatuh tersebut datang dari satu titik, yang pertama kali ia sebut pancaran.
Ia terbangun saat bintang jatuh berhamburan, tidak jauh dari kampus Yale dan tetap terpaku sampai siang hari, sembari mengamati dengan cermat, membuat catatan dengan teliti.
Olmsted lalu mengirim surat ke koran Daily Herald untuk meminta publik mengirimkan informasi tentang hujan meteor dan langsung direspons redaksi dengan mencetak ulang surat Olmsted, menyebarkan permintaan informasi dan mendapatkan perhatian para ilmuwan lainnya.
Olmsted merupakan profesor di Yale yang menggunakan surat kabar untuk sumber informasi tentang hujan meteor tersebut. Ia menggunakan informasi singkat tentang penemuan meteor.
Koran-koran lokal lainnya lalu menyalin pernyataan Olmsted dan berhasil mengumpulkan informasi yang penting dari orang-orang yang menyaksikan hujan meteor itu.
Olmstead mencatat, satu meteor semuanya terpancar dari rasi bintang Leo lewat lekukan pola berbentuk sabit.
Ia juga mengetahui penjelasan rinci tentang badai meteor 34 tahun sebelumnya dengan frekuensi dan durasi yang sama, tepatnya pada 12 November 1799, ketika surveyor AS, Andrew Ellicott, melihat badai meteor di lepas pantai Florida dan dari naturalis Jerman, Alexander von Humboldt, di lepas pantai Venezuela.
Jadi, hujan meteor terkadang berulang dalam siklus 33 hingga 34 tahun. Hujan meteor yang cukup besar terjadi pada tahun 1866, 1966, dan 2001.
Pada tahun 1899, badai meteor tidak terjadi sehingga menimbulkan kekecewaan di kalangan astronom dan masyarakat. Seturut Joe Rao dalam jurnalnya di Organisasi Meteor Internasional, “The Leonids: The Lion King of Meteor Shower”, pada tahun itu aktivitas debu meteor terhalang oleh Planet Jupiter dan Saturnus.
Sejak itu, Leonid memiliki jadwal tidak menentu dan sulit diprediksi. Sebagai contoh, badai meteor tidak terduga terjadi pada tahun 1900 dan 1901 atau tidak adanya hujan meteor yang tercatat pada tahun 1931 dan 1932, sehingga banyak yang meyakini perputaran Leonid telah menurun secara signifikan.
Pada 1966, badai Leonid yang spektakuler terjadi di Amerika dengan kecepatan 40 hingga 50 meteor per detik. Sementara pada 2001, badai meteor besar Leonid terjadi dengan ribuan meteor per jam di Amerika Utara dan negara-negara Asia Timur.
Hujan meteor 2023 diperkirakan akan terjadi pada 17 hingga 18 November 2023. Diperkirakan akan mencapai puncaknya pada pukul 5:33 UTC tanggal 18 November.
Meteor Leonid akan muncul di seluruh bagian langit, memancar dari sekitar bintang yang melambangkan Surai Singa. Dalam kondisi ideal, mata telanjang mungkin mampu melihat 10 hingga 15 meteor Leonid per jam pada puncaknya.
Hujan meteor 1833 memiliki dampak yang signifikan terhadap sains. Peristiwa ini membantu para astronom untuk memahami asal-usul meteor, juga mendorong penelitian lebih lanjut tentang komet.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi