tirto.id - Pada akhir 2024, Federasi Sepak bola Malaysia (FAM) meluncurkan proyek naturalisasi besar-besaran demi lolos ke Piala Asia 2027. Tujuh pemain asing direkrut, termasuk Hector Hevel, gelandang yang pernah membela timnas Belanda U-20.
Kakek Hector, Hendrik Jan Hevel, disebut lahir di Melaka saat masih bagian dari Malacca Straits Settlements. Dokumen pendukung pun diserahkan dan proses naturalisasi berjalan mulus. Namun investigasi FIFA pada September 2025 menunjukkan bahwa Hendrik lahir di Den Haag, bukan Melaka seperti yang diklaim FAM.
Investigasi FIFA juga mengungkap manipulasi dokumen enam pemain lainnya. Laporan setebal 69 halaman menunjukkan perbedaan mencolok antara data FAM dan arsip resmi dari Belanda, Spanyol, dan Argentina. Akibatnya, FAM didenda Rp7,3 miliar dan ketujuh pemain dilarang bermain selama setahun.
Pihak yang melakukan pemalsuan data itu mungkin tidak menyadari dan mempertimbangkan bahwa sistem kearsipan modern memungkinkan verifikasi silang antarnegara. Dalam kasus Hector Hevel, dokumen palsu yang dibuat di Malaysia akan langsung terbongkar ketika diverifikasi dengan arsip asli yang tersimpan rapi di Belanda.
Dan keunggulan sistem pengarsipan Belanda telah berusia berabad-abad. Setiap catatan kelahiran, pernikahan, dan kematian tersimpan secara sistematis dan dapat diakses kapan saja.
Mula Pengarsipan di Hindia Belanda
Sejarah kearsipan di Indonesia dimulai pada 28 Januari 1892 ketika Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Landsarchief (lembaga kearsipan). Institusi ini lahir atas kebutuhan mendesak untuk mengelola dokumen-dokumen masa VOC hingga era Hindia Belanda demi kepentingan administratif, ilmiah, dan mendukung penyelenggaraan pemerintahan kolonial.
Lembaga itu menempati gedung di Jalan Gajah Mada yang merupakan bekas kediaman Gubernur Jenderal VOC Reynier de Klerk (1777-1780) yang dibangun pada tahun 1760. Gedung bergaya arsitektur kolonial dengan dua lantai dan langit-langit tinggi ini dialihfungsikan menjadi kantor Landsarchief pada tahun 1925. Lantai atas dan ruang bekas tinggal para budak diubah menjadi depot penyimpanan arsip.
Jacob Anne van der Chijs, seorang sejarawan Belanda, ditunjuk sebagai landsarchivaris (arsiparis) pertama yang menjabat hingga 1905. Ia dilanjutkan oleh Dr. F. de Haan yang bertugas dari 1905-1922, kemudian E.C. Godee Molsbergen pada periode 1922-1937, dan terakhir Dr. Frans Rijndert Johan Verhoeven dari 1937-1942.
Para landsarchivaris ini tidak sekadar mengumpulkan dokumen, tetapi juga menciptakan sistem pengindeksan dan katalogisasi yang menjadi fondasi pengelolaan arsip modern Indonesia.
Selama periode pergerakan nasional, khususnya antara 1926-1929, Landsarchief mendapat tugas khusus untuk berpartisipasi aktif dalam penelitian ilmiah guna penulisan sejarah Hindia Belanda serta mencari dan mengamankan peninggalan Belanda di Hindia Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal, arsip tidak hanya berfungsi sebagai penyimpanan dokumen, tetapi juga sebagai alat kekuasaan dan legitimasi politik.
Masa pendudukan Jepang (1942-1945) menjadi periode yang sepi bagi kearsipan Indonesia karena tidak ada penciptaan arsip oleh pemerintah pada masa itu. Landsarchief berganti nama menjadi Kobunsjokan dan ditempatkan di bawah koordinasi Bunkyokyoku, namun fungsinya sangat terbatas.
Ironisnya, pada periode ini arsip justru menjadi sangat penting bagi orang Belanda yang membutuhkan informasi genealogis untuk membuktikan keturunan Indonesia mereka agar dibebaskan Jepang.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, institusi kearsipan Indonesia secara yuridis dimulai dengan mengambil alih seluruh koleksi arsip Landsarchief oleh Pemerintah Indonesia.
Nama institusi berubah menjadi Arsip Negeri dan ditempatkan di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan hingga pertengahan 1947. Arsip Negeri tetap menempati gedung bersejarah di Jalan Gajah Mada hingga tahun 1974.
Dinamika politik pasca kemerdekaan turut memengaruhi nasib institusi kearsipan. Ketika Belanda melancarkan agresi militer pertama dan berhasil menduduki kembali wilayah Indonesia pada 1947, Arsip Negari kembali dikuasai Belanda dengan nama Landsarchief di bawah pimpinan Prof. W. Ph. Coolhaas.
Setelah pengakuan kedaulatan pada akhir 1949, lembaga ini kembali ke tangan Indonesia dan berevolusi menjadi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada tahun 1974. Tahun itu, seluruh koleksi arsip dipindahkan ke gedung baru di Jalan Ampera Raya Nomor 7, Jakarta Selatan. Proses pemindahan ini memakan waktu lima tahun hingga selesai pada 1979.
Gedung lama di Jalan Gajah Mada kemudian terbengkalai hingga akhirnya diselamatkan oleh komunitas pengusaha Belanda yang merenovasinya sebagai hadiah ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-50.
Kini gedung bersejarah di Jalan Gajah Mada No. 111 berfungsi sebagai Pusat Studi Arsip Statis Kepresidenan ANRI, dengan bagian depan yang merupakan bangunan cagar budaya digunakan sebagai lokasi pameran berkala, sedangkan bagian belakang difungsikan sebagai pameran arsip kepresidenan.
Kunci Sukses Budaya Arsip Belanda
Menurut data Uni Eropa tahun 2013, Belanda memiliki sistem registrasi berbasis peristiwa yang mencakup pencatatan kelahiran, pernikahan, dan kematian yang sesuai dengan munisipalitas tempat peristiwa terjadi. Sistem ini dilengkapi dengan register populasi yang mencatat detail lain tentang warga yang tinggal di negara tersebut, seperti alamat saat ini.
Keunggulan sistem kearsipan Belanda terletak pada pendekatan yang sistematis, terpusat, dan berkelanjutan yang telah dikembangkan selama berabad-abad. Sejak masa VOC pada 1602, setiap transaksi, pengiriman, dan keputusan dicatat rapi karena setiap lembar kertas punya nilai ekonomi.
Arsip menjadi alat utama untuk menjalankan kebijakan eksploitatif seperti Tanam Paksa (cultuurstelsel) dari tahun 1830 hingga 1870. Ribuan halaman laporan, survei tanah, dan data produksi disusun untuk menguras sumber daya alam dan manusia demi keuntungan negara induk.
Arsip VOC yang tersebar di Jakarta, Kolombo, Chennai, Cape Town, dan Den Haag mencakup sekitar 25 juta halaman dokumen yang berisi informasi tentang kegiatan komersial, keuangan, diplomatik, serta administrasi perusahaan. Bahkan terdapat arsip-arsip yang mencatat praktik korupsi dan penggelapan pajak.
Menurut catatan Badan Pendidikan, Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), dokumen-dokumen tersebut tidak hanya mencatat transaksi bisnis, tetapi juga detail kehidupan sehari-hari termasuk slip gaji, daftar utang, jam keberangkatan budak, asal daerah budak, dan berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat kolonial.
Yang paling gelap adalah pencatatan perbudakan. Manusia diperbudak dicatat sebagai aset, lengkap dengan nama, asal, usia, dan kondisi fisik. Di Elmina, Suriname, dan St. Eustatius, arsip mencatat populasi budak secara rinci.
Menariknya, pencatatan yang dulu jadi alat penindasan, kini justru menjadi sumber penting bagi keturunan mereka untuk menelusuri silsilah dan sejarah yang nyaris terhapus. Ketelitian sang penindas, tanpa disadari, menyediakan kunci bagi pembebasan ingatan kaum tertindas.
Warsa 1 Januari 1850, Belanda memiliki sistem register populasi berkelanjutan yang merupakan salah satu dari sedikit negara di dunia yang mempertahankan hal ini sejak pertengahan abad ke-19.
Setiap munisipalitas atau wilayah lokal di Belanda wajib membuat dan memelihara register semua penduduk yang tinggal dalam batas wilayahnya. Yang membuat sistem ini istimewa adalah sifat kontinuitasnya, berbeda dengan sensus yang hanya memberikan gambaran pada waktu tertentu, register populasi Belanda seperti film yang terus merekam perubahan.
Kunci kesuksesan sistem kearsipan Belanda dapat dilihat dari beberapa faktor fundamental. Pertama, standardisasi yang ketat dalam pengelolaan dokumen dengan menerapkan standar operasional prosedur yang jelas dan komprehensif untuk memastikan semua dokumen dan data dikelola secara seragam.
Kedua, sentralisasi sistem yang memungkinkan kontrol kualitas yang lebih baik, meskipun setiap munisipalitas memiliki tanggung jawab lokal untuk memelihara register penduduknya.
Ketiga, kontinuitas temporal, sistem ini telah berjalan tanpa terputus sejak 1850 dengan berbagai adaptasi teknologi dari sistem buku, kartu kertas pada 1940, hingga digitalisasi pada 1994.
Keempat, akurasi tinggi yang dihasilkan dari prosedur verifikasi berlapis, seperti yang terlihat dalam kasus investigasi FIFA yang dapat menemukan dokumen asli kelahiran Hendrik Jan Hevel di arsip Den Haag—pemain asing yang sempat diklaim Federasi Sepakbola Malaysia (FAM) lahir Melaka.
Era digital membawa sistem kearsipan Belanda ke tingkat yang lebih canggih. National Archives of the Netherlands kini mengelola hampir 1000 tahun sejarah Belanda dalam bentuk 130 km arsip kertas, 15 juta foto, dan sekitar 300.000 peta serta gambar.
Mereka telah mengimplementasikan e-depot untuk manajemen jangka panjang literatur jurnal elektronik sejak 2003, dengan lebih dari 15 juta artikel telah dikelola.
Transformasi digital ini didukung oleh adopsi model OAIS (Open Archival Information System) yang memberikan kerangka kerja untuk preservasi digital jangka panjang. Teknologi pengenalan teks tulisan tangan seperti Transkribus telah memungkinkan digitalisasi dan transkripsi jutaan halaman dokumen, termasuk proyek besar-besaran yang melibatkan 3 juta halaman dokumen dengan target mencapai 100 juta scan dalam beberapa tahun ke depan.
Indonesia sendiri kini menyimpan arsip VOC terbesar di dunia, terdaftar di UNESCO Memory of the World.
Arsip Nasional di Era Kiwari
Sementara Belanda melaju dengan infrastruktur digital yang mapan, Indonesia menghadapi jalan terjal. Tantangan yang dihadapi Indonesia di era kiwari ialah persoalan struktural yang berakar pada kondisi sosio-ekonomi negara: kesenjangan digital atau digital divide.
Kesenjangan itu mencakup biaya, literasi digital, dan infrastruktur yang timpang. Akibatnya, menurut kajian ANRI, kesenjagan digital menciptakan risiko tinggi “kegelapan digital”, sebuah kondisi saat memori bangsa bisa lenyap karena tak terkelola dengan baik.
Bagi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), tantangan ini terasa nyata. Menyaring dan melestarikan yang bernilai permanen dari lautan informasi ini butuh sistem canggih dan sumber daya besar. Format digital cepat usang, media penyimpanan rentan rusak, dan ancaman siber terus mengintai. Proses alih media dari arsip konvensional ke digital pun mahal dan memakan waktu.
Yang paling mendasar adalah soal sumber daya manusia. Era digital menuntut arsiparis yang tak hanya paham prinsip klasik, tapi juga mahir teknologi informasi, manajemen data, dan keamanan siber. Membangun kapasitas SDM di seluruh Indonesia butuh investasi besar dan pelatihan berkelanjutan.
Jika sejarah kolonial terdokumentasi dengan rapi, dan sejarah Indonesia merdeka di era digital terancam hilang, maka narasi kolonial justru bisa menjadi bagian paling lestari dari rekaman sejarah bangsa. Kegagalan dalam preservasi digital berisiko melemahkan proyek identitas pascakolonial itu sendiri.
Meski tantangannya besar, Indonesia tak tinggal diam. ANRI dan pemerintah meluncurkan Jaringan Informasi Kearsipan Nasional (JIKN) dan Sistem Informasi Kearsipan Nasional (SIKN)—platform web untuk jaringan arsip nasional yang terintegrasi.
Pada tahun 2012, ANRI bermitra dengan Corts Foundation untuk membangun fasilitas digitalisasi berteknologi tinggi bernama DASA (Sistem Arsip Digital di ANRI) guna mendigitalkan koleksi arsip tulisan tangan tertua.
Keberhasilan sistem kearsipan Belanda yang telah bertahan berabad-abad dengan akurasi tinggi memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya standardisasi, kontinuitas, dan adaptasi teknologi dalam pengelolaan arsip.
Indonesia, dengan warisan arsip kolonial yang kaya dan ambisi transformasi digital yang progresif, berada di persimpangan untuk mewujudkan sistem kearsipan yang tidak hanya memelihara memori kolektif bangsa tetapi juga memungkinkan akses yang adil terhadap informasi sejarah.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































