tirto.id - Masalah laporan keuangan yang membelenggu PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk terus jadi sorotan publik. Isu tersebut masih ramai diperbincangkan terutama setelah blunder yang dilakukan manajemen Garuda saat menuliskan ucapan "Terima kasih, Pak Jokowi" di badan pesawat.
Dorongan untuk mencopot Direktur Utama (Dirut) Garuda Indonesia, Ari Askhara, juga sudah berseliweran di media sosial. Salah satunya lewat sebuah petisi online yang muncul sehari setelah Kementerian Keuangan, OJK, dan Bursa Efek Indonesia menjatuhkan sanksi kepada emiten berkode GIAA tersebut.
Tentu ini jadi masalah serius yang harus direspons Kementerian BUMN, apalagi masalah yang membelenggu Garuda tak cuma persoalan laporan keuangan, melainkan juga dugaan persaingan usaha tidak sehat yang tengah diinvestigasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Namun, Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei dan Konsultan Kementerian BUMN, Gatot Trihargo, mengatakan belum ada rencana mencopot posisi Ari dari jabatan Dirut Garuda.
“Enggak, sih, kami ikuti aturan Ibu Menteri [BUMN Rini Soemarno] saja, yang mana tidak berencana ganti Dirut Garuda," ujar Gatot saat ditemui di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019).
Ari Askhara mulai diangkat sebagai Dirut Garuda pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) 12 September tahun lalu. Ia menggantikan Pahala Mansury yang digeser ke Pertamina menjadi Direktur Keuangan.
Pria bernama lengkap I Gusti Ngurah Askhara itu sebelumnya juga pernah menjadi Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko di Garuda Indonesia pada Desember 2014 hingga April 2016.
Pengalamannya di Garuda serta latar belakangnya sebagai seorang bankir itu lah yang membuatnya dipercaya menakhodai Garuda, apalagi kondisi keuangan maskapai pelat merah itu tengah mengalami turbulensi.
Barangkali hal itu pula yang membuat Menteri BUMN Rini Soemarno masih percaya kepada Ari untuk terus memimpin meski telah diberi sanksi denda oleh BEI dan harus melakukan restatement atas laporan keuangan Garuda 2018.
Menurut Rini, posisi Ari sebagai Dirut Garuda Indonesia tidak akan diganti hanya karena pernah bersitegang dengan kubu komisaris yang menolak laporan keuangan Garuda Indonesia, yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria.
Sebab, menurut Rini, Garuda Indonesia tidak punya niat memalsukan laporan keuangan karena sudah diperiksa kantor akuntan publik yang bersertifikasi.
"Tidak ada urusan pemalsuan, tidak ada urusannya pembohongan, kami tidak mungkin sebagai pemegang saham memperbolehkan perusahaan BUMN itu diaudit oleh kantor akuntansi yang tidak bersertifikasi. Ya enggak perlu lah dirut dicopot, buat apa?" ucap Rini.
Transaksi janggal yang disorot Chairal dan Dony itu adalah realisasi Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan, antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia (anak usaha Garuda), yang diteken pada 31 Oktober 2018.
Belakangan, piutang atas transaksi itu dicatat sebagai pendapatan pada laporan 2018 dan jadi asal muasal kisruh laporan keuangan Garuda Indonesia.
Menurut Chairal Tanjung, keberatannya didasari alasan bahwa catatan transaksi itu seharusnya tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018. Kepada wartawan, Chairal mengaku sudah menyerahkan surat yang memuat alasan keberatannya terhadap laporan keuangan perusahaan tahun 2018.
Namun, surat itu tak dibacakan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) dan hanya dilampirkan dalam dokumen kegiatan RUPST yang dibagikan ke para pemegang saham perseroan.
Meski demikian, di luar persoalan transaksi tersebut, Chairal menilai kinerja bisnis Garuda sudah baik dan tidak bermasalah.
"Sebenarnya secara bisnis Garuda oke, kuartal I juga naik. Kami hanya keberatan terhadap satu transaksi itu saja. Itu tidak perlu dijelaskan karena masalah pendapat, kami tidak sependapat dengan perlakuan akuntansinya," jelas dia.
Dampak Terhadap Bisnis Garuda
Analis pasar modal Satrio Utomo menilai permasalahan di Garuda perlu segera ditangani dengan merestrukturisasi jajaran direksi. Sebab, kata dia, hal itu bisa berpengaruh pada sentimen pasar dan kembali membangkitkan harga saham GIAA yang anjlok sejak dijatuhkannya sanksi.
"Melepas saham ke pasar modal, kan, soal kepercayaan. Yang namanya harga naik itu, kan, tidak semata-mata soal faktor fundamentalnya, tetapi juga faktor kepercayaan. Kan, masyarakat menaruh uangnya di pasar modal karena mereka percaya," ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis (11/6/2019).
Sejak kisruh laporan keuangan bermula, sentimen negatif pasar memang membuat laju saham GIAA mulai terkoreksi. Saat sanksi atas laporan keuangan itu diumumkan, 28 Juni lalu, harga saham Garuda langsung merosot dari Rp500 per lembar menuju level Rp366.
Berdasarkan catatan Bloomberg, harga saham GIAA sudah tersungkur 134 poin atau 26,80 persen pada rentang waktu 24 April hingga sanksi terhadap Garuda diumumkan.
Sementara pada perdagangan Kamis kemarin, pergerakan harga saham maskapai pelat merah itu tercatat sempat merosot 1,91 persen dari Rp422 per lembar ke level Rp410 per lembar saat pukul 15.52 WIB. Kendati demikian, untuk periode berjalan 2019, saham GIAA tercatat masih menghasilkan return positif 41,3 persen.
Karena itu, menurut Satrio, keputusan Menteri BUMN mempertahankan Ari Askhara tak hanya akan berdampak pada Garuda, melainkan juga pasar keuangan domestik secara keseluruhan. Ini mengingat pentingnya posisi emiten BUMN sebagai motor penggerak pasar modal dalam meningkatkan kapitalisasi pasar juga memperluas investor.
"Kepercayaan terhadap BUMN harus jadi sesuatu yang dijaga," ucapnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz