tirto.id - Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat dikatakan idaman banyak orang di Indonesia. Jumlah masyarakat Indonesia yang bekerja menjadi pelayan publik ini cukup besar, terhitung ada 4,37 juta orang yang bekerja menjadi PNS per 31 Desember 2016.
Sayangnya, meski jumlahnya cukup besar, kinerja PNS terindikasi belum optimal. Ini tercermin dari kinerja instansi pemerintahan serta standar pelayanan yang mereka berikan, khususnya bagi instansi tingkat pusat, yaitu kementerian dan lembaga.
Baca juga: Ada 437 Juta Orang Bekerja Sebagai PNS, Efektifkah?
Untuk melihat kepatuhan instansi pemerintahan dalam memberikan pelayanan publik, Ombudsman Republik Indonesia melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengingatkan kewajiban penyelenggara negara agar memberikan layanan terbaik kepada masyarakat. Sehingga peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dipercepat melalui kepatuhan terhadap standar pelayanan.
Dalam penilaiannya, Ombudsman hanya berfokus pada atribut-atribut standar pelayanan yang sudah terpampang atau disiapkan di ruang pelayanan oleh masing-masing institusi. Dengan kata lain, Ombudsman hanya menilai apakah standar yang diterapkan oleh masing-masing lembaga/institusi sudah diinformasikan atau belum. Tentunya, standar masing-masing institusi/lembaga sangat mungkin berbeda satu sama lain. Misalnya, standar dan/atau syarat-syarat mengurus paspor jelas berbeda dengan mengurus sertifikat tanah.
Berdasarkan laporan hasil penelitian Ombudsman tersebut, hasil penilaian diklasifikasikan dengan menggunakan traffic light system yang terdiri dari zona merah, zona kuning, dan zona hijau. Ini lazim digunakan karena penelitian ini menghitung hasil penilaian pada sampel, bukan keseluruhan populasi. Selain itu, penelitian ini juga mengambil sampel produk layanan yang jumlahnya berbeda-beda.
Baca juga: Mengapa Survei Ombudsman Tak Bisa Dibaca Sebagai Ranking
Pada 2015, terdapat 22 Kementerian yang menjadi sampel dalam penilaian Ombudsman. Periode penelitian ini terbagi dua, Maret hingga Mei (periode pertama) dan Agustus hingga Oktober (periode kedua).
Pada 2015, Kementerian Kesehatan mendapatkan skor terbaik dengan angka 105,50 dan masuk dalam zona hijau. Dengan kata lain, tingkat kepatuhan Kementerian Kesehatan dalam menampilkan prosedur layanan publik pada 2015 dinilai tinggi.
Sedangkan salah satu kementerian yang masuk dalam zona merah adalah Pendidikan dan Kebudayaan dengan nilai 49,50. Nilai ini menjadi indikasi bahwa kepatuhan Kemendikbud dalam memberikan informasi layanan publik kepada masyarakat pada periode tersebut sangat rendah.
Pada periode penelitian 2016, jumlah lembaga yang menjadi sampel meningkat menjadi 40 instansi dibandingkan periode sebelumnya, terdiri dari 25 Kementerian dan 15 Lembaga.
Pada 2016, Kementerian Kesehatan mampu mempertahankan posisinya untuk tetap berada di zona hijau. Namun, nilainya berkurang menjadi 104,5.
Kemendikbud berhasil menanjak jauh dengan memasuki zona hijau pada 2016. Nilainya meningkat tajam menjadi 93,1. Ini menunjukkan Kemendikbud sudah semakin baik dan mematuhi peraturan untuk lebih transparan dalam menginformasikan prosedur layanan.
Belum Ramah bagi Para Difabel
Secara umum, pada 2016 dalam lingkup Kementerian, hak pengguna layanan berkebutuhan khusus, seperti kaum difabel, ibu menyusui, maupun manula, merupakan komponen standar pelayanan publik yang paling sering dilanggar. Berdasarkan data Ombudsman, pelayanan bagi masyarakat berkebutuhan khusus ini hanya terpenuhi 14,29 persen atau sekitar 100 produk layanan dan 700 produk yang diteliti.
Senada dengan kementerian, lingkup lembaga pun masih belum mampu memberikan pelayanan khusus untuk pengguna berkebutuhan khusus. Sebanyak 81,42 persen atau setara 263 produk layanan belum ramah kepada pengguna berkebutuhan khusus.
Hal itu mengindikasikan informasi layanan publik masih tidak memenuhi standar serta semakin menguatkan indikasi bahwa pelayanan publik di Indonesia belum ramah difabel maupun pengguna berkebutuhan khusus lainnya.
Selain survei oleh Ombudsman untuk melihat kinerja Kementerian dan Lembaga, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi juga merilis penilaian Akuntabilitas Kinerja.
Skor Kinerja dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Penilaian ini untuk mengidentifikasi kemampuan instansi pemerintahan, dari mengidentifikasikan kinerja yang harus dicapai sesuai peran dan fungsi, merencanakan target kinerja, menyelaraskan alokasi anggaran dengan program dan kegiatan, hingga melakukan evaluasi dalam rangka meningkatkan kinerja.
Nilai akuntabilitas ini dibagi dalam tujuh kategori, dari AA (sangat memuaskan) hingga D (sangat kurang).
Akuntabilitas kinerja dianggap sudah baik jika suatu instansi masuk dalam kategori CC. Dalam kategori ini, akuntabilitas kinerja baru baik pada tingkat instansi pemerintahnya, belum sampai ke unit kerja. Sedangkan kategori B ke atas, akuntabilitas kinerja mulai terkelola dengan baik sampai tingkat unit kerja.
Sejak 2014 hingga 2015, akuntabilitas kinerja seluruh kementerian dan lembaga sudah masuk dalam kategori yang dianggap baik atau CC (cukup). Pada 2014, terdapat 16 institusi atau pemerintahan yang mendapatkan predikat CC. Sedangkan yang mendapatkan predikat A hanya tiga institusi: Badan Pemeriksa Keuangan (nilai 80,41), Kementerian Keuangan (80,69), dan KPK (80,46).
Pada 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan berhasil mendapatkan predikat A (memuaskan) dengan nilai 80,76, setelah pada tahun sebelumnya mendapatkan predikat BB (sangat baik) dengan nilai 77,68.
Sedangkan jumlah institusi pemerintahan yang masuk dalam kategori CC menurun menjadi 15. Ini mengindikasikan akuntabilitas kinerja mereka semakin baik pada lingkup Kementerian/Lembaga.
Meskipun secara umum akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga terlihat meningkat, tetapi tak sedikit lembaga yang menurun secara kinerja.
Dari 79 lementerian/lembaga, terdapat 12 institusi yang menurun predikatnya. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal merupakan institusi yang nilai akuntabilitasnya menurun dengan skor besar, mencapai 7,76. Pada 2014, Kementerian PDT mendapatkan nilai akuntabilitas 61,73 dan masuk kategori B (baik). Namun, pada 2015, institusi ini mendapatkan nilai 53,97 sehingga turun menuju kategori CC (cukup).
Selain Kementerian PDT, Badan Kepegawaian Negara juga masuk dalam kategori dari B menjadi CC. Pada 2014, nilai akuntabilitas kinerja institusi ini sebesar 65,07 dan menurun jadi 58,54 pada 2015.
Secara umum, Ombudsman dan Kementerian Reformasi Birokrasi menilai standar pelayanan kementerian/lembaga terlihat membaik.
Namun, perlu dipahami penilaian oleh Ombudsman ini hanya pada pemberian informasi layanan publik. Permasalahan terbesar mengenai layanan yang tidak ramah terhadap kaum difabel harus jadi perhatian. Karena mereka punya hak yang sama dengan seluruh masyarakat Indonesia.
Selain itu, proporsi lembaga yang masuk dalam kategori memuaskan dari penilaian Kementerian Reformasi Birokrasi masih jauh di bawah kategori cukup. Artinya, perbaikan akuntabilitas kinerja terindikasi belum sampai ke unit kerjanya.
Pemberian layanan standar maupun akuntabilitas kinerja pada dasarnya sangat terkait kinerja pemberi layanan publik, dalam hal ini para pegawai negeri sipil. Kinerja merekalah yang akan menentukan efektivitas layanan institusinya kepada masyarakat.
Maka, belum tentu, institusi yang cenderung menjadi favorit para CPNS mendapatkan penilaian kinerja terbaik. Bisa saja, lantaran terlalu banyak serapan tenaga kerja bikin kinerja dan produktivitas kementerian menjadi tidak optimal.
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti