tirto.id - PNS merupakan salah satu profesi yang paling diminati orang Indonesia. Hampir setiap tahun, pembukaan pendaftaran menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) ramai dengan para pelamar. Jumlahnya sempat meningkat pesat, sebelum akhirnya pemerintah memberlakukan moratorium penerimaan CPNS karena dinilai sudah terlalu besar. Bagaimanakah sebenarnya efektivitas keberadaan jumlah PNS di Indonesia?
Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), jumlah PNS dari 2007 hingga 2010 menunjukkan tren yang meningkat, kenaikan tertinggi pada 2008-2009 mencapai 10,80 persen. Pada 2007, jumlah PNS di Indonesia masih mencapai 4,07 juta orang dan meningkat hingga mencapai 4,6 juta orang di 2010. Setelah 2010, jumlah PNS mengalami tren menurun. Hingga, pada 2016, tercatat hanya ada 4,37 juta orang yang bekerja sebagai PNS.
- Baca juga: PNS, Profesi yang Banyak Dicari
Sementara itu, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (KemenPAN-RB) memproyeksikan selama 2016–2020, sebanyak 752.271 PNS akan memasuki batas usia pensiun. Rinciannya, sebanyak 122.515 orang pensiun pada 2016, 132.815 orang di 2017, 2018 ada 156.349 orang, lalu 2019 tercatat 156.050 orang, dan 2020 bakal mencapai 184.542 orang. Hal ini disebabkan karena banyaknya usia pensiun (antara 58-60 tahun) sampai dengan 2020.
Bila dibandingkan dengan populasi di Indonesia, masyarakat yang bekerja sebagai PNS pada 2016 hanya 1,69 persen terhadap jumlah penduduk. Bila dilihat perbandingan PNS dengan jumlah penduduk secara umum, pada 2016, satu orang PNS bertanggung jawab memberikan layanan terhadap 58 orang penduduk. Rasio rata-rata ini memang relatif kecil, bila dibandingkan pada rasio PNS dengan masyarakat di berbagai provinsi menunjukkan komposisi yang tidak seimbang.
Pada 2016, setiap PNS di daerah (berstatus PNS Provinsi dan Kabupaten/Kota) rata-rata bertanggung jawab untuk melayani 47 penduduk. Namun, untuk PNS yang berada di Banten, setiap orangnya harus melayani 159 penduduk. Rasio di Jawa Barat dan DKI Jakarta pun cukup besar, yaitu 1:142, artinya setiap PNS bertanggung jawab untuk melayani 142 penduduk.
Di sisi lain, rasio PNS terhadap jumlah penduduk di Riau menunjukkan perbandingan 1:23 pada 2016. Begitu pula di Papua Barat, satu PNS bertanggung jawab melayani hanya 24 penduduk. Ketidakseimbangan rasio ini menjadi indikasi lemahnya perencanaan kebutuhan PNS per wilayah/instansi yang akhirnya akan berujung pada rendahnya mutu layanan kepada masyarakat. Lemahnya perencanaan kebutuhan dan distribusi tenaga PNS, terlihat dari proporsi jumlah pegawai berdasarkan jenis kepegawaian.
Dibandingkan dengan pegawai yang bertugas di daerah, selama sepuluh tahun terakhir, proporsi PNS di pusat, seperti kementerian/lembaga, masih cukup besar mencapai sekitar 20 persen terhadap total pegawai.
Proporsi PNS di pemerintah Pusat memperlihatkan tren yang meningkat, dari 20,87 persen di 2007 menjadi 21 persen di 2016. Selain itu, meskipun jumlah PNS menunjukkan tren yang menurun, tetap saja membebani keuangan negara.
Dari seluruh pengeluaran negara, tanggungan terbesar adalah pada belanja pegawai, melebihi belanja modal dan belanja barang/jasa. Selain itu, pengeluaran cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2014, proporsi belanja pegawai pusat terhadap realisasi belanja sebesar 20,4 persen, demikian juga di 2015 sebesar 24 persen, bahkan pada 2016 mencapai 31,3 persen.
Sedangkan, bila belanja barang dan modal disatukan, proporsinya pun relatif rendah. Pada 2014, proporsi realisasi belanja barang dan modal sebesar 26,3 persen. Nilai ini menurun dibanding 2016 pada proporsi belanja barang dan modal hanya 26 persen.
Gendutnya anggaran belanja pegawai bisa membuat terhambatnya pembangunan infrastruktur. Sebab, ada daerah yang biaya pegawainya menghabiskan 80 persen dari APBD dan membuat pembangunan tidak dapat berjalan. Perlu diingat, anggaran ini tidak cuma pada pembayaran gaji, tetapi juga pembayaran tunjangan dan pensiunan. Pertanyaannya adalah dengan anggaran sebesar itu apakah para birokrat telah memberikan pelayanan yang baik?
Menjawab hal ini, Bank Dunia memberikan penilaian terhadap tata kelola negara. Indikator yang diberi nama The Worlwide Governance Indicators Reports ini melakukan penilaian atas 6 dimensi, yaitu pendapatan dan akuntabilitas, stabilitas politik dan ketiadaan kekerasan, efektivitas pemerintah, kualitas regulasi, aturan hukum dan pengendalian korupsi.
Berdasarkan data tersebut, nilai rata-rata indikator efektivitas pemerintahan (Government Effectiveness) Indonesia masuk dalam kategori rendah. Pada 2010, skor Indonesia sebesar-0,20 dan menurun menjadi -0.22 di 2015. Di tingkat ASEAN, pada 2015, skor Indonesia masih kalah jauh dengan Singapura (2,3), Malaysia (1,0), Thailand (0,36) dan Vietnam (0,08).
Banyaknya penyerapan tenaga kerja dan alokasi belanja negara yang besar ternyata tidak memberi dampak signifikan bagi kemajuan. Sebab tidak dibarengi dengan perencanaan strategis PNS secara nasional, validitas kebutuhan PNS per instansi berdasarkan beban kerja, dan penetapan standar kompetensi PNS.
Beberapa hal lain juga soal tidak diimbangi dengan kinerja yang optimal. Tampaknya, saat pendaftaran kerja, para calon PNS banyak yang belum memahami bahwa menjadi pegawai negara pada dasarnya adalah menjadi pelayan publik.
Penulis: Scholastica Gerintya
Editor: Suhendra