tirto.id - Sejumlah tokoh dan organisasi pegiat pro-demokrasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil memandang kondisi demokrasi era Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengalami kemunduran serius. Hal ini mereka sampaikan dalam diskusi catatan akhir tahun tentang kondisi demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia (HAM), yang digelar di Jakarta Selatan, Kamis (28/12/2023).
Sejumlah tanda-tanda mengiringi capaian demokrasi yang semakin longsor akhir-akhir ini. Agenda konflik kepentingan sejumlah elite demi kepentingan politik elektoral di tahun politik menjadi salah satunya. Di sisi lain, atmosfer kembalinya negara kekuasaan dan pengabaian terhadap HAM dalam sejumlah kasus, mengiringi keroposnya sendi demokrasi tahun ini.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menilai Pemilu 2024 sebagai pemilu yang terburuk sepanjang sejarah pasca-reformasi 1998. Terutama, kata dia, terjadi banyak kejadian bermasalah dalam aspek penyelenggaraannya.
“Penyelenggara pemilu bermasalah, mulai dari pelanggaran etik berat hingga kejahatan pidana. Di samping itu, penyelenggaraannya mengalami persoalan berat,” kata Ray.
Kontroversi Pemilu 2024 memang sudah terjadi sejak proses pendaftaran paslon calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Munculnya putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai salah satu cawapres diiringi dengan kasus pelanggaran etik berat di Mahkamah Konstitusi (MK).
Bekas Ketua MK sekaligus paman Gibran, Anwar Usman, diduga ikut campur melancarkan pencalonan kemenakannya dalam kontestasi Pilpres 2024. Hal ini juga membuat banyak pihak mempertanyakan netralitas Presiden Jokowi dalam penyelenggaraan pemilu kali ini.
“Dari empat tahapan besar pemilu, yaitu pendaftaran, kampanye, pencoblosan, dan penghitungan suara, dua di antaranya sudah terbukti mengalami persoalan serius yang melibatkan penyelenggara pemilu dan aparatur pemerintah,” ujar Ray.
Ray menambahkan, ada tiga dosa dalam pemilu yang tidak bisa dimaafkan di alam demokrasi. Hal tersebut meliputi intimidasi dan kekerasan, mobilisasi politik uang, dan manipulasi suara.
“Dua dari tiga dosa tersebut sudah terjadi saat ini, dari masuknya dana ilegal untuk kepentingan pemilu hingga intimidasi dan kekerasan,” jelas Ray.
Aliran dana yang berasal dari sejumlah aktivitas ilegal, seperti pertambangan ilegal, memang disinyalir menyusup ke dana kampanye dalam pemilu kali ini. Temuan ini diungkap oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) beberapa waktu lalu. Sayangnya, PPATK tidak menyebutkan nama partai politik atau kontestan pemilu yang terindikasi memakai dana kampanye dari aktivitas lancung ini.
Di sisi lain, intimidasi dan kekerasan diduga ikut mewarnai proses Pemilu 2024. Sejumlah upaya intimidasi, seperti yang dialami oleh mantan Ketua BEM UI, Melki Sedek Huang, dan Ketua BEM UGM, Gielbran Muhammad Noor, terjadi setelah keduanya lantang mengkritik pemerintah.
“Berbagai persoalan serius dalam pemilu itu terjadi karena kekuasaan politik rezim memobilisasi dukungan secara telanjang untuk membela kepentingan ekonomi-politik dinasti,” tegas Ray.
Deretan sejumlah kontroversi yang mewarnai proses Pemilu 2024 dikhawatirkan menyeret demokrasi ke pinggir jurang. Kekuasaan otoritarian kian kuat terasa saat kanal-kanal kritis diberangus melalui sejumlah upaya pembungkaman. Belum lagi cawe-cawe elektoral yang tentu saja mengkhianati semangat demokrasi hanya demi kepentingan politik pribadi.
Demokrasi Melemah Saat Pemilu
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) versi Badan Pusat Statistik (BPS) memang mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir. Pada 2022, skor IDI tercatat mencapai angka 80,41 persen yang artinya naik 2,93 persen dari 2021 (78,12). IDI memiliki sejumlah indikator seperti kebebasan berekspresi, netralitas penyelenggara pemilu, pers yang bebas dalam bertugas, hingga kebebasan berkeyakinan.
Meski secara umum dua tahun terakhir IDI versi BPS mengalami peningkatan, ada tren penurunan skor variabel indeks demokrasi pada tahun pemilu dilangsungkan. Hal tersebut sebagaimana hasil laporan Litbang Kompas yang menengok indeks demokrasi pada 2009, 2014, dan 2019. Data IDI besutan BPS menunjukkan bahwa satu tahun setelah pemilu, sejumlah variabel dalam indeks demokrasi masih akan terdampak.
Hal ini cukup menjadi sinyal kewaspadaan bahwa praktik-praktik yang mengancam demokrasi rawan terjadi di tahun politik. Agenda elektoral dan manuver politik, tidak jarang mengorbankan ongkos besar dengan mengangkangi demokrasi.
Sebagai perbandingan, indeks demokrasi versi Economist Intelligence Unit (EIU) menggolongkan demokrasi kita masih tergolong cacat (flawed democracy). Terjadi stagnasi dalam capaian dua tahun terakhir yang mentok di angka 6,71 pada 2021 dan 2022. Pada 2020 atau setahun setelah Pemilu 2019, angka tersebut bahkan merosot mencapai skor 6,3 dari setahun sebelumnya (2019) yang mencapai 6,48.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, mengatakan bahwa saat ini demokrasi kita mundur dan mengarah pada otoritarianisme. Ini terjadi karena tidak berfungsinya kontrol terhadap kekuasaan.
“Pengawasan atas kekuasaan antar kelembagaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang terjadi justru sebaliknya, cabang-cabang kekuasaan yang ada bersekongkol melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan,” kata Halili.
Di sisi lain, fungsi kontrol di level rakyat juga dibungkam. Kontrol langsung yang dilakukan oleh masyarakat sipil kerap kali dibenturkan dengan langkah kriminalisasi. Dengan demikian, kata dia, demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Menurut Halili, pertaruhan puncak bagi demokratisasi di Indonesia terletak pada Pemilu 2024. Dia khawatir kekuasaan saat ini diperpanjang dalam bentuk lain karena hadirnya anak Presiden Jokowi sebagai salah satu paslon.
“Namun demikian, saya percaya, masyarakat tidak akan berdiam diri mendapatkan kedaulatan politiknya dirampas dan demokrasi dirusak sedemikian rupa,” tegas Halili.
Kemunduran yang Faktual
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menyatakan situasi penghormatan HAM dan demokrasi dalam 9 tahun terakhir mengalami penurunan yang amat sangat drastis dan berada dalam situasi krisis. Penutupan ruang sipil yang dilandasi dengan semakin sempitnya ruang berpendapat dan berpikir serta berekspresi kerap menjadi instrumen yang digunakan penguasa.
“Ruang-ruang tersebut ditutup dengan makin maraknya fenomena pembungkaman, represiitas, serangan digital dan kriminalisasi terhadap para pembela HAM, pembela lingkungan, jurnalis, pegiat anti korupsi dan akademisi,” ujar Dimas dalam kesempatan yang sama.
Kasus kriminalisasi yang dialami dua pegiat hak asasi manusia, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar menjadi contoh yang ramai diperbincangkan. Keduanya berurusan dengan proses hukum sejak berperkara dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Luhut melaporkan Fatia dan Haris dengan Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam laporan KontraS berjudul “4 Tahun Pemerintahan Jokowi: Melenceng Jauh dari Koridor Konstitusi dan Demokrasi” yang terbit November 2023, sejumlah kemunduran demokrasi juga terjadi di sektor ekonomi-pembangunan. Ambisi tinggi pemerintah untuk dapat melangsungkan pembangunan di beberapa daerah di Indonesia nyatanya tidak berimbang dengan semangat penghormatan terhadap HAM dan penjaminan ruang hidup masyarakat.
Arahan presiden yang berupaya memfokuskan penyelesaian Proyek Strategis Nasional (PSN) di tahun ini dan 2024, berjalan lurus dengan timbulnya berbagai bentuk pelanggaran HAM kepada masyarakat. Dalam laporan itu, KontraS menilai fenomena kemunduran demokrasi yang terus terjadi selama empat tahun belakangan dapat dilihat dari aspek akuntabilitas.
Hal ini didasarkan dari begitu banyaknya upaya untuk menutup jalannya pemerintahan dari pengawasan dan intervensi publik. Berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan strategis pemerintahan Presiden Jokowi dibuat dengan proses partisipasi yang sangat minim.
Sementara itu, Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, menegaskan bahwa kemunduran demokrasi merupakan sesuatu yang faktual, dan tidak mengada-ngada. Dia menilai, demorkasi substantif yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan dan HAM dikorupsi oleh perilaku elite politik yang pragmatis.
Dalam konteks HAM, kata dia, pemerintahan Presiden Jokowi cenderung mengedepankan kebijakan yang selektif dalam penegakan HAM. Agenda HAM yang memiliki resiko politik bagi pemerintah atau presiden, seperti penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, cenderung diabaikan.
“Jokowi cenderung memilih jalan non-yudisial meskipun hal itu tidak sejalan dengan prinsip pemerintahan keadilan dan kebebasan korban,” ujar Gufron.
Di sisi lain, Gufron menyoroti pentingnya agenda Pemilu 2024 sebagai media politik bagi gerakan masyarakat sipil untuk merebut kembali ruang demokrasi yang dibajak. “Jangan sampai kemunduran demokrasi dan hak asasi manusia terus berlanjut setelah Pemilu 2024.”
Presiden Jokowi sendiri dalam beberapa kesempatan menilai demokrasi di Indonesia berjalan baik-baik saja. Dia membantah bahwa pemilu di Indonesia mudah diintervensi oleh beragam kepentingan.
“Ini pemilu yang sangat besar, yang sangat demokratis. Banyak yang menyampaikan bahwa pemilu kita ini gampang diintervensi. Diintervensi dari mana?” kata Jokowi saat membuka Rakornas Penyelenggara Pemilu di Jakarta, Rabu (8/11/2023).
Dalam kesempatan lain, Presiden Jokowi juga sempat mengomentari indeks demokrasi yang disebut mengalami penurunan. Menurut dia, hal tersebut bisa dijadikan sebagai evaluasi ke depan. Presiden Jokowi mengklaim, pemerintah tidak pernah melakukan pembatasan publik dalam berbicara dan berpendapat.
“Ada yang maki-maki presiden, ada yang caci maki presiden, ada yang merendahkan presiden, ada yang menjelekkan saya juga, (saya) biasa-biasa saja,” kata Presiden Jokowi, Jumat (15/12/2023) sebagaimana dikutip Antara.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz