tirto.id - Inilah kisah para abdi negara yang bertugas di Direktorat Jenderal Pajak. Kisah bagaimana para PNS hidup di sebuah kota kecil di pelosok Kalimantan Selatan. Bagi sebagian orang, menjadi PNS di bawah Kementerian Keuangan adalah kemakmuran. Gaji mereka tertinggi dengan imbalan jasa yang jumlahnya hingga ratusan juta.
Namun, bagi yang ditempatkan di pelosok daerah seperti di Kalimantan Selatan, ceritanya bisa dramatis: mereka jauh dari keluarga dan hidup di kota yang sepi.
Saya teringat ketika mewawancarai Dikun, kepala seksi pengawasan dan konsultasi I, Kantor Pajak Pratama Batulicin, Kalimantan Selatan pada pertengahan Juni 2013. Matanya berbinar-binar ketika ia menceritakan pengalaman hidupnya jauh dari keluarga.
Pulang sebulan sekali saban gajian, dan pergi lagi melanjutkan kewajiban pekerjaan. Awalnya, Dikun sempat memboyong keluarganya ke Batulicin, 265 km di sebelah timur Kota Banjarbaru, ibu kota Kalimantan Selatan. Namun, karena kota itu sepi dengan infrastruktur yang terbatas, belum genap sebulan dan tak kerasan, keluarganya memutuskan kembali ke Pekalongan, Jawa Tengah.
Saban hari, kota yang ditempuh dengan perjalanan darat selama tujuh jam dari Banjarmasin ini sering mati lampu. Kota ini juga minim fasilitas pendidikan. Ketika saya di sana selama lima hari, saya mengikuti para abdi negara itu menagih pajak dengan menempuh perjalanan pergi-pulang selama enam jam menggunakan speedboat.
Mula-mula mereka menyeberang ke Kota Baru memakai speedboat selama setengah jam, lanjut dengan mobil, lantas menyeberang lagi dengan speadboad selama 2,5 jam untuk sampai di Pulau Sebuku. Bila tak kemalaman, mereka bisa pulang. Kalau tidak, terpaksa pegawai pajak ini menginap di sebuah mes perusahaan wajib pajak.
Begitulah rutinitas para pegawai pajak menjalani pekerjaannya. Hiburan di Batulicin adalah berkunjung wisata ke pantai Pagetan, minum kelapa muda, dan menikmati semilir angin seraya menunggu matahari tenggelam. Ketika malam tiba, jalan utama di kota itu sepi. Ketika saya ke sana, restoran cepat saji McDonald's di jalan utama baru saja beroperasi.
Biaya hidup di kota itu terbilang sangat mahal: empat kali lipat dari Jakarta. Sarapan pagi, menu nasi uduk dan lauk telur, seharga Rp30 ribu. Kalau mau mewah, nasi padang lauk telur ditambah es teh manis seharga Rp 50 ribu. Di sana, warung-warung jarang menyediakan sayur, monoton dengan menu boga bahari. Seminggu sekali, sayuran di kota itu dipasok dari Jawa Timur. Kalau pun ada sayur di Batulicin, itu berasal dari kampung-kampung para transmigran.
Karena biaya hidup mahal, ketika saya menyambangi kantor pajak Batulicin, hampir semua pegawai perantauan tidur di kantor. Ada 20 pegawai, termasuk Kepala Kantor Pajak Batulicin, Achmad Noor Wakhid. Alasannya sama: biaya hidup mahal jika mereka menyewa tempat tinggal.
Ketimbang gaji dihabiskan untuk menyewa, kata mereka, sebaiknya ditabung untuk ongkos menengok keluarga di kampung halaman. Tak jarang, para pegawai pajak—yang mayoritas muslim—berpuasa demi menekan biaya hidup.
Ketika saya datang, mereka tengah menjalani puasa. Saban sore, mereka berkumpul menyiapkan menu berbuka puasa dan paling mewah santapannya adalah sate ayam. Ini juga yang membuat Febri Angga Mison, sama seperti Dikun, harus menghemat biaya hidup sebagai pengganti ongkos pergi-pulang menengok istri dan anaknya di Banyuwangi, Jawa Timur.
Kesepian sebagai Penjaga Menara Suar
Teman saya, Dea Anugerah dan Arlian Buana, pernah berkunjung ke Pulau Biawak di Indramayu, Jawa Barat, menjelang malam pergantian tahun 2017. Keduanya merasakan bagaimana menikmati malam tahun baru di tengah pulau nyaris tanpa penghuni. Mereka hanya ditemani biawak, yang menjadi penguasa di pulau itu. Kalau pun ada manusia, ia adalah Taryono, seorang pegawai honorer Kementerian Perhubungan yang bekerja menjaga suar di pulau berjarak empat jam dengan kapal dari Pantai Karangsong, Indramayu.
Taryono harus menjaga sebuah alat navigasi tertua peninggalan Belanda, yang fungsinya masih dimanfaatkan di zaman GPS. Meski era sudah modern, ia tak tergantikan untuk mendukung keselamatan dan keamanan pelayaran.
Kalau tak ada Dea dan Arlian, juga para pelancong ke Pulau Biawak, Taryono hanya ditemani ratusan kadal besar di pulau itu. Apalagi kalau musim air laut sedang pasang, Taryono bisa sebulan seorang diri di Pulau Biawak dan baru ketemu manusia ketika ombak laut mulai tenang.
Begitulah perjalanan Taryono menjadi seorang pegawai negeri honorer. Selama dua tahun, ia diuji untuk mengabdi kepada negara dengan menjaga menara suar. Entah kapan Taryono bakal diangkat sebagai PNS tetap, tetapi, buat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan gaji Rp3 juta, ia pun kerja serabutan.
Sangat mungkin Taryono pun tak bisa menikmati tunjangan kinerja Kementerian Perhubungan. Alasan paling logis karena statusnya. Padahal, sejak 2015, presiden telah menaikkan tunjangan para pegawai Kementerian Perhubungan melalui Peraturan 133/2015. Tunjangan ini hanya mungkin berlaku bagi pegawai tetap aparatur sipil negara. Karena status honorernya, buat menambah pendapatan dan mungkin mengisi kesepian, Taryono membudidayakan ikan cupang.
“Ikan cupang itu hewan teritorial. Mereka menganggap sesamanya, sekalipun betina, sebagai ancaman,” ujar Taryono.
Baca juga: Kesepian dan Budaya Ikan Cupang
Itu mungkin sudah risiko bagi Taryono: memilih mengabdi dengan menjaga menara suar sesekali sambil membudidayakan ikan cupang.
Taryono tak sendiri. Ia adalah satu dari penjaga menara suar di pelbagai pulau di Indonesia; sebut saja menara suar di Pulau Enggano, Bengkulu Utara. Saban musim mudik, para penjaga suar ini harus siap merindukan kampung halaman. Bagi mereka, menjadi pegawai negeri sudah tentu tahu risikonya: berteman angin dan ombak serta jauh dari keluarga dan kerabat.
Saat hari raya Lebaran tiba, mereka tetap harus bekerja, memastikan kapal-kapal bisa berlayar dengan selamat. Sebagai penggantinya, para PNS Kementerian Perhubungan ini mendapatkan tunjangan.
“Untuk itu, sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan bagi profesi mereka, Kementerian Perhubungan telah menaikkan tunjangan yang cukup tinggi bagi penjaga menara suar sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan mereka” ujar A. Tonny Budiono, Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan seperti dikutip dari dephub.go.id.
Berbondong-Bondong Memohon Mutasi
Tapi, betapapun mereka berjanji bersedia ditempatkan di pelosok Indonesia, sebagian pekerja negara ini tak betah dan memilih mutasi ke berbagai instansi. Kabar ini sering jadi sorotan pemberitaan, salah satunya di Pemerintah Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
Juni lalu, PNS berprofesi guru meminta pindah tugas dari kabupaten itu. Meski jumlahnya tak disebutkan, tetapi menurut Gerardus, Kepala Badan Kepegawaian Daerah dan Pembangunan Sumber Daya Manusia di kabupaten tersebut, banyak yang memintas mutasi sehingga birokrasi tak berjalan dengan baik.
Permintaan mutasi ini membuat Bupati Bengkayang melakukan moratorium pemberian rekomendasi pindah keluar daerah.
“Yang ingin mengajukan pindah sebaiknya dicek terlebih dahulu, selidiki, kaji, investigasi, apa permasalahannya. Jangan asal berikan rekomendasi,” ujar Gerardus seperti dikutip Antara.
Tidak hanya di Bengkayang. Pada 2015, Pemerintah Kabupaten Anabas, Kepulauan Riau, menerima 111 PNS yang meminta pindah. Alasannya, ingin mendapatkan tempat lebih baik di daerah lain serta ikut suami.
Permintaan mutasi ini kerap terjadi di pemerintah daerah maupun provinsi. Alasannya macam-macam, tetapi dampaknya bikin distribusi jumlah PNS tak merata. Ada ketimpangan sebaran PNS antar wilayah di beberapa daerah, dan paling banyak permintaan pindah tugas kerja ini dilakukan oleh PNS yang berprofesi sebagai guru.
Tingginya permintaan mutasi ini membuat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi turun tangan.
Pada Januari 2017, pemerintah pun fokus mengkaji penyebaran aparatur sipil negara termasuk mengatur perjanjian dalam penerimaan PNS. Salah satunya dengan mengajukan syarat: calon PNS bersedia ditempatkan di pelosok.
“Dari tahun ke tahun permintaan mutasi ini terjadi berulang,” ujar Menpan RB, Asman Abnur, usai rapat terbatas di Kantor Presiden, 18 Januari 2017.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam