Menuju konten utama

Bahayakan Masa Depan Gen Z, Pinjol Dirindukan Sekaligus Dibenci

Mayoritas pengutang pinjol adalah Gen Z dan Milenial. Generasi ini juga rentan terjerat penipuan investasi akibat gaya hidup konsumtif dan FOMO.

Bahayakan Masa Depan Gen Z, Pinjol Dirindukan Sekaligus Dibenci
Ilustrasi HL Pinjaman Online. tirto.id/Lugas

tirto.id - Berita Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang membunuh juniornya gara-gara terjerat pinjaman online (pinjol) menambah panjang daftar kasus kejahatan yang pemicunya pinjol. Tanpa pengawasan ketat, maraknya perusahaan keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech) yang berbisnis pinjol ini akan membahayakan masa depan Gen Z dan Milenial.

Gen Z dan Milenial adalah kelompok usia yang mendominasi Indonesia saat ini. Sensus Penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, jumlah Gen Z yang lahir tahun 1997-2012 (usia 8-23 tahun) dan Milenial yang lahir tahun 1981-1996 (usia 24-39 tahun) sekitar 155 juta jiwa atau 55 persen dari seluruh populasi penduduk Indonesia.

Harapannya, bonus demografi mampu mengangkat derajat Indonesia menjadi negara maju. Namun, apa yang terjadi jika Gen Z dan Milenial banyak yang layu sebelum berkembang, akibat terbebani permasalahan keuangan yang kontraproduktif.

Potensi pinjol menganggu masa depan Gen Z dan Milenial ini harus diwaspadai. Pasalnya, Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2022 mengungkapkan, generasi muda lebih berani berutang dibanding generasi sebelumnya.

Mayoritas pengutang pinjol adalah Gen Z dan Milenial berusia 19-34 tahun. Per Juni 2023, jumlah utang pinjol yang tercatat di OJK mencapai Rp 52,7 triliun. Faktanya, bisa dipastikan jauh lebih besar, sebab utang yang diberikan pinjol ilegal tidak terdata.

Banyaknya rentenir online, seperti pinjol ilegal ini memang mencoreng citra perusahaan fintech resmi yang memiliki produk pinjol. Keberadaannya ikut dipandang negatif oleh masyarakat, karena pinjol ilegal banyak mengabaikan etika bisnis, seperti menjaga data kerahasiaan nasabah hingga menjebak orang agar berutang.

Juru tagih pinjol juga kerap melakukan tindakan “kekerasan” saat menagih. Akibatnya, jika terjadi permasalahan gagal bayar, muncul kejahatan-kejahatan lainnya, seperti pelecehan, bunuh diri, perampokan hingga pembunuhan.

Menurut Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel, sudah banyak korban berjatuhan akibat kejahatan pinjol, robot trading dan investasi forex. Mereka bukan hanya mengeruk uang dari masyarakat, tetapi juga merusak dan melemahkan Indonesia.

“Kita harus waspada dan awas terhadap situasi ini. Ini melemahkan sendi-sendi kekuatan ekonomi nasional dan menghancurkan ekonomi rakyat,” kata dia, yang dikutip dari laman resmi DPR RI, Sabtu (18/3/2023).

Menurut dia, banyak faktor yang menyebabkan maraknya pinjol ilegal. Pertama, ada masalah ekonomi. Kedua, kemiskinan yang tinggi di Indonesia, dan Ketiga, ada oknum yang ingin memperparah kondisi ekonomi dan sosial Indonesia.

Selain faktor ekonomi, Anggota Komisi XI DPR RI Putri Anetta Komarudin berpendapat, maraknya permasalahan pinjol ini disebabkan anak muda minim literasi keuangan. Gen Z dan Milenial sering tidak paham atau tidak mau belajar terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membeli produk keuangan atau investasi.

Mereka juga kurang memikirkan faktor risikonya, karena semua keputusannya hanya berdasarkan rasa takut kehilangan momen atau tren di media sosial, yang dikenal dengan istilah FOMO (Fear of Missing Out).

”FOMO menjadi isu saat ini. Beli tiket konser karena Fomo, beli koin kripto karena Fomo, begitu pula yang akhirnya jadi korban investasi bodong. Semua karena FOMO,” katanya yang dikutip dari podcast tirto.id, Rabu (2/8/2023).

Media Sosial Picu Orang Berutang

Motif berutang beragam. Ada yang benar-benar “kepepet” kesulitan ekonomi, butuh tambahan modal usaha atau ada juga yang berutang, karena orangnya boros.

Gen Z dan Milenial disinyalir tipe berutang untuk belanja konsumtif, karena terpengaruh oleh gaya hidup ala sultan yang terpampang di media sosial. Pola ini dapat kita lihat berdasarkan rilis laporan OJK di mana jumlah utang pinjol kategori perseorangan selain UMKM nilainya mencapai Rp30,44 triliun.

Pengelolaan keuangan yang konsumtif membuat generasi muda terlilit utang. Kita mengenal peribahasa,”Besar pasak daripada tiang,” atau lebih besar pengeluaran dari pendapatan. Artinya, kita dilarang untuk hidup boros. Kegiatan belanja idealnya berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan.

Tentu prakteknya butuh komitmen kuat, karena banyak aplikasi pinjaman digital, aplikasi belanja online atau e-commerce pemesanan tiket yang menawarkan fasilitas berutang (pay later). Fasilitas-fasilitas tersebut, tanpa disadari membuat generasi muda mudah berutang konsumtif.

Kemudahan berutang itu, menurut Praktisi Hukum Siprianus Edi Hardum, disebabkan perusahaan pinjol hanya fokus mengejar target nasabah dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit.

“Tidak seperti generasi sebelumnya, anak sekarang gampang banget berutang. Lewat aplikasi pinjol di HP saja, mereka sudah dapat pinjaman dengan cepat,” kata doktor hukum lulusan Universitas Trisakti, Jakarta ini menanggapi kabar maraknya korban pinjol, kepada tirto.id, Rabu (9/8/2023).

Edi melanjutkan, perusahaan pinjol seharusnya lebih berhati-hati dalam memberi pinjaman untuk mencegah gagal bayar yang memicu berbagai masalah ekonomi dan sosial. Meski tidak semua bisa diterapkan di pinjol, Prinsip 5C (Character, Capacity, Capital, Condition, dan Collateral) yang diterapkan bank dalam pemberian kredit dinilainya sangat baik.

Kendati prinsip kewajiban punya agunan tidak ada di persyaratan pinjol, lanjut Edi, penilaian kemampuan keuangan nasabah seharusnya tetap dilakukan dengan ketat. Jangan sampai, pengangguran yang tidak punya sumber penghasilan yang jelas juga mendapat pinjaman.

Jika sembarangan menggaet nasabah, maka kekisruhan akibat gagal bayar tinggal menunggu waktu saja. Secara hukum, kata Edi, jika berutang ke pinjol ilegal, nasabah tidak perlu membayar, karena pinjol yang tidak terdaftar di OJK tidak sah dan melanggar hukum.

Pinjol sebenarnya sejenis dengan produk KTA (kredit tanpa agunan) dari perbankan. Keduanya, sama-sama mengenakan bunga tinggi dan tanpa agunan. Seiring perkembangan digital, pinjol lebih populer dari KTA, karena pengajuan utangnya lebih mudah, cukup lewat online dan dana cair bisa kurang dari 24 jam.

Infografik Prahara Pinjol

Infografik Prahara Pinjol. tirto.id/Fuad

Tak heran jika nasabah pinjol makin banyak. Sampai posisi Juni 2023, terdapat 115,8 juta akun penerima pinjol, nilainya naik 36% dibandingkan Juni 2022.

Terkait bunga pinjol, menurut AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia), sesuai kesepakatan, bunga pinjol yang diberlakukan oleh pinjol resmi tidak boleh lebih dari 0,8 persen per harinya atau maksimal 24 persen per bulan.

Jika ada yang mengklaim menawarkan bunga rendah 2 persen, AFPI menyarankan untuk menelusurinya lagi, apakah 2 persen itu per bulan atau perhari. Jika bunganya 2 persen per hari, dipastikan itu pinjol ilegal.

Nasabah harus meminta perhitungan bunga dan cicilan dengan sejelas-jelasnya untuk menghindari potensi gagal bayar.

Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Ogi Prastomiyono dalam siaran persnya pada Selasa (4/7/2023) mengungkapkan, tingkat kredit macet pada pinjol meningkat sebesar Rp1,72 triliun atau naik menjadi 3,36 persen pada Mei 2023.

Angka gagal bayar tersebut dihitung berdasarkan tingkat wanprestasi (TWP) 90 hari atau ukuran tidak mampu membayar cicilan hingga melewati batas waktu 90 hari, terhitung sejak tanggal jatuh tempo.

Meski TWP masih di batas normal, yaitu dibawah 5 persen, kata Ogi, hal tersebut harus diwaspadai, karena mengindikasikan banyak hal, seperti kondisi ekonomi sebagian masyarakat lemah, minimnya kemampuan mengelola keuangan, atau minimnya kesadaran untuk mengembalikan pinjaman.

OJK Akan Terbitkan Izin Pinjol Baru

OJK akan mencabut penghentian sementara atau moratorium izin perusahaan Fintech Peer to Peer Lending (P2P) atau pinjol pada kuartal ketiga tahun ini. Padahal saat ini, permasalahan terkait pinjol masih meresahkan publik. Apa yang terjadi jika pemerintah jadi melakukan moratorium penerbitan izin pinjol legal?

Menurut Anggota Komis XI DPR RI Sihar Sitorus, tak hanya pinjol legal yang tumbuh, tetapi juga pinjol ilegal akan semakin banyak.

“Begitu moratorium dibuka, tidak menutup kemungkinan pinjol ilegal juga akan marak. Akan terjadi kompetisi antara pinjol legal yang sabar menunggu perizinan dengan pinjol ilegal yang mengambil kesempatan di tikungan. Ini akan menjadi tantangan masyarakat,” paparnya, dalam laman resmi DPR RI, Selasa (20/6/2023).

Kemungkinan lain adalah akan banyak penawaran menggiurkan dari berbagai pinjol yang menyasar, khususnya masyarakat yang belum baik secara literasi keuangan. Sebab itu, masyarakat diharapkan memiliki pemahaman literasi keuangan yang lebih baik agar tidak terjebak oleh iming-iming pinjol.

Sihar Sitorus meminta pelaku industri melakukan edukasi dan meningkatkan literasi keuangan lebih intensif. Edukasi jangan hanya diberikan kepada masyarakat yang akan menjadi debitur, tetapi juga perlu diberikan kepada masyarakat yang ingin menempatkan uangnya di perusahaan pinjol.

Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi Keuangan (SNLK) tahun 2022 di 34 provinsi, yang mencakup 76 kota/kabupaten dengan responden orang berusia 15-79 tahun terungkap bahwa literasi keuangan masyarakat Indonesia meningkat.

Dikutip dari siaran pers OJK, literasi keuangan Warga +62 meningkat dari 38,03 persen di tahun 2019 menjadi 49,68 persen di tahun 2022. Survei SNLK ini dilakukan setiap tiga tahun sekali.

Melihat berbagai persoalan sosial tersebut, kehadiran pinjol bisa diibaratkan lagu,”benci tapi rindu.” Dibenci, karena konsekuensi jika gagal bayar sangat berat, namun dirindukan saat sedang bokek alias tidak punya uang.

Utang memang bagaikan pedang bermata dua. Jika direncanakan dan diatur dengan baik, utang akan membantu di saat kesusahan sekaligus bisa meningkatkan kesejahteraan.

Maka dari itu, bijaklah dalam mengelola keuangan agar tidak terbelit utang pinjol. Di sisi lain, OJK penting untuk mengatur dan mengawasi bisnis pinjol agar berkompetisi secara sehat dan tidak merugikan masyarakat.

Baca juga artikel terkait PINJOL ILEGAL atau tulisan lainnya dari Suli Murwani

tirto.id - Ekonomi
Kontributor: Suli Murwani
Penulis: Suli Murwani
Editor: Dwi Ayuningtyas