Menuju konten utama
Wawancara Komisioner KASN:

"Dengan Sistem Komputer Harusnya Tak Ada Lagi CPNS Titipan"

Di masa lalu pola rekrutmen PNS kerap dituding sarat kolusi dan nepotisme. Tetapi bagaimana sekarang?

Avatar Prijono Tjiptoherijanto. tirto.id/sabit

tirto.id - Pada masa lalu perekrutan calon pegawai negeri sipil dianggap sarat nepotisme dan kolusi. Anggapan itu mencoba ditepis pemerintah dengan melakukan perekrutan dan ujian CPNS secara online sejak 2014.

Kini, sistem sudah berubah, CPNS harus melewati tes akademik dengan sistem bernama computer assisted test (CAT). Harapannya, cara ini bisa menutup akses nepotisme dan suap dalam setiap penerimaan.

Dari sisi perangkat regulasi dan kelembagaan, kini sudah ada Undang-Undang No.5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Undang-undang mengisyaratkan: Siapa pun yang menduduki jabatan pemimpin tertinggi harus melalui seleksi terbuka.

Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Komisi Aparatur Sipil Negara agar menjamin sistem dalam kebijakan dan manajemen ASN berjalan baik, dengan tugas dan wewenang diberikan kepada KASN.

Wewenang utama KASN mengawasi setiap tahapan proses pengisian jabatan pimpinan tinggi, dari pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, hingga pelantikan.

Komisi ini juga punya fungsi utama mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN, serta menjamin pelaksanaan meritokrasi dalam perumusan Kebijakan dan manajemen ASN pada instansi pemerintah. Meritokrasi adalah sistem yang memberi peluang kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan, senioritas, dan sebagainya.

Tirto berkesempatan mewawancarai Komisioner Komisi Aparatur Negara (KASN) Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto. Ia berbicara banyak mengenai perekrutan PNS, Perilaku PNS, dan penerapan sistem merit.

Namun Prijono memberikan catatan bahwa meski proses seleksi sekarang sudah lewat sistem komputer, belum tentu mengubah perilaku para PNS.

Berikut petikan wawancara dia bersama Arbi Sumandoyo dari Tirto saat ditemui pekan lalu di kawasan Depok, Jawa Barat.

Proses rekrutmen CPNS masih dianggap belum mumpuni, misalnya pada Juli lalu situs web Badan Kepegawaian Negara tidak bisa diakses. Bagaimana seleksi penerimaan CPNS yang ideal menurut Anda?

Sekarang ini harusnya sudah ideal. Karena sudah menggunakan computer assisted test (CAT). Namun, jika ada gangguan seperti server down dan segala macam, itu kemudian yang menjadi masalah. Saat BKN memulai penggunaan IT, agak repot.

Penggunaan IT pertama kali dilakukan pada waktu mau melakukan pendataan ulang pegawai negeri. Jadi memang kadang-kadang kecepatan untuk menggunakan teknologi yang lebih canggih, kadang-kadang kurang diikuti dengan berbagai kesiapan pada sumber daya manusianya.

Ada kritik mengenai rekrutmen CPNS yang tidak menggandeng konsultan independen, seperti potensi nepotisme dan suap, misalnya?

Sebetulnya kalau pakai sistem sekarang, anaknya Pak Jokowi pun, kan, tidak diterima. Jadi tidak ada lagi nepotisme. Kalau zaman dulu memang iya. Zaman dulu ada titipan dari bupati, dari gubernur, titipan pejabat, untuk jadi pegawai negeri. Namun, dengan sistem komputer, harusnya hal itu sudah tidak ada lagi.

Menurut Anda, penerapan sistem merit era Presiden Jokowi sudah berjalan efektif?

Kalau pada level pejabat, belum. Karena baru mulai seleksi terbuka. Dulu tidak ada. Jadi memang belum sepenuhnya. Maka ini yang kita awasi. KASN mengawasi supaya pejabat yang memenuhi kualifikasilah yang ditunjuk. Kalau dulu, asal pejabat dekat dengan atasan, sudah pasti langsung jadi.

Bagaimana Anda melihat kinerja PNS saat ini?

Kalau kinerja masih jauh dengan negara-negara lain. Sebenarnya soal ini, harus lihat sejarahnya. Sejarahnya memang PNS dipakai untuk memenangkan Golkar (Golongan Karya). Pokoknya diperbanyak saja pegawai negeri.

Golkar dulu kan bukan partai. Kenapa boleh ikut pemilihan umum? Itulah hebatnya Soeharto. Maka setiap pegawai negeri adalah anggota Golkar, karena memang bukan partai.

Bagaimana Anda melihat reformasi birokrasi yang sudah bergulir?

Ya reformasi politik cuma demokratisasi saja. Yang lainnya masih tidak keru-karuan.

Reformasi birokrasi di luar pemerintah pusat, hanya beberapa daerah saja yang sukses?

Karena reformasi birokrasi nasionalnya tidak jalan.

Apa faktornya?

Faktornya orang. Kalau yang ditunjuk tidak terlalu berminat pada reformasi birokrasi, tidak jalan memang. Kita ini kan kebanyakan menyontek. Reformasi birokrasi zaman Pak Susilo Bambang Yudhoyono, menyontek dari Clinton, dari Amerika Serikat. Menyontek tapi tidak lengkap. Kita tidak mau bikin sendiri seperti Thailand. Kita jangan menyontek dari yang sudah ada.

Anda setuju sistem merit mulai gencar diterapkan sejak UU No.5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara?

Sebetulnya tidak. Undang-undang Pak Harto (Soeharto) juga ada reformasi birokrasi, seperti mengubah sistem kepegawaian dan sebagainya.

Pada 2014 itu memang lebih banyak pada penerapan merit system. Cuma memang pelan-pelan. Penerapan itu juga ada penerapan perekrutan dengan sistem CAT. Itu sebetulnya yang dilakukan untuk mengurangi tidak ada titipan.

Apakah KASN memantau juga proses perekrutan CPNS?

Kita hanya memantau pejabat. Itu saja. Kalau ada pejabat mau dilantik, mau dipilih, kita pantau. Tetapi soal perekrutan CPNS, sama sekali kita tidak bisa memantau. Seleksi terbuka itu yang kita lakukan.

Kenapa KASN tidak mengawasi penerimaan CPNS?

Coba Anda bayangkan saja untuk pemantauan pejabat saja susahnya bukan main. Kita hanya tujuh orang (komisioner) dan tidak memiliki pegawai di daerah dan lain sebagainya. Jangan samakan dengan KPK yang pegawainya sampai 5.000 orang. Kita pegawainya saja total hanya 50 orang. Bagaimana mau mengawasi seluruh Indonesia?

Kalau mau diperkuat, harusnya diperkuat struktur organisasinya, sehingga kita bisa merekrut orang lebih banyak. Kemudian pemerintah juga memiliki perhatian pada kita, kantornya tidak menumpang seperti saat ini. Sekarang kantor KASN menumpang, belum maksimal.

Bagaimana Anda melihat perilaku PNS selama Anda duduk sebagai komisioner KASN?

Saya menjabat sejak zaman Orde Baru. Itu lebih enak, disiplin, dan peraturannya enak. Sekarang ini tidak keruan. Dahulu itu ada bedanya. Kementerian dengan departemen. Sekarang dicampur tidak keruan. Dahulu kementerian tidak ada operasional. Pokoknya sekarang ketika sudah berganti menjadi kementerian, makin tidak keruan. Pokoknya, kalau orang belajar birokrasi secara baik, akan menilai tidak keruan peraturannya.

Apa Anda ingin bilang era Soeharto jauh lebih baik daripada saat ini?

Jauh lebih baik walaupun memang otoriter, tetapi jauh lebih baik birokrasinya, administrasinya.

Bukankah nepotisme, suap, dan pungutan liar merajalela?

Ya makanya, seperti saya bilang, zaman itu belum menggunakan komputer. Makanya, (meski) sekarang celahnya berkurang, tetapi perilaku orang-orangnya belum tentu berubah. Hanya alat-alatnya saja yang berubah.

Bagaimana Anda melihat tingginya animo masyarakat menjadi PNS?

Jadi PNS itu tidak bisa dipecat, ya sudah itu saja.

Jadi menurut Anda karena faktor itu?

Ya karena ada rasa keamanan itu dan kalau pensiun dapat duit lagi nantinya.

Apakah Anda juga melihat, anggaran belanja PNS tinggi bahkan mencapai 50 persen dari APBD?

Anggaran untuk PNS memang tinggi, hampir semuanya anggaran untuk pegawai tinggi. Mungkin salahnya dari dulu ya, pegawai negeri sudah terlalu banyak. Mereka enggan membuka seleksi terbuka karena itu menjadi tambahan biaya.

Tambahan biaya seperti apa yang Ada maksud?

Seleksi terbuka, panitia seleksi harus ada yang dari luar, ini harus dibayar, segala macam. Zaman dulu kan tidak ada, hanya dipilih dari dalam. Itu kan tambahan biaya. Yang dikeluhkan mereka (ASN) terus terang membebani anggaran juga katanya.

Bukankah seleksi terbuka menghasilkan SDM yang lebih berkualitas?

Iya memang. Itu tujuannya, tetapi yang di daerah lebih berpikir soal duitnya jadi hilang untuk seleksi terbuka.

Mengenai perilaku PNS saat ini dari kacamata Anda seperti apa?

Menurut saya tidak lagi seperti priayi. Di Jakarta bisa melayani masyarakat karena gajinya besar. Saya juga mengajar di sekolah tinggi Ilmu Administrasi. Mahasiswa saya adalah lurah dan camat, gajinya antara Rp35 juta sampai Rp40 juta. Saya guru besar, cuma Rp16 juta. Kalau begitu, pasti bisa melayani dengan baik. Kepala dinas itu gajinya sampai Rp80 juta. Makanya jadi PNS di DKI itu tenang.

Baca juga artikel terkait CPNS atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Indepth
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam