tirto.id - Langit bulan Juli 2018 dipenuhi peristiwa, salah satunya gerhana bulan total yang akan jatuh pada tanggal 28 saat purnama, sekaligus saat posisi bulan berada di titik terjauh dari bumi. Peristiwa gerhana, baik gerhana bulan maupun gerhana matahari, di berbagai belahan dunia selalu direspon oleh manusia dengan berbagai cara.
Di Nusantara, terutama pada masa-masa yang telah lampau, ada kecenderungan yang dilakukan oleh masyarakat saat terjadi gerhana. Menurut Bungaran Antonius Simanjuntak dalam Pemikiran tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara (2011), dalam masyarakat Batak Toba yang masih tinggal di perdesaan, gerhana bulan dipercaya disebabkan oleh Angkalau atau pasukan matahari yang menyerang bulan. Jika bulan tidak nampak di langit pada malam hari, mereka percaya bahwa Angkalau berhasil menyambar bulan.
Agar Angkalau segera mengembalikan bulan yang disambarnya dan berharap bulan tersebut kembali bercahaya seperti semula, mereka biasanya memukul kaleng dan meneriakkan “Paulak bulan i Angkalau” yang artinya: ”Kembalikan bulan itu Angkalau!” Bebunyian dan teriakan itu dipercaya akan membuat Angkalau segera mengembalikan bulan.
“Demikianlah cerita-cerita itu dituturkan dari mulut ke mulut sejak anak kecil sampai tua dan diwariskan terus-menerus kepada generasi berikutnya sebagai salah satu warisan budaya. Pada kurun waktu tertentu sastra lisan ini memiliki peranan tidak kecil dalam kehidupan masyarakat Batak Toba,” tulisnya.
Gulita yang ditimbulkan gerhana, dalam mitologi Jawa juga disebabkan oleh konflik para dewa yang melibatkan dua benda langit tersebut. Jika di Batak Toba ada sosok Angkalau, maka di Jawa ada Batara Kala atau Kala Rahu, putra dewa yang terkena kutukan sehingga berwujud raksasa.
Sosok inilah yang menyebabkan gerhana karena ia menaruh dendam kepada Batara Surya (Dewa Matahari) dan Batara Soma (Dewa Bulan). Setiap kali Batara Kala berhasil menangkap keduanya, ia akan memakan Dewa Matahari dan Dewa Bulan. Untuk membuat Batara Kala segera memuntahkan kedua dewa tersebut, maka masyarakat Jawa membunyikan berbagai tetabuhan agar susana menjadi bising.
Gerhana dan bebunyian adalah pasangan yang turut hadir di Batuputih, Sumenep, Madura. Hal ini setidaknya sempat disinggung oleh Helena Bouvier dalam Lebur! Seni Musik dan Pertunjukkan dalam Masyarakat Madura (2002).
Bouvier menerangkan di daerah Batuputih ada alat musik bernama tongtong keluarga, yang hanya berfungsi sebagai alat penanda bahaya dan tidak pernah digabungkan dengan tongtong lain untuk menyusun ritme musik. Salah satu peristiwa yang dianggap bahaya adalah gerhana bulan.
“Dia adalah alat pembuat bising yang digunakan untuk membangunkan makhluk hidup, baik manusia maupun binatang piaraan, pada waktu gerhana, ketika bulan disebut ghering (sakit). Pada waktu itu, setiap keluarga keluar ke pekarangan dan membuat suara ramai; ada yang memukul-mukul kerangka kayu rumah atau pepohonan di sekelilingnya, sementara yang lain membunyikan tongtong keluarga,” tulisnya.
Di Kalimantan, respons masyarakat terhadap gerhana juga serupa. Bagi masyarakat Dayak, makhluk yang menelan bulan atau matahari dan menyebabkan gerhana bernama Ruhu. Saat itulah biasanya masyarakat Dayak membunyikan gong dan benda apa pun agar matahari atau bulan yang hilang segera kembali.
Di beberapa tempat seperti di Tanjung Laong, penduduk akan memukul lesuk dengan bunyi berirama saat terjadi gerhana. Sementara pada kultur masyarakat Dayak Ngaju, gerhana akan dihalau dengan cara melantunkan Mansana, yakni syair tentang cerita-cerita epik.
Begitu pula apa yang dilakukan oleh orang-orang Sunda. Dalam catatan Mamat Sasmita di harian Pikiran Rakyat edisi 3 April 2017, orang-orang Sunda biasanya akan membunyikan tetabuhan agar peristiwa tersebut segera berlalu.
“Mun samagaha bulan, baheula mah sok ramé tatakolan. Majar bulan jeur dilegleg naga […] Mun samagaha panonpoé, ieu gé sok ramé tatakolan, majarkeun panonpoé keur kawin jeung bulan (Jika terjadi gerhana bulan, dulu kerap ramai tetabuhan, katanya bulan ditelan naga […] Jika gerhana matahari, ini juga kerap ramai oelh tetabuhan, katanya matahari tengah kawin dengan bulan,” tulisnya.
Saat dihubungi Tirto (25/7/2018), Mamat Sasmita berkisah bahwa kebiasaan masyarakat Sunda yang memukul tetabuhan masih dilakukan sekitar warsa 1960-an hingga 1970-an. Ia menambahkan bahwa kebiasaan tersebut tidak menjadi penghalang bagi sebagian masyarakat lain yang hendak melakukan salat sunah gerhana. Mereka juga tidak saling melarang kebiasaannya masing-masing. Bahkan menurutnya, anak-anak kiai pun ikut berlari-lari sambil memukul tetabuhan tersebut.
Menurut Mira M. Mihardja dari Bengkel Studi Budaya, kebudayaan masyarakat Sunda lama itu memaknai gerhana sebagai pertanda.
"Misalkan, dalam kalender Sunda, itu jatuhnya pada 28 Juli, hari Sabtu dan Purnama. Tetapi ini ada samagaha (gerhana), sementara samagaha itu gelap, mereka yang menganggap primbon sebagai tuntunan hidupnya, [peristiwa] itu sebagai pertanda akan adanya peristiwa-peristiwa seperti gempa, angin besar, dan lain-lain di samagaha sekarang ini,” tutur Mira pada Tirto.
Selain merespons peristiwa gerhana, sejumlah masyarakat di Nusantara juga menjadikan langit sebagai patokan yang menuntun sejumlah keputusan kehidupan, misalnya dalam menentukan waktu bercocok tanam, petunjuk melaut, dan lain-lain. Lebih luas lagi, langit juga hadir dalam patokan waktu sehari-hari, tradisi lisan, pertanggalan, dan dongeng-dongeng yang hidup dalam masyarakat.
Sebagai contoh yang menggambarkan hal ini, Mamat Sasmita pernah menulisnya dalam artikel bertajuk “Urang Sunda Neuteup Langit” (Orang Sunda Menatap Langit) yang terbit di Pikiran Rakyat edisi 3 April 2017. Dalam keseharian orang Sunda, menurut Mamat, langit dan benda-benda di angkasa hadir dalam tradisi lisan yang berupa ungkapan dan peribahasa, misalnya: “Satungkebing langit” yang artinya seisi dan seluasnya langit, “Balungbang timur caang bulan opat belas jalan gedé sasapuan” yang artinya ikhlas.
“Timur menunjukkan bintang timur (planet Venus) yang menyala,” tulisnya.
Selain itu, ada juga ungkapan “Sorot soca béntang timur sakembaran” yang menggambarkan keindahan sorot kedua mata. Ada pula “Jumerit maratan langit ngocéak maratan jagat” yang sering digunakan sebagai ungkapan dalam berbagai cerita, terutama kisah yang disiarkan melalui radio.
Sosok legendaris yang menggambarkan hubungan orang Sunda dengan benda langit, khususnya bulan, adalah Nini Anteh dan seekor kucing yang dianggap tinggal di bulan. Jika purnama, permukaan bulan yang terlihat dianggap sebagai sosok tersebut.
“Di Tatar Sunda, berbagai jenis kakawihan, kaulinan barudak, paribasa, cerita, legenda, serta mitos, terkait erat dengan astronomi, dilihat dengan banyaknya ungkapan berbagai objek benda langit,” tulis Ramell Agam dari Komunitas Celah-celah Langit Kota Bandung dalam artikelnya yang bertajuk “Tradisi Palintangan ala Sunda” (Media Indonesia edisi 25 September 2010).
Orang Sunda pun memakai peristiwa di langit dalam menamai waktu demi waktu dalam sehari, 24 jam dalam beberapa interval. Misalnya dari pukul 7 sampai 8 disebut wanci meletek panon poé atau waktu saat matahari mulai muncul, pukul 10 sampai 11 disebut wanci rumangsang atau ketika matahari telah tinggi, pukul 17 sampai 18 disebut wanci sariak layung atau saat langit senja berwarna kuning kemerah-merahan.
Editor: Nuran Wibisono