tirto.id - BSI Institute mencatat, dalam beberapa tahun terakhir, realisasi investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) yang masuk ke Indonesia mengalami lonjakan cukup signifikan. Pada 2020, nilai total investasi yang masuk ke Indonesia tercatat sebesar Rp825,80 triliun, kemudian melonjak menjadi Rp1.710,56 triliun di 2024.
Bahkan, pada semester I 2025, realisasi investasi telah mencapai Rp940,78 triliun.
“Pertumbuhan ini dapat dirayakan sebagai sinyal positif, bahwa Indonesia tetap menjadi magnet investasi yang menjanjikan di tengah dinamika ekonomi global,” ujar Research Assistant BSI Institute, Sayyaf Rabbaniy dalam laporan kuartalan BSI Institute, dikutip Kamis (13/11/2025).
Jika ditilik lebih jauh, sebagian besar investasi asing berasal dari negara-negara seperti Jepang dan Malaysia. Namun, di balik itu, porsi signifikan juga berasal dari yuridiksi yang secara internasional digolongkan sebagai offshore financial centres (OFCs) alias negara atau yurisdiksi yang menyediakan layanan keuangan kepada non-penduduk dalam skala yang tidak sebanding dengan ukuran ekonomi domestiknya.
Negara-negara ini juga dikenal juga sebagai Negara Tax Haven –surga pajak, karena menawarkan tarif pajak yang rendah, regulasi yang fleksibel, hingga tingkat privasi keuangan yang tinggi.
“Seperti Bermuda dan British Virgin Islands (BVI). Wilayah-wilayah ini kerap dikenal sebagai “tax havens”, di mana umumnya pemerintahan memberikan perlakuan khusus terhadap perusahaan-perusahaan, baik dalam hal keuangan, perpajakan, maupun kebijakan pajak,” tambah Sayyaf.
Menurut World Population Review (2025), yuridiksi yang digolongkan sebagai negara tax haven di antaranya, Singapura, Hongkong, British Virgin Islands, dan bahkan Labuan International Business and Financial Centre (IBFC) di Malaysia.
Data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM memperlihatkan, pada 2023, investasi dari negara seperti Bermuda sempat mengalami penurunan drastis hingga -149,67 persen. Namun, hanya dalam waktu satu tahun melonjak sebesar 74,59 persen. Tren serupa tercatat pada Belanda dan Kepulauan Cayman, yang berhasil keluar dari fase kontraksi dan mencatat rebound positif di tahun 2024.
“Sementara itu, Singapura dan Hongkong mempertahankan pertumbuhan yang relatif stabil, meskipun tetap menyimpan fluktuasi tahunan,” jelas dia.
Sayyaf mengungkapkan, negara-negara tax haven dapat masuk dan menanamkan modalnya di Indonesia melalui Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing (PT PMA). Namun, entitas asing yang beroperasi di Indonesia ini rentan dimanfaatkan untuk aktivitas transfer pricing melalui transaksi afiliasi, terutama jika pemegang saham pengendali berada di yurisdiksi tax haven.
Hal ini dapat dilakukan melalui rekayasa harga transfer. Pada kondisi ini, entitas lokal dapat memindahkan laba ke anak perusahaan di luar negeri dengan tarif pajak rendah, sekaligus mengurangi beban pajak di Indonesia.
“Ditambah lagi, tingkat pengungkapan beneficial ownership yang masih belum merata menjadikan identifikasi aktor ekonomi riil di balik aliran investasi semakin sulit,” tuturnya.
Situasi ini pun memperlihatkan bahwa sebagian PMA yang masuk ke Indonesia bukan hanya sekadar ekspresi kepercayaan terhadap iklim usaha domestik, melainkan bisa juga merupakan strategi optimalisasi pajak dari korporasi global yang memanfaatkan rantai kepemilikan lintas yurisdiksi.
“Ketika perusahaan mengalihkan laba secara sistematis melalui paper entities atau shell companies (perusahaan cangkang), Indonesia berisiko mengalami revenue loss yang substansial, meskipun data agregat investasi tampak menjanjikan,” tukas Sayyaf.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































