tirto.id - Dalam rapat paripurna kabinet yang berlangsung di Istana Merdeka, Selasa sore, 29 Agustus 2017, Presiden Joko Widodo meminta para menterinya untuk tak bikin gaduh jelang tahun politik. Setiap kebijakan yang akan diambil, kata dia, harus terlebih dahulu dikonsultasikan kepada publik agar tidak mengecewakan.
Namun, imbauan itu tak berumur panjang. Pada Mei 2018, izin impor beras 500 ribu ton yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan langsung memantik polemik. Reaksi keras meluncur dari Dirut Perum Bulog, Budi Waseso (Buwas), selaku orang yang bertanggung jawab atas pengelolaan pasokan beras pemerintah.
Musababnya, impor itu menyebabkan cadangan beras Bulog menggunung hingga satu juta ton--melebihi kapasitas gudang yang dikelola perusahaan pelat merah tersebut. Polemik antara Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan mantan perwira tinggi Polri itu pun mewarnai media selama berhari-hari.
Terutama setelah umpatan yang diluncurkan Buwas dalam konferensi pers di kantornya pada September 2018. "Kalau ada yang jawab soal Bulog sewa gudang bukan urusan kita, matamu! Itu kita, kan, sama-sama negara," ujar Budi Waseso empat bulan setelah impor itu terealisasi.
Perang urat saraf antara Enggar dan Buwas juga berlanjut dalam urusan impor bawang putih pada Maret lalu. Musababnya, Kemendag tak kunjung menerbitkan izin impor bawang putih kepada Bulog dalam rangka pengendalian harga.
Saat itu, Enggar beralasan tiap importir bawang putih punya kewajiban tanam bibit sebanyak 5% dari kuota impor. Jika izin diberikan kepada Bulog, sementara kewajiban tersebut tak dijalankan, itu tidak akan memberikan rasa keadilan bagi para importir lainnya.
Sebaliknya, Buwas bersikukuh perintah impor bawang putih sebanyak 100 tibu ton kepada Bulog adalah keputusan yang diambil melalui rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan dihadiri Menko Perekonomian Darmin Nasution.
"Anehnya keputusan Ratas yang sudah tiga bulan lalu, sampai sekarang tidak dijalankan karena Bulog belum diberi izin oleh Menteri Perdagangan. Ya apa namanya, menurut saya kurang waras," kata Dirut Perum Bulog itu menggambarkan sikap menteri yang berasal dari Partai Nadem tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution bahkan sampai angkat bicara soal polemik impor bawang putih tersebut.
Ia menegaskan, izin impor bawang putih itu harusnya diterbitkan tanpa syarat karena merupakan bentuk penugasan pemerintah kepada Bulog dan sudah mendesak.
Kuota impor bawang putih sebanyak 100 ribu yang diberikan kepada Bulog, kata Darmin, lantaran ketersediaan bawang putih jelang Ramadan semakin menyusut dan harga sudah makin menggila di pasaran.
"Kami sudah rapat kemarin ini dan kami sudah bilang supaya penugasan di Bulog itu dikeluarkanlah," ujar mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut.
Tak hanya di Kementerian Perdagangan. Ribut-ribut juga terjadi di Kementerian BUMN sepekan setelah hari pemilihan presiden, 24 April 2019. Saat itu, skandal laporan keuangan PT Garuda Indonesia mencuat dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST).
Dua komisaris Garuda Indonesia, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, menolak pencatatan piutang Garuda dengan Mahata Aero Teknologi yang dicatatkan sebagai pendapatan dan mengerek laba maskapai itu keluar dari kerugian.
Belakangan, laporan keuangan emiten berkode GIAA itu berujung pada sanksi dari OJK, Bursa Efek Indonesia, dan Kementerian Keuangan. Ajaibnya, Dirut Garuda Ari Askhara tetap dipertahankan Menteri BUMN Rini Soemarno.
Rini mengaku masih mempercayai Ari meski masalah yang membelenggu Garuda tak cuma persoalan laporan keuangan, melainkan juga dugaan persaingan usaha tidak sehat yang tengah diinvestigasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Jika dugaan kartel harga yang menyebabkan harga tiket pesawat melambung sejak akhir 2018 terbukti, Presiden Jokowi harusnya bisa mengambil tindakan tegas terhadap para pihak yang terlibat, termasuk Rini Soemarno yang melakukan pembiaran.
Selain Garuda, tanggung jawab Rini untuk mengendalikan impor migas yang dilakukan Pertamina juga patut dipertanyakan. Sebab, menurut Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, defisit neraca migas justru disebabkan besarnya impor yang dilakukan Pertamina ketimbang Badan Usaha BBM lain di Indonesia.
Hal ini disebabkan penurunan lifting migas sejumlah blok yang dikelola Pertamina. Oleh karena itu, tutur Komaidi, wajar jika nama Rini sempat disinggung saat Jokowi berbicara soal masalah neraca migas pada rapat paripurna kabinet di Istana Bogor pekan lalu.
"Karena memang pelaku utamanya Pertamina. Jadi 90 persen lebih distribusi BBM dan gas Pertamina. Jadi memang otomatis, karena pelaku utama," kata Komaidi, Selasa (16/7/2019).
Impor Pertamina yang cukup besar ini juga sempat disinggung Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada 15 November 2018. Dalam periode 1 September-13 November 2018, kata Sri, Pertamina menjadi penyebab utama membengkaknya impor solar hingga 1,28 juta kilo liter--tumbuh 13,8 persen dibandingkan periode sama tahun 2017.
Berdasarkan data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan memperlihatkan, impor Pertamina pada periode itu sebesar 680.000.000 liter atau tumbuh 60,72 persen. Perseroan ini pula yang menyumbang devisa impor solar terbesar dalam periode tersebut, yakni 392,67 juta dolar AS, meski hal ini lebih banyak dipicu kenaikan harga minyak dunia dan pergerakan kurs.
Enggar dan Rini yang Kontroversial
Ribut-ribut antar-pejabat yang berkelindan di antara para pembantu Jokowi sebenarnya telah banyak memunculkan kritik. Saat kasus impor beras mencuat, Mantan Menko Kemaritiman Jokowi, Rizal Ramli menuding Enggar sebagai "biang kerok" dan menuduhnya memanfaatkan impor untuk kepentingan pribadi.
Menteri yang memiliki jejaring bisnis cukup luas itu, kata Ramli, seharusnya sudah lama dicopot dari jabatannya jika bukan berasal dari Partai Nasdem yang mendukung pemerintah. Belakangan, akibat ucapan tersebut, Nasdem melaporkan Rizal dengan dugaan pencemaran nama baik dan/atau fitnah, setelah somasi yang mereka layangkan tak digubris.
Dalam rapat paripurna DPR pada 9 Juli lalu, anggota Komisi V dari Fraksi Gerindra Bambang Haryo Soekartono bahkan menyebut pembiaran terhadap sikap Enggar oleh Jokowi--baik dalam perkara impor beras maupun bawang putih--sebagai bentuk anarkisme.
"Rakyat melihat ini bukan lagi pemerintahan otoriter, melainkan anarkisme. Lebih baik otoriter daripada anarkisme, tapi kalau saya pribadi merasa pemerintahan yang demokratis harus tetap dijalankan," ucapnya menyinggung perkara tersebut.
Hingga kini, Enggar masih aman duduk di kursi menteri dan berpeluang untuk kembali menjabat pada periode berikutnya.
Hal serupa juga terjadi kepada Rini Soemarno. Meski kabinet telah mengalami perombakan sebanyak tiga kali, ia tak pernah dicopot dari jabatan bos perusahaan pelat merah, padahal jabatan Rini sebagai Menteri BUMN dipenuhi kontroversi sejak awal.
Wanita yang punya andil penting dalam pembentukan kabinet Indonesia Kerja sebagai Ketua Tim Transisi Pemerintahan Jokowi-JK pada 2014 itu bahkan masih diboikot DPR hingga sekarang.
Rekomendasi untuk mencopot Rini yang dilayangkan Pansus Pelindo II tak pernah digubris Jokowi, kendati ketua Pansus tersebut adalah Rieke Diah Pitaloka dari Fraksi PDIP--partai pengusung Jokowi sekaligus pendukung pemerintah.
Pengajaran Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Faishal Fitra Hadi menyampaikan, polemik yang berkelindan di sekeliling menteri pos perekonomian itu mustinya jadi pertimbangan Presiden Jokowi dalam menentukan sosok yang akan mengisi kursi Menteri Perdagangan dan Menteri BUMN lima tahun mendatang.
Sebab, jika orang-orang dengan catatan buruk itu masih dipertahankan, maka bukan tak mungkin kegaduhan-kegaduhan di sekitar presiden akan kembali berulang. Tentu selain dua nama tersebut, masih ada menteri-menteri lain di pos perekonomian tak luput dari kegaduhan.
"Pertama menurut saya, hindari orang-orang berlatar belakang politik. Kedua, taruhlah orang yang tepat sesuai dengan latar belakangnya. Put the man in the right place," ucap Faishal.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz