tirto.id - Pada debat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta edisi kedua pada Jumat (27/1/2017) lalu, ada satu topik hangat yang dibicarakan: penilaian dari Ombudsman RI. Penilaian itu menjadi ramai dibahas karena pernyataan Ahok dan Anies tentang penilaian Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dilakukan oleh Ombudsman.
Ahok menyatakan: "Ya sebenarnya kita mengerti Jakarta ini memang kota besar, orangnya banyak bisa dilihat Ombudsman kami juara 16 kata Ombudsman tapi dari 33 provinsi, Bapak Anies jadi Mendikbud juara 22 dari 22, ini enggak jadi masalah, kan?"
Diserang oleh Ahok dengan cara begitu, maka Anies pun membalas: "Saya mengoreksi apa yang dikatakan oleh Pak Basuki, bahwa Kemdikbud ranking 22. Saya sebenarnya enggak mau ngangkat ini, tapi karena beliau mengatakan data yang keliru, (maka) saya koreksi. Bahwa itu angka sebelum saya bertugas. Setelah saya bertugas meningkat menjadi 9 ranking di antara semuanya."
Lalu, benarkah data yang disampaikan oleh kedua kandidat Gubernur tersebut? Benarkah penilaian ombudsman tentang pemeringkatan ini? Pada #PeriksaData kali ini, Tirto akan memaparkan hasil riset yang dipublikasi oleh Ombudsman.
Sejak 2013, Ombusdman Republik Indonesia yang memiliki fungsi lembaga pengawas eksternal pelayanan publik yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, BHMN hingga badan swasta dan perorangan yang mendapatkan dana dari APBN/APBD, melakukan penilaian dan pemeriksaan tingkat kepatuhan di kementerian, lembaga dan pemerintah daerah terhadap standar pelayanan publik. Dasar dari penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Tujuan dari penelitian yang dilakukan Ombudsman adalah untuk mengingatkan kewajiban penyelenggara negara agar memberikan layanan terbaik kepada masyarakat. Sehingga peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dipercepat melalui kepatuhan terhadap standar pelayanan.
Penilaian Ombudsman hanya berfokus pada atribut-atribut standar pelayanan yang sudah terpampang atau disiapkan di ruang pelayanan oleh masing-masing institusi. Artinya, Ombudsman hanya menilai apakah standar yang diterapkan oleh masing-masing lembaga/institusi sudah diinformasikan atau belum. Standar masing-masing institusi/lembaga sangat mungkin berbeda satu sama lain. Misalnya: standar dan/atau syarat-syarat mengurus mengurus paspor jelas berbeda dengan mengurus akta kelahiran atau sertifikat tanah.
Dan Ombudsman tidak menilai atau menentukan bagaimana ketentuan standar pelayanan itu disusun atau diterapkan oleh masing-masing lembaga/institusi, seperti tertuang dalam Ringkasan Eksekutif Hasil Penilaian Kepatuhan 2016 yang dibuat oleh Ombudsman RI. Penelitian yang dilakukan Ombudsman juga tidak untuk menilai efektivitas dan kualitas pelayanan, serta kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik, melainkan hanya memfokuskan pada atribut standar layanan yang wajib disediakan pada setiap unit pelayanan publik.
Pada 2015, Ombudsman melakukan penelitian pada dua periode, yaitu periode pertama mulai Maret hingga Mei dan periode kedua pada Agustus hingga Oktober. Jumlah kementerian yang diambil untuk menjadi sampel sebanyak 22 dari 34 kementerian yang ada. Sedangkan, jumlah provinsi yang dijadikan sampel sebanyak 33 dari 34 provinsi.
Setahun berikutnya, yaitu pada 2016, jumlah kementerian yang dijadikan sampel pada penelitian meningkat menjadi 25, sedangkan jumlah provinsi tetap 33 daerah. Jika dihitung secara keseluruhan, jumlah total institusi/lembaga yang dijadikan sampel penelitian Ombudsman ini meningkat dari 184 menjadi 213 institusi pemerintahan.
Berdasarkan laporan hasil penelitian Ombudsman tersebut, hasil penilaian diklasifikasikan dengan menggunakan traffic light system yang terdiri dari zona merah, zona kuning dan zona hijau. Hal ini lazim digunakan karena penelitian ini menghitung hasil penilaian pada sampel, bukan keseluruhan populasi. Selain itu, penelitian ini juga mengambil sampel produk layanan yang berbeda-beda jumlahnya.
Sehingga hasil penilaian kepatuhan yang diberikan Ombudsman RI kepada kementerian, lembaga dan pemerintah daerah tidak dapat saling dibandingkan satu sama lain. Maka, akan tidak tepat jika posisi sebuah institusi yang dilakukan penilaian pada penelitian ini disebut sebagai ranking/peringkat.
Sebagai contoh, pada 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendapatkan nilai 49,50 yang berada dalam zona merah atau memiliki tingkat kepatuhan atas pelayanan publik yang rendah. Nilainya ini meningkat menjadi 93,10 pada 2016 atau masuk dalam kategori hijau dengan tingkat kepatuhan tinggi.
Di lain sisi, Provinsi DKI Jakarta sejak 2015 hingga 2016 berada pada zona yang sama yaitu kuning yang masuk dalam kategori tingkat kepatuhan sedang. Meskipun demikian, terlihat ada perbaikan kepatuhan pelayanan publik dari yang bernilai 61,20 pada 2015 menjadi 74,64 pada 2016.
Seperti yang telah dijelaskan oleh Ombudsman, hasil penilaian ini tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Maka, akan bijak jika hasil penilaian ini digunakan sebagai perbandingan keberhasilan institusi atas kepatuhan pelayanan publik dari tahun ke tahun terhadap dirinya sendiri, bukan terhadap institusi lainnya.
Maka tidak tepat jika zonasi merah, kuning, hijau ini pun disetarakan dengan pemeringkatan alias ranking -- sebagaimana dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama saat menyebut ranking Kemdikbud maupun Anies Baswedan saat menyebut ranking Pemprov DKI dalam debat kedua Pilgub DKI 2017.
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Zen RS