tirto.id - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memasukkan tempat hiburan seperti bar, diskotek, dan karaoke dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Kebijakan tersebut dikhawatirkan akan berdampak ke sektor hiburan. Pada akhirnya akan membuat kontraksi sektor hiburan dan pariwisata di tengah tekanan ekonomi akibat efisiensi anggaran pemerintah.
Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus, mengatakan pembatasan merokok di tempat hiburan dapat berdampak luas, bukan hanya terhadap konsumen rokok, tetapi juga terhadap rantai ekonomi yang melibatkan industri makanan, minuman, jasa akomodasi, hingga sektor kreatif.
“Kalau pengunjung berkurang karena tidak boleh merokok, maka permintaan terhadap makanan, minuman, dan produk kreatif juga ikut turun. Ini efek domino,” kata Heri dalam keterangannya, dikutip Jumat (1/8/2025).
Heri menyebut bahwa sektor hiburan memiliki karakteristik konsumen dewasa, usia 21 tahun ke atas. Maka, penerapan regulasi ini dinilai tidak tepat sasaran bila tujuannya adalah menekan prevalensi merokok usia muda.
“Sasarannya harus relevan. Kalau tujuannya menurunkan angka perokok muda, fokuskan saja ke sekolah, lingkungan pendidikan bukan ke bar atau kelab malam yang konsumennya jelas sudah dewasa,” tegasnya.
Dampak kebijakan ini juga diperkirakan memperparah tekanan yang sudah lebih dulu dirasakan sektor perhotelan dan pariwisata akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah. Aktivitas seperti perjalanan dinas dan acara luar kantor menurun drastis, sehingga omset dan lapangan kerja di sektor ini ikut tergerus.
“Sudah banyak hotel yang tutup atau sepi. Otomatis tenaga kerja dikurangi. Ada yang jam kerjanya dipotong, bahkan di-PHK. Ini berpotensi menambah angka pengangguran,” tambah Heri.
Ia juga mengingatkan pemerintah untuk mempertimbangkan pemberian stimulus ekonomi, terutama untuk sektor-sektor yang terdampak langsung.
“Pemerintah harus kembali menjadi pionir. Misalnya melalui stimulus yang mendorong daya beli masyarakat atau subsidi pembiayaan untuk UMKM. Kalau tidak, sektor ini bisa terus tergerus,” katanya.
Dalam penyusunan regulasi terkait rokok, menurut Heri, pemerintah masih menggunakan kacamata kuda dengan menyamaratakan produk rokok konvensional dengan produk tembakau alternatif seperti vape. Padahal kajian dari berbagai lembaga, termasuk BRIN, menunjukkan profil risiko yang berbeda.
Bahkan Indef juga pernah mengusulkan ke pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, agar tidak menyamaratakan kedua jenis produk ini dalam penyusunan regulasi, pada empat tahun yang lalu.
“Rokok elektrik itu tidak melalui proses pembakaran, tidak menghasilkan tar. Risiko kesehatannya tentu berbeda. Tapi sayangnya pemerintah masih melihat semua produk tembakau sebagai satu kesatuan risiko,” kritiknya.
Heri mendorong agar penyusunan regulasi mempertimbangkan karakteristik sektoral dan memperhatikan data aktual agar tidak menjadi beban baru bagi industri yang sedang berupaya bangkit.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija), Hana Suryani, menolak wacana pelarangan merokok di tempat hiburan malam seperti klub dan tempat karaoke.
Wacana larangan itu saat ini diketahui sedang digodok oleh DPRD DKI Jakarta dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
"Sebaiknya tidak usah lah ya Raperda itu untuk tempat hiburan malam [masuk jadi] kawasan tanpa rokok itu," kata Hana kepada para wartawan di Jakarta, Selasa (24/6/2025).
Menurut Hana, larangan merokok di tempat hiburan itu akan semakin menekan pelaku industri hiburan yang saat ini sudah terseok-seok akibat pajak tinggi.
“Maksud saya gini loh, kita ini lagi butuh bergerak ekonomi kan ya. Pergerakan ekonomi hiburan aja sendiri lagi bermasalah dengan pajak hiburan yang sekarang ini 40 persen di DKI dan menuju 75 persen. Artinya kita ini udah lagi mau mati,” tegas Hana.
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































