tirto.id - Pada permulaan Agustus 2023, Panji Gumilang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penodaan agama. Pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun itu menambah daftar panjang orang-orang yang terjerat pasal 156a KUHP.
Sejak ditetapkan pada 1965, pasal ini telah mencokok dan menyeret ratusan pesakitan ke meja hijau. Kasus pertama terjadi pada 1968 saat H.B. Jassin "pasang badan" untuk Kipanjikusmin yang menulis cerpen "Langit Makin Mendung" di majalah Sastra edisi Th. VI No. 8, Agustus 1968, yang dipimpin Jassin.
Meski menulis pembelaan yang sangat panjang, Jassin tak selamat. Tanggal 28 Oktober 1970, dia akhirnya dijebloskan ke penjara.
Tahun berlalu, orde berganti. Era Reformasi nyatanya tak mampu menghapus pasal karet ini.
Salah satu kasus penodaan agama yang terjadi di permulaan Era Reformasi adalah kasus Sekte Pondok Nabi pimpinan Mangapin Sibuea.
Kiamat Tak Jadi Datang
Senin sore, 10 November 2003, suasana Ramadan di Baleendah, Kabupaten Bandung, mendadak lebih ramai dari biasanya. Orang-orang berkumpul, sejumlah aparat kepolisian sibuk menutup mulut Jalan Siliwangi dari arah Bandung dan Majalaya.
Warga penasaran dengan ritual 283 jemaat Sekte Pondok Nabi yang dilakukan di sebuah gedung. Jemaat yang dipimpin Pendeta Mangapin Sibuea itu melakukan ritual menunggu hari kiamat yang diprediksi akan tiba hari itu.
Pondok Nabi dikembangkan Mangapin sejak tahun 2000. Pria kelahiran 1944 ini membentuk satu sekte keagamaan setelah memutuskan tidak lagi menjadi Pendeta.
Setelah lulus dari Sekolah Teknik Menengah (STM), Mangapin sempat mengenyam pendidikan alkitab di Pematangsiantar dan Malang. Setelah lulus, dia menjadi pendeta di Gereja Pantekosta dan pendeta jemaat Filadelfia sampai tahun 1999.
Dilansir dari Pikiran Rakyat edisi 13 November 2003, Mangapin mengaku pertama kali mendapat bisikan pada tahun 1980. Menurutnya, secara jelas dengan mata telanjang dia melihat tiga "Roh Kudus" di taman yang indah, membisikkan akan datangnya hari akhir.
Bisikan tersebut kembali datang dua hari berturut-turut menjelang tanggal 10 November 2003. Dia melanjutkan, "Roh Kudus" membisikkan bahwa tanggal 10 November 2003 merupakan hari pertama penginjilan.
Cara Mangapin berkomunikasi membuat beberapa orang mulai tertarik menjadi anggota jemaatnya.
Keanggotaan sekte meluas sampai ke Jepara, Batam, Palu, Manado, Palangkaraya, NTT, Papua, Maluku, dan Medan. Mereka mengaku mendapatkan pengalaman spiritual yang sama, yakni mendapatkan bisikan. Anggota jemaat yang mendapat bisikan dari "Roh Kudus" kemudian disejajarkan dengan nabi, sehingga sekte tersebut diberi nama Pondok Nabi.
Di sisi lain, beberapa orang justru keluar dari keanggotaan sekte ini karena ajarannya dianggap kontradiktif. Misalnya prinsip pelarangan untuk memiliki harta yang banyak. Sedangkan Mangapin sendiri mengendarai mobil pribadi saat bepergian.
Selain itu, masalah pendidikan para anggota jemaat khususnya anak-anak mendapat sorotan, setelah Mangapin mengeluarkan peraturan yang melarang anak-anak untuk bersekolah.
Sejak 1999, pendirian Pondok Nabi beserta ajarannya telah menuai reaksi keras dari masyarakat. Pemerintah kemudian melarang ritual dan keberadaan sekte ini setelah mendapat masukan dan persetujuan dari Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Jabar dan Kumpulan Gereja se-Bandung serta Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat Kabupaten Bandung.
Dalam pandangan PGI, sekte yang juga dikenal dengan nama Sekte Hari Kiamat ini telah menyimpang dari ajaran Kristen.
Saat itu, Kepala Bidang Binmas Kristen Departemen Agama Jawa Barat meminta aparat kepolisian bertindak tegas terhadap kegiatan sekte ataupun aliran kepercayaan dan keagamaan yang telah direkomendasi dilarang, termasuk Pondok Nabi.
Pelarangan ini hanya berjalan efektif sekitar 6 bulan. Setelah itu, sekte ini terbentuk kembali. Mereka pada mulanya berlokasi di Citeureup, Kecamatan Cimahi Utara, sebelum akhirnya pindah ke Jalan Siliwangi, Kecamatan Baleendah.
Seperti dikutip dari Tempo Interaktif edisi 12 November 2003, ritual yang dilakukan jemaat sekte ini antara lain menyanyi, menari, dan berpuasa 3 hari 3 malam atau 7 hari 7 malam.
Pada 10 November 2003, petugas dan pemerintah setempat memberi waktu kepada jemaat untuk melakukan ritual. Mereka memaksakan diri untuk tetap bertahan di dalam gedung dengan alasan tanda-tanda kiamat baru akan terlihat sore hingga tengah malam.
Dikutip dari Kompasedisi 11 November 2003, Kepala Kepolisian Resor (Polres) Bandung AKBP Eko Hadi Sutedjo menyampaiakn bahwa aktivitas para pengikut Pondok Nabi menimbulkan keresahan di masyarakat.
Warga juga khawatir jika para anggota jemaat yang terdiri dari anak-anak, remaja, dan dewasa itu akan melakukan upaya bunuh diri. Beberapa kali terdengar nyanyian dan tangisan dari dalam bangunan berlantai dua tersebut.
Akhirnya, petugas Bimbingan Masyarakat Polres Bandung didampingi Tim Crisis Center Forum Komunikasi Kristen (TCC FKK) Jawa Barat memutuskan untuk menggerebek bangunan tersebut. Para petugas mendapati tempat ibadah yang pengap dan berbau tidak sedap. Beberapa senjata tajam ditemukan di tempat kejadian, seperti pisau, gunting, dan silet.
Sebagian jemaat ditemukan tengah duduk di lantai, sebagian lainnya duduk di kursi lipat. Isak tangis mereka kian menjadi-jadi ketika para petugas datang.
Situasi mulai memanas saat petugas berusaha menenangkan dan mengamankan mereka. Para pengasuh dan juru bicara jemaat melakukan perlawanan. Beberapa di antaranya masih sempat meyakinkan para jamaat untuk tetap tinggal dan tidak berkompromi dengan petugas sampai peristiwa "pengangkatan ke langit" benar-benar terjadi. Beruntung aksi adu mulut dan upaya pengamanan itu tak menimbulkan bentrokan fisik.
Proses evakuasi dilakukan selepas pukul 15.00 sampai 17.00. Proses ini lagi-lagi diwarnai percekcokan antara petugas dengan para pengurus jemaat Pondok Nabi. Mereka berkilah, bahwa batas waktu prosesi yang disepakati adalah pukul 24.00 dan mereka akan bubar sendiri jika kiamat memang tidak terjadi.
Di sisi lain, petugas melakukan evakuasi untuk meredam kemarahan warga dan menghindari bentrokan. Sebanyak 283 jemaat akhirnya dievakuasi ke Gereja Bethel Tabernakel di Jalan Lengkong Besar, Bandung, menggunakan mobil Dalmas.
Di dalam gereja tersebut, para Nabiya, petugas Pondok Nabi, kembali mengajak jemaatnya untuk melakukan ritual. Mata jemaat dipaksa tetap melek sampai proses "pengangkatan ke langit". Jika ada yang tertidur, langsung dibangunkan. Namun, kiamat yang mereka nantikan tidak juga terjadi.
Vonis bagi Mangapin
Setelah tinggal semalam di Gereja, jemaat mulai menyadari kekeliruan atas apa yang mereka yakini dan lakukan. Esoknya, mereka mulai membuka diri untuk berkomunikasi. Hal ini diungkapkan oleh Hendri Yohanes Wulun, salah seorang pengurus Gereja Kristen Indonesia (GKI) kepada Pikiran Rakyat.
Menurut Hendri, tekanan psikologis yang dialami oleh jemaat perlahan mulai berkurang. Beberapa di antaranya mulai mau makan setelah beberapa hari sebelumnya melakukan ritual puasa.
Sejumlah pengikut Sekte Pondok Nabi mengaku mendapat ilham setelah medapat bisikan dalam mimpi, alam bawah sadar, maupun percakapan langsung. Mereka mengaku berbincang dengan "Yesus Kristus" yang akan menyelamatkan mereka saat kiamat terjadi pada 10 November 2003.
Mangapin selaku pemimpin sekte mengelak ketika dicecar tentang kegagalan datangnya hari kiamat pada 10 November 2003. Dia mengutip tulisannya sendiri dalam buku Kiamat Dunia Akan Segera Terjadi. Dalam buku tersebut, Mangapin menulis bahwa tanggal 10 November 2003 hanya merupakan tahap awal. Kiamat yang sebenarnya akan terjadi pada 11 Mei 2007.
Setelah ditampung di Gereja Bethel Tabernakel selama dua hari, jemaat Pondok Nabi kemudian dipindahkan ke Gedung Serbaguna "Griya Krida Sekesalam" di Jalan Sekesalam, Desa Sindanglaya, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Di tempat baru, jemaat mendapatkan bimbingan konseling sebelum dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing.
Beberapa anggota jemaat menuntut Mangapin untuk mengembalikan harta yang telah digunakan. Menurut laporan Kompas, Mangapin telah mengambil dana ratusan juta dan sejumlah perhiasan emas dari para pengikutnya.
Atas perbuatannya, Mangapin Sibuea akhirnya divonis dua tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung. Dalam sidang yang digelar pada 6 April 2004, Mangapin dinyatakan terbukti bersalah dengan sengaja telah menyelewengkan, menyalahgunakan, dan melakukan penodaan agama.
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi