Menuju konten utama
Peraturan Lalu Lintas

Di Balik Keributan Ojol vs Youtuber soal Pelanggaran Lalu Lintas

Para konten kreator lebih baik berkoordinasi dengan kepolisian, agar insiden kericuhan antara ojol vs Youtuber seperti di Tebet tidak terulang.

Di Balik Keributan Ojol vs Youtuber soal Pelanggaran Lalu Lintas
Youtuber laurend hutagalung. FOTO/laurend hutagalung TV

tirto.id - Insiden keributan antara para pengemudi ojek online (ojol) dengan konten kreator viral di media sosial. Kericuhan tersebut terjadi di depan warung Ayam Bakar Wong Solo, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan pada Selasa malam (15/8/2023). Kejadian itu salah satunya diunggah oleh akun @merekamjakarta di Instagram.

Video itu memperlihatkan baku pukul antara pengemudi ojol dengan sejumlah orang. Belakangan, insiden itu diketahui melibatkan konten kreator alias Youtuber, Laurendra Hutagulung.

Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi mengatakan, insiden itu terjadi lantaran adanya pengendara yang melawan arus. Hal itu diketahui setelah polisi melakukan dialog dengan sejumlah pihak termasuk pengecekan langsung ke lapangan.

“Jadi, akar masalahnya adalah masih kami temukan adanya masyarakat yang melanggar rambu tidak boleh melawan arus, tetapi mereka melawan arus. Kemudian tidak boleh putar balik, mereka melakukan putar balik,” kata Ade kepada wartawan, Rabu (16/8/2023).

Ade mengatakan, keributan juga terjadi karena adanya kesalahpahaman antara pengemudi ojol dengan Laurendra dkk. Para ojol disinyalir tak menyukai konten mereka. Oleh karena itu, ia mengimbau agar masyarakat mematuhi aturan lalu lintas.

“Masyarakat kami minta tidak melanggar. Kemudian yang ingin menyosialisasikan, kami berharap memberitahukan juga ke kami untuk kami dampingi supaya di lapangan terjadi sebuah sinergi dan hasilnya lebih optimal dan tidak terjadi miskomunikasi, gesekan, apalagi main hakim sendiri,” kata Ade.

Buntut aksi main hakim sendiri yang dilakukan para ojol itu, Laurendra lantas melayangkan laporan polisi terkait pengeroyokan agar tidak main hakim sendiri. Hal ini dikonfirmasi Kapala Satuan Reserse Kriminal Polres Jaksel, AKBP Irwandy.

“Betul, sudah kami terima laporannya,” kata Irwandy saat dikonfirmasi awak media, Kamis (17/8/2023).

Irwandy mengatakan, laporan itu dibuat Laurendra dengan persangkaan Pasal 170 KUHP terkait pengeroyokan. Polisi tengah melakukan proses penyelidikan kasus itu sembari menunggu hasil visum dari RS Pusat Pertamina dan mengumpulkan keterangan saksi-saksi.

“Kami lakukan visum di RS Pusat Pertamina kepada para korban. Saat ini kami akan melakukan penyelidikan terhadap kejadian tersebut,” tutur Irwandy.

Aksi menghalau pengendara melawan arah yang dilakukan Laurend dan Steve Jou berujung keributan sejatinya bukan kali ini saja. Pada 28 Mei 2023, Laurendra dan temannya juga sempat mendapat perlawanan massa karena dianggap mengganggu dengan konten serupa di daerah Kapuk, Cengkareng.

Kala itu, ia beralasan memilih lokasi tersebut karena banyak aduan di media sosial, termasuk di Youtube yang dikelolanya, banyak pengendara motor yang melawan arah. Ia menyadari bahwa membuat konten itu mungkin ada orang yang tidak suka. Namun, mereka berdalih, tindakan melawan arah tidak dibenarkan dan merugikan pengendara lain.

Polisi Harusnya Malu dengan Konten Kreator

Ketua Koalisi Pejalan Kaki (Kopeka) Alfred Sitorus memandang, fenomena konten kreator menghalau pengendara sepeda motor yang melawan arah bukan hal baru. Para konten kreator ini dianggap polisi ketika mereka memberikan edukasi kepada pelanggar lalu lintas. Semestinya, kata dia, yang mengingatkan pengendara lawan arus adalah polisi.

“Edukasi itu, kan, tidak terlepas dari dia sebagai konten kreator itu soal lain, tapi bahwa dia mengingatkan publik terkait dengan pelanggaran lalu lintas, itu seharusnya yang malu penegak hukum,” kata Alfred saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (18/8/2023).

Aksi konten kreator itu terkesan menggantikan fungsi penegak hukum. Padahal, tugas menertibkan lalu lintas ialah polisi lalu lintas. “Jadi, penegak hukum harusnya berterima kasih ke warga-warga yang melakukan edukasi terkait dengan tertib lalu lintas,” ucap Alfred.

Menurut Alfred, apa yang dilakukan oleh konten kreator itu tidak terlepas dari kurang hadirnya aparat secara konsisten dan tegas mengedukasi masyarakat ihwal pentingnya mematuhi lalu lintas. Padahal, telah terjadi bertahun-tahun pelanggaran. Ia mengatakan, selama ini penegak hukum hanya melakukan secara parsial.

“Penegak hukum hanya melakukan parsial misalkan operasi zebra, lilin, ketupat dan yang lain-lain. Yang terjadi adalah bahwa 37 ribu nyawa melayang setiap tahun di jalan raya. Itu akibatnya apa? Orang punya potensi membunuh orang lain dan membunuh diri sendiri ketika dia punya potensi melanggar lalu lintas. Kan, itu prinsip utamanya,” tutur Alfred.

Alfred mengatakan, ketika orang mengendarai sepeda motor di jalan raya, seharunya sudah dibekali kompetensi untuk berkendara. Oleh karena itu, setiap orang wajib memiliki surat izin mengemudi (SIM) ketika dia sudah cukup umur.

“Ketika orang memiliki yang namanya surat izin mengemudi, harusnya setiap orang tertib berlalu lintas. Kan, itu tujuannya orang memiliki SIM. Jadi, baik itu tertib di jalan raya, mematuhi segala rambu dan yang lain dan yang paling utama adalah dia harus konsentrasi penuh," kata Alfred.

Ia pun mendukung langka edukasi yang dilakukan para konten kreator di ruang publik. "Koalisi Pejalan Kaki mendukung seterusnya para konten kreator jangan berhenti edukasi. Lakukan saja, Anda pejuang road safety di jalan raya," tutup Alfred.

Sementara itu, pengamat trasportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno memandang, apa yang dilakukan oleh para konten kreator itu memang bagus, tapi mereka juga mengambil celah untuk mendapatkan keuntungan dari aksi tersebut.

“Kalau itu melawan arus jelas salah. Masalahnya jadi uang. Kan, konten kreator,” kata Djoko saat dihubungi Tirto, Jumat (18/8/2023).

Djoko memandang, aksi yang dilakukan itu memiliki punya tujuan moral, tetapi konten mereka juga harus dijelaskan lebih rinci ihwal regulasi, pelanggaran, dan bahaya melawan arus.

Pekerjaan Rumah untuk Polisi

Menurut Djoko, mengatur lalu lintas sejatinya tugas kepolisan. Namun, karena keterbatasan sumber daya, sehingga masih banyak lokasi yang tak diawasi oleh polisi. Para konten kreator pun memanfaatkan celah itu.

“Mestinya polisi cekatan lah. Saya lihat kemarin ada polisi di situ. Ini bagian dari tugas polisi di jalan raya. Konten kreator mengambil peluang ketika polisi tidak melakukan apa-apa di lokasi yang ada," tutur Djoko.

Djoko menilai, buntut kejadian itu harusnya menjadi evaluasi kepolisian ke depan. Ia mengimbau kepada para konten kreator agar lebih baik berkoordinasi dengan kepolisian, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sebagaimana insiden di Tebet.

“Tetap harus didampingi karena saya khawatir orang lama-lama kesal, sebaiknya kerja sama dengan polisi. Kepolisian juga (akan) memberikan keamanan buat mereka. Konten juga harus ditambahkan, ini loh pelanggarannya, sehingga kontennya tidak sekadar melihat aksinya dia [konten kreator]" kata Djoko.

Sementara itu, Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Ida Ruwaida mengatakan, aksi yang dilakukan Laurendra, di satu sisi dapat disebut sebagai kerelawanan sosial karena menghalau para pengendara motor yang melawan arus.

Menurut dia, seharusnya ini dilakukan pihak yang berwenang. Namun, adanya pembiaran selama ini, membuat pelanggaran lalu lintas itu dianggap lumrah.

“Sehingga ketika ada 'warga sipil' yang menegur, justru dianggap mengganggu kepentingan para pemotor. Inilah pemicu kericuhan,” kata Ida kepada reporter Tirto.

Kalaupun Laurendra dkk seorang konten kreator, kata Ida, bisa menjadikan materi tersebut untuk edukasi atau literasi publik. Asalkan dilakukan secara intens dan konsisten. Tujuan utama literasi publik tentang kepatuhan di ruang-ruang publik, apalagi jalan raya.

Ia memandang peradaban satu masyarakat/bangsa tercermin di ruang-ruang publik, termasuk kepatuhan, kebersihan, demi kenyamanan dan keamanan bersama.

Di sisi lain, Ida berujar, ulah “main hakim” sendiri yang dilakukan oleh para ojol merupakan wujud perilaku kolektif yang tidak bisa ditoleransi, apalagi dengan kekerasan.

“Yang lebih miris, para pelaku pengeroyokan justru sebetulnya adalah para pelanggar ketertiban,” kata Ida.

Baca juga artikel terkait LALU LINTAS atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Hukum
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz