tirto.id - Dewan Ekonomi Nasional (DEN) menilai sekitar 12 persen ekspor Indonesia ke Amerika Serikat (AS) berisiko terdampak jika pemerintah tidak melakukan negosiasi tarif lanjutan dengan pemerintahan Donald Trump.
Direktur Eksekutif DEN Bidang Strategi dan Kebijakan Ekonomi Gaffari Ramadhan mengatakan, hal ini lantaran pemeritah AS masih melakukan investigasi terhadap sejumlah produk pada bagian tarif 232 yang berpotensi akan dikenakan tarif tinggi.
Adapun berdasarkan data DEN, 12 persen dari total ekspor terdampak tersebut setara dengan 3,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp57,36 triliun (kurs Rp16.391 per dolar AS).
"Jadi ketika nanti hasil investigasinya menyimpulkan, bahwa mencederai national security Amerika, kemudian nanti mereka akan mengimpose tarif yang tinggi yang saat ini masih dalam review," kata Gaffari dalam diskusi publik yang digelar Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Senin (4/8/2025).
Adapun produk-produk yang terancam tarif tinggi dalam Section 232 dimaksud antara lain ban, logam industri seperti aluminium dan tembaga, serta produk otomotif. Menurut Gaffari, sebagian besarnya termasuk dalam kategori “produk strategis” yang oleh otoritas perdagangan AS terkait dengan ancaman terhadap keamanan industri nasional.
"Jadi yang sudah dikenakan tarif tinggi ini adalah di steel 50 persen, alumunium 50 persen, dan produk otomotif 25 persen. Dan baru-baru saja yang baru saja yang sudah approval seperti copper sekitar 50 persen. Sementara produk lain seperti semikonduktor, farmasi, critical minerals, dan beberapa produk lainnya masih dalam proses investigasi," jelas Gaffari.
Namun demikian, ia menyebut masih ada peluang negosiasi. Dalam pernyataan bersama terbaru pemerintah AS, terdapat klausul bahwa produk-produk yang tidak diproduksi secara domestik dapat diberikan pembebasan atau pengurangan tarif.
“Ini bisa kita manfaatkan untuk produk-produk agriculture seperti sawit, kakao, kopi, karet, teh, dan rempah-rempah lain agar mendapatkan tarif lebih rendah dibanding sistem resiprokal,” ujarnya.
Menurut Gaffari, negosiasi menjadi semakin krusial karena beberapa produk ekspor unggulan Indonesia juga merupakan bagian dari rantai pasok brand-brand besar Amerika. "Misalnya kita lihat, memang produk ban kita ini jumlahnya sekitar 8,30 persen dari total impor ban dunia ke Amerika Serikat. Jadi sebenarnya, yang memproduksi juga brand dari Amerika sebenernya. Jadi ini bisa jadi diskusi lanjutan untuk negosiasi," imbuhnya.
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































