Menuju konten utama

Di Balik Bayang-Bayang Utang, Joki Pinjol Tawarkan Solusi Semu

Maraknya penawaran pinjol dengan administrasi mudah tidak hanya melahirkan pinjol ilegal tapi juga joki pinjol.

Di Balik Bayang-Bayang Utang, Joki Pinjol Tawarkan Solusi Semu
Header Insider Joki Pinjol. tirto.id/Fuad

tirto.id - Pasar pinjaman Peer-to-Peer (P2P) di Indonesia cukup terfragmentasi. Menurut analisa Ken Research, pasar di dalam negeri untuk industri ini meningkat pada 2022 dengan tingkat pertumbuhan tahunan (Compounded Annual Growth Rate/CAGR) hingga 142,8 persen. Hal ini seiring meningkatnya permintaan penetrasi pembiayaan pada sektor ini.

Dalam studi tersebut disebutkan bahwa Indonesia setidaknya memiliki 785 bisnis fintech. Jumlah yang fantastis tersebut menobatkan Ibu Pertiwi menjadi pusat startup fintech terbesar kedua di Asia Tenggara.

Kehadiran industri fintech yang menawarkan produk keuangan berbasis digital, jelas membuka pintu baru bagi masyarakat yang ingin mengajukan pinjaman. Kondisi ini berbanding terbalik dengan layanan pinjaman konvensional yang ditawarkan bank atau koperasi.

Salah satu produk unggulan fintech yang dikenal luas oleh netizen Indonesia adalah pinjaman online alias pinjol. Pinjaman yang ditawarkan umumnya melalui proses yang mudah, singkat dan tanpa persyaratan rumit. Jadi wajar saja jika, pinjol dengan mudah menarik popularitas, utamanya di kalangan generasi muda.

Jika melihat data statistik fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total penyelenggara pinjol yang legal atau terdaftar dan berizin di OJK mencapai 101 hingga September 2023. Jumlah itu terdiri dari 94 penyelenggara fintech konvensional dan 7 syariah dengan total aset sebesar Rp7,41 triliun.

Dalam kurun waktu tersebut, jumlah pinjaman beredar mencapai Rp55,7 triliun yang disalurkan kepada 19,52 juta rekening. Berdasarkan jenis pinjaman, khusus untuk sektor produktif sebesar Rp7,83 triliun pada September 2023. Nilai itu setara dengan 37,66 persen dari total penyaluran pinjaman online sepanjang bulan tersebut.

Masalah Kredit Macet

Merujuk data OJK terlihat bahwa mayoritas kredit macet masih disumbangkan oleh gen Z. data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2022 mengungkapkan, generasi muda lebih berani berutang dibanding generasi sebelumnya. Mayoritas pengutang pinjol adalah Gen Z dan Milenial berusia 19-34 tahun.

Kondisi serupa masih terlihat pada bulan September 2023, di mana mayoritas peminjam yang membukukan pinjaman kurang lancar dan pinjaman macet adalah generasi muda.

Studi oleh Nurlaili berjudul Faktor-Faktor Penyebab Manajemen Keuangan Kurang Baik Pada Gen Z Di Pinggiran Kota Metro mengungkap bahwa ada beberapa faktor yang menjadi motif generasi muda berlari ke pinjol.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, Nurlaili menemukan sejatinya Gen Z memiliki literasi keuangan yang cukup baik. Namun hal ini tidak diimbangi dengan gaya hidup yang sesuai dan adanya pengendalian dari luar yang tinggi.

Gen Z memang kerap disandingkan dengan fenomena FOMO (Fear of Missing Out), yakni rasa takut kehilangan momen atau tren di media sosial. Fenomena ini mengakibatkan mereka dengan mudah terpengaruh oleh social pressure yang kemudian mendorong mereka untuk meniru gaya hidup mewah.

Sayangnya, keputusan tersebut tidak disertai dengan pendapatan yang memadai, di mana akhirnya memaksa mereka mencari jalan pintas pembiayaan, salah satunya melalui pinjol. Imbasnya, terjadi banyak kasus gagal bayar.

Pada akhirnya, memaksa mereka mengajukan pinjaman kembali kepada aplikasi baru dengan nominal yang lebih besar demi menutupi tagihan pada pinjaman yang pertama yang sudah jatuh tempo.

Maka tidak heran terkadang untuk mendapatkan dana yang lebih, ada nasabah meminjam tidak hanya pada satu aplikasi, namun bisa sampai dua atau tiga aplikasi lainnya

Fenomena gali lubang tutup lubang ini nantinya akan membawa malapetaka lainnya, yakni kesulitan mendapat pekerjaan dan kredit kepemilikan rumah.

Diwartakan Tirto.id sebelumnya, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogjakarta, Tadjudin Nur Effendi mengatakan, perusahaan-perusahaan di Indonesia saat ini banyak yang melakukan pengecekan riwayat kredit pelamar kerjanya di Sistem Informasi Debitur Bank Indonesia (BI Checking).

Hal tersebut dilakukan, karena perusahaan ingin melihat apakah pelamar kerja di perusahaan mereka terlibat masalah finansial dengan lembaga keuangan.

perusahaan ingin karyawan yang bertanggungjawab terhadap manajemen keuangan mereka, sehingga bisa meminimalisir efek negatif yang mungkin terjadi di kemudian hari.

Sementara itu, salah satu bank yang menolak pengajuan KPR calon nasabah yang punya utang bermasalah itu adalah Bank Tabungan Negara (BTN).

Sepanjang tahun 2023, BTN telah menolak pengajuan 30% KPR setelah memeriksa Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK calon nasabahnya merah. SLIK bisa mendapat rapor merah ketika seseorang diketahui memiliki tunggakan utang pada lembaga keuangan.

Pintu Masuk Joki Pinjol

Celah ini kemudian dimanfaatkan oleh joki pinjol. Joki pinjol merupakan pihak yang membantu pengajuan pinjaman uang di platform pinjol. Jasa ini umumnya ditawarkan lewat media maya, pesan teks atau aplikasi WhatsApp.

Target joki pinjol adalah individu yang kesulitan melakukan pengajuan, seperti orang dengan sebelumnya pernah masuk daftar hitam (blacklist) perusahaan fintech karena gagal bayar.

Kemudian, untuk menarik perhatian targetnya, oknum joki pinjol menyampaikan bahwa mereka mampu mencairkan dana dengan nilai fantastis. Agar lebih meyakinkan, joki pinjol juga kerap menunjukkan bukti tangkapan layar atas jumlah dana yang berhasil mereka cairkan.

Oknum joki pinjol biasanya menawarkan jasanya di dunia maya. Tidak jarang juga mencantumkan bukti tangkapan layar berisi dana yang berhasil dicairkan untuk meyakinkan calon korban.

Dalam praktiknya, joki pinjol juga menawarkan solusi bagi mereka yang terjerat pinjol dan gagal bayar. Joki menawarkan untuk mencairkan dana dari platform pinjol ilegal. Uang itu, kemudian bisa digunakan untuk menutup tagihan sebelumnya dan meminta klien tidak membayarnya. Alasannya karena ilegal.

“Nanti dibantu pengajuan pinjol yang ilegal. Kalau dapat limit pencairan nggak usah dibayar tagihannya,” ujar Joki yang mengatasnamakan sebuah CV perusahaan kepada Tirto.

 Tawaran Pinjaman Online

Ilustrasi Tawaran Pinjaman Online. tirto.id/Dwi Aditya putra

Terkait masalah keamanan, para joki menjamin seluruh data klien-nya. Mereka bahkan bersedia untuk menyediakan nomor telepon hingga kebutuhan data lainnya untuk mendaftar pinjol ilegal.

Namun, tentu saja ada yang harus dibayarkan ke joki tersebut. Komposisinya 60:40 persen dari setiap pencarian pinjol. Sebanyak 60 persen untuk klien dan 40 persen lagi untuk joki. Alasannya mereka juga membayar pungli untuk aparat.

Meski tampak menjadi penyelamat bagi masyarakat yang mengalami kredit macet, joki pinjol justru membawa masalah. Pasalnya kehadiran mereka memicu fenomena gali lubang tutup lubang, yang berujung pada penumpukan utang dan tingginya persentase gagal bayar.

Masalah Lain dan Peran OJK

Strategi fintech yang memberikan kemudahan pada aplikasi produk pinjol sebenarnya memiliki sisi negatif. Misalnya penyebaran data pribadi peminjam, karena proses verifikasi pinjol yang dilakukan secara online juga.

Selain itu pada saat verifikasi data, pihak dari pinjol akan meminta akses semua data yang ada di smartphone si peminjam. Hal ini berisiko tinggi terhadap terjadinya penyalahgunaan.

Di sisi lain, kemudahan yang ditawarkan ini kemudian menjebak masyarakat. Meskipun proses administrasi cepat dan sederhana, namun tingkat suku bunga yang dibebankan di atas batas dengan periode pinjaman lebih pendek. Para pinjol illegal biasa mematok bunga diatas 0,8 persen per hari.

Alhasil para nasabah berisiko harus membayar utang lebih besar dari kesepakatan di awal. Selain itu, nasabah juga harus membayar biaya denda keterlambatan dan denda lainnya yang notabene tidak masuk akal.

Lebih parahnya proses penagihan dilakukan dengan ancaman dan kekerasan. Tentu ini melenceng dari norma hukum dan kemanusiaan, serta kode etik sebagaimana yang ditetapkan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

Dalam permasalahan ini, Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah memberikan perhatian khusus terhadap industri fintech. Lewat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 19 tahun 2023, OJK menurunkan batas maksimum bunga pada layanan pinjol.

Dalam aturan dijelaskan batasan bunga pinjaman untuk pendanaan konsumtif yang dibatasi untuk tenor pendanaan jangka pendek diatur sebesar 0,3 persen per hari kalender dari nilai pendanaan yang tercantum dalam perjanjian pendanaan. Aturan ini pun sudah berlaku sejak 1 Januari 2024.

Sebelumnya, otoritas juga sudah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau POJK 10/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi. POJK ini memberikan peraturan yang lebih ketat dan memastikan industri pinjol beroperasi secara adil dan transparan.

Di luar aturan tersebut, pemerintah tampaknya perlu meningkatkan pengawasan di lapangan dan menindak tegas kehadiran pinjol ilegal, termasuk joki pinjol. Pasalnya, oknum-oknum tersebut kemungkinan besar mendaftarkan usahanya dalam bentuk lain untuk mengelabui OJK dan aparat.

Selain itu, edukasi ke masyarakat juga harus ditingkatkan. Keberadaan pinjaman online ini masih menjadi polemik karena rendahnya literasi keuangan pada masyarakat Indonesia.

Data terakhir 2022, indeks literasi keuangan masyarakat kita masih rendah yakni 49,68 persen. Sedangkan indeks inklusi keuangan berada di level 85,10 persen. Sementara OJK menargetkan indeks literasi keuangan meningkat sebesar 65 persen dan indeks inklusi keuangan sebesar 93 persen pada 2027.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Insider
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas