tirto.id - “Dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih: menghindar dari satu kebinasaan harus didahulukan daripada mengambil manfaat.”
Keputusan resmi PP Muhammadiyah menerima tawaran izin pertambangan dari pemerintah direspons sejumlah kekecewaan. Beberapa keluh bahkan datang dari internal persyarikatan. Kritik dari warga Muhammadiyah yang menolak izin tambang tak lebih karena aktivitas pertambangan berpotensi membawa mudarat besar.
Salah satunya datang dari Anggota Bidang Kajian Politik SDA LHKP PP Muhammadiyah, Parid Ridwanuddin. Dia menilai PP Muhammadiyah bergerak mundur dengan menerima izin tambang yang diakomodir pemerintah.
PP Muhammadiyah, kata Parid, mengeklaim dapat memberikan contoh baik atau uswatun hasanah dalam tata kelola tambang. Klaim itu menjadi salah satu pertimbangan PP Muhammadiyah menerima tawaran izin tambang.
“Konkretnya, dinilai bisa menambang tanpa merusak lingkungan, dan tidak akan melahirkan konflik sosial. Benarkah klaim itu?,” kata Parid mempertanyakan klaim tersebut, ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (29/7/2024).
Menurut Parid yang terjadi justru sebaliknya. Pertambangan membawa kerusakan ganda di berbagai sektor. Maka, sangat tidak masuk akal jika PP Muhammadiyah justru menerima tawaran izin tambang tersebut.
Hal yang perlu diketahui, jelas Parid, batu bara merupakan energi fosil yang paling kotor. Secara global, per satu gigawatt energi yang berasal dari batu bara menghasilkan emisi sebesar 820 ton C02.
Angka ini merupakan yang tertinggi bila dibandingkan dengan minyak dan energi lainnya. Kontribusi batu bara pada sektor energi membawa Indonesia menjadi penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021.
Pertambangan batu bara juga menjadi ancaman bagi wilayah pangan produktif di Indonesia. Luasan tambang batu bara dilaporkan mencakup 19 persen dari areal persawahan dan 23 persen lahan yang tersedia untuk kawasan persawahan baru di Indonesia.
“Telah ada seluas 15 persen kawasan yang diperuntukkan di wilayah perkebunan produktif juga berisiko dibuka dan ditambang untuk produksi batu bara, sehingga menimbulkan risiko terbesar bagi ketahanan pangan di masa mendatang,” jelas Parid.
Dari gambaran sekilas tersebut, menurut Parid, keuntungan pertambangan batu bara tidak mampu mengganti serta memulihkan kerusakan dan krisis yang berlapis-lapis efek aktivitas pertambangannya. Berbagai kerusakan tersebut juga tidak pernah dipulihkan, apalagi cuma mengandalkan kegiatan CSR perusahaan.
“Dengan menerima konsesi tambang batu bara, jargon sebagai gerakan pembaharuan dan pencerahan patut dipertanyakan. Bahkan dapat dikatakan Muhammadiyah sedang bergerak mundur jauh ke belakang,” ungkap Parid.
Sebelumnya, LBH AP PP Muhammadiyah turut menyatakan sikap menolak pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan. Mereka memberi rekomendasi agar PP Muhammadiyah tidak ambil tawaran izin pertambangan yang disediakan pemerintah. Hal ini dituturkan oleh Ketua Riset dan Advokasi Publik LBH AP PP Muhammadiyah, Gufroni.
Gufroni menyatakan pihaknya sudah mengirimkan pendapat hukum (legal opinion) kepada pimpinan Muhammadiyah agar bisa dipertimbangkan sebelum mengambil tawaran tambang. Ia mengaku, pendapat hukum ini memang diminta langsung PP Muhammadiyah.
Namun, hasil konsolidasi PP Muhammadiyah pada 27-28 Juli 2024 memutuskan bahwa PP Muhammadiyah menerima tawaran izin tambang dari pemerintah.
“Tapi dengan sudah diputuskannya PP Muhammadiyah menerima IUP maka kami tentunya sami'na wa atho'na [kami dengar dan kami patuh] terhadap putusan pimpinan PP,” ucap Gufroni kepada reporter Tirto, Senin.
Dalam dokumen pendapat hukum LBH AP PP Muhammadiyah yang diterima Tirto, mereka menilai dalam banyak kasus sering kali terjadi ketimpangan antara tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah tambang dengan pendapatan yang diperoleh perusahaan tambang.
Selain itu, persyarikatan Muhammadiyah lewat lembaga-lembaga yang ada di bawah PP Muhammadiyah, Bidang Hukum, HAM dan Hikmah juga telah melaksanakan gerakan yang dinamakan dengan ‘Jihad Advokasi Tambang’. Mereka telah mendampingi masyarakat yang menjadi korban aktivitas pertambangan, antara lain: warga di Wadas-Jawa Tengah; Pakel-Jawa Timur; Airbangis-Sumatra Barat; Pulau Rempang-Batam dan lain-lain.
LBH AP PP Muhammadiyah menilai IUPK untuk ormas secara materiil memang potensial mendatangkan pemasukan besar bagi persyarikatan. Namun, yang perlu menjadi pertimbangan justru kerugian moral yang akan diderita Muhammadiyah yakni terkait kerusakan lingkungan, baik fisik maupun sosial.
“Padahal manusia sebagai khalifatul fil ardhi hadir untuk memelihara bumi dan mencegah kerusakan di muka bumi,” tulis mereka.
PP Muhammadiyah resmi menerima tawaran pemerintah mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) setelah mengadakan Rapat Konsolidasi Nasional di Universitas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (28/7/2024).
Rapat memutuskan Muhadjir Effendy yang membidangi bisnis dan ekonomi sebagai ketua tim pengelola tambang PP Muhammadiyah. Sementara Muhammad Sayuti ditunjuk sebagai sekretaris.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menuturkan keputusan tersebut dilakukan melalui beberapa pertimbangan. Alasan utamanya adalah pengelolaan sumber daya alam dan memperkuat dakwah Muhammadiyah di bidang ekonomi.
“Kita menyadari usaha tambang dan usaha-usaha lain selalu ada problem sosial dan problem lainnya yang harus kita kaji sampai ada kesimpulan bahwa usaha tambang itu adalah usaha yang punya peluang untuk dikembangkan bagi kesejahteraan orang banyak,” kata Haedar usai rapat.
PP Muhammadiyah menyusul Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai ormas keagamaan yang lebih dulu menerima tawaran izin tambang batu baru dari pemerintah.
Keputusan resmi PBNU menerima tawaran tambang dari pemerintah diumumkan langsung Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf, pada Kamis (6/6/2024), di Kantor PBNU, Jakarta. Yahya mengeklaim badan usaha PBNU bakal menjalankan pertambangan ramah lingkungan.
Dia juga memastikan bahwa PBNU sudah mengajukan izin tambang kepada pemerintah. Ia menyatakan proses pendirian perusahaan terbuka (PT) tambang milik PBNU bakal diurus oleh sosok pengusaha sekaligus Bendahara Umum PBNU, Gudfan Arif Ghofur.
“NU memberanikan diri untuk masuk saja dulu, nanti kita lihat. Apa pun juga NU ini punya kesadaran akan tanggung jawab moral terkait lingkungan hidup dan kemaslahatan masyarakat umum,” ujar Yahya saat itu. Keputusan PBNU menerima tambang lebih dulu menuai polemik.
Izin tambang bagi ormas keagamaan dilandasi oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Presiden Jokowi juga meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2024 tentang teknis izin tambang untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan yang diberikan prioritas untuk mendapatkan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Perpres 76/2024 menyatakan bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) berasal dari wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Pemberian penawaran prioritas bagi ormas keagamaan disebut, “dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.”
Dalih Semu Kesejahteraan
Kepala Divisi Hukum JATAM, Muhammad Jamil, menilai narasi kesejahteraan masyarakat dalam penawaran izin tambang bagi ormas keagamaan bakal sulit tercapai. Pasalnya, bila tambang milik ormas keagamaan akhirnya dikelola oleh mitra kawakan di sektor tambang, maka sama saja ormas hanya menarik hasil yang tidak maksimal.
“Yang terjadi mereka mempekerjakan perusahaan pertambangan lain. Sehingga akibatnya keuntungan yang didapat tidak sebesar kemudian ormas ini mengelola hulu ke hilir sendiri prosesnya,” kata Jamil kepada reporter Tirto, Senin.
Di sisi lain, perusahaan pertambangan mitra kemungkinan besar memang pemain lama di sektor tambang, di mana tata kelola mereka sangat destruktif. Pertambangan mineral dan batu bara memiliki sifat yang rakus lahan dan rakus air sehingga mengancam lingkungan.
Jamil menilai, landasan hukum izin pertambangan prioritas untuk ormas keagamaan juga lemah. Karena bertentangan dengan UU Mineral dan Batu Bara [Minerba] di mana Pasal 75 Ayat (3) dan (4) secara tegas mengatur prioritas Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hanya diberikan kepada BUMN/BUMD. Sementara untuk badan usaha swasta pemberian IUPK harus dilakukan melalui proses lelang.
“Kalau ada ormas dapat izin dan digugat oleh pihak ketiga bisa saja ini izinnya dibatalkan karena lemah secara hukum dan tentu niat untuk menyejahterakan itu tidak jadi,” ujar Jamil.
Narasi izin tambang ormas dapat menyejahterakan masyarakat juga perlu ditinjau kembali. Nyatanya, lokasi tambang batu bara yang dikelola ormas keagamaan adalah tempat-tempat di mana konflik sosial dan lingkungan sering terjadi.
Pemerintah menyediakan enam lahan eks PKP2B untuk dikelola oleh ormas keagamaan. Lahan perusahaan yang bisa dikelola ormas yakni bekas PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (MAU), dan PT Kideco Jaya Agung.
Jamil menilai, salah satu lahan perusahaan di atas ada di Kalimantan Timur (Kaltim) dan aktivitas pertambangan batu bara mereka mengancam warga lokal. Masyarakat adat Dayak Basap di Kaltim kerap terusir dari hutan dan ruang hidup mereka karena aktivitas ekstraktif dari pertambangan.
JATAM mencatat, di Kaltim lubang tambang yang tidak direhabilitasi telah menelan korban tewas 49 orang dan mayoritas anak-anak. Kasus-kasus tersebut juga dibiarkan begitu saja tanpa ada penegakan hukum.
Ormas keagamaan juga dinilai cuma dimanfaatkan untuk melegitimasi pertambangan batu bara. Pasalnya, banyak negara sudah mulai meninggalkan batu bara sebagai sumber energi sehingga pertambangan sektor ini rajin dikritik. Jamil menilai, pemerintah seolah memakai ormas keagamaan sebagai tameng agar batu bara mendapatkan legitimasi dari sisi agama.
“Untuk menyatakan bisnis ini tidak seburuk yang diucapkan dunia,” tegas Jamil.
Upaya Kooptasi
Project Lead Ummah For Earth dari Greenpeace Indonesia, Rahma Shofiana, menilai tidak ada istilah tambang yang berkelanjutan, sebab karakter industri ekstraktif seperti tambang adalah destruktif. Ormas keagamaan perlu merenungkan kembali nilai-nilai keagamaan dan komitmen terhadap kepedulian lingkungan serta kemanusiaan sebab menerima tawaran izin tambang,
“Terlibat dalam konsesi tambang justru membuka peluang mudarat lebih besar. Pengelolaan tambang oleh ormas rentan menimbulkan ketidakpercayaan dari umat,” ucap Ana, sapaan akrabnya, kepada reporter Tirto, Senin.
Ana menilai pemberian IUPK batu bara untuk ormas keagamaan merupakan suatu bentuk kooptasi dan peredaman suara kritis masyarakat sipil termasuk ormas keagamaan. Tak hanya itu, tambah dia, hal ini juga akan menghambat upaya transisi energi di Indonesia.
Mengamini pendapat Ana, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur, menilai ada upaya untuk meredam suara kritis masyarakat sipil di balik pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan. Dengan menerima tawaran IUPK, maka PBNU dan PP Muhammadiyah sudah bertentangan dengan banyak kajian lembaga mereka yang menilai aktivitas tambang membawa kerusakan bagi umat.
“Ormas seringkali dipakai untuk alat mengawal kekuasaan dan mengawal rezim otoritarian dan rezim tirani. Nah kemudian bagi kami ini adalah bagian dari kooptasi upaya kekuasaan melanggengkan kekuasaannya, memperpanjang hasrat tiraninya, dengan dukungan ormas keagamaan,” kata Isnur kepada reporter Tirto, Senin.
Selain itu, ormas keagamaan kerap mendalilkan bakal mengelola tambang dengan cara yang baik. Seraya tidak sadar atau kemudian pura-pura tidak tahu bahwa yang akan mereka gunakan adalah lahan bekas perusahaan pertambangan oligarki yang sudah rusak dikeruk.
“Jadi argumentasi bahwa ini adalah menyejahterakan rakyat itu tidak menemukan ketepatan argumentasi,” ucap Isnur.
Respons Muhammadiyah dan NU
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, memahami polemik yang muncul akibat penerimaan konsesi tambang. Ia juga meminta media massa mewartakan secara berimbang terkait sikap persyarikatan.
"Pro dan kontra itu hal yang biasa. Saya tahu ada pihak yang tidak setuju. Tapi tidak sedikit yang mendukung. Media seharusnya memberitakan secara seimbang. Jangan hanya yang kontra. Kami masyarakat tidak apriori dan membuat justifikasi berdasarkan asumsi." kata dia kepada Tirto, Senin.
Mu'ti memastikan persyarikatan akan menjaga amanah dengan baik terkait pengelolaan tambang. Bahkan jika nantinya ditemukan mudarat, Muhammadiyah tidak segan mengembalikan konsesi tersebut kepada pemerintah.
"Insyaallah Muhammadiyah akan menjaga amanah dengan sebaik-baiknya dan mengelola tambang yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Kalau ternyata mafsadah dan mudarat lebih besar daripada manfaat, Muhammadiyah tidak akan nekat. Dengan penuh tanggung jawab izin usaha akan kita kembalikan kepada pemerintah," jelas Mu'ti.
Sebelumnya, dalam wawancara khusus dengan Tirto, Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, Azrul Tanjung, mengeklaim PP Muhammadiyah akan menghapus hal negatif yang selama ini terjadi di kawasan tambang seperti mencederai hak masyarakat.
“Muhammadiyah akan menunjukkan kepada para pengusaha tambang cara menambang yang benar itu seperti apa? Sesuai dengan koridor hukum, tidak hanya hukum positif. Tapi, kita juga melihat kepada Alquran dan sunah,” kata Azrul kepada Tirto.
Dihubungi terpisah, Ketua PBNU, Ulil Abshar Abdalla, menyatakan PBNU sudah mendirikan PT yang akan menangani bisnis tambang mereka. Dia menjamin PBNU mengelola tambang dengan cara-cara yang benar dan bermanfaat bagi warga NU alias nahdliyin.
“Kita akan melakukan semuanya sesuai aturan, dan hasilnya dipakai untuk kemaslahatan nahdliyin serta memperkuat kemandirian NU sebagai ormas. Sehingga hasilnya adalah halal; halal dari aspek legalitasnya, halal pengelolaannya, halal hasilnya,” ucap Ulil kepada reporter Tirto, Senin.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky