tirto.id -
- Masukkan ikan jantan dan eceng gondok ke dalam baskom.
- Masukkan ikan betina ke dalam toples bekas selai, lalu letakkan wadah itu di baskom berisi ikan jantan.
- Biarkan ikan jantan dan betina bertaaruf (“boleh lihat, tapi jangan sentuh”) sampai ikan jantan menghasilkan busa-busa di batas air. Proses ini makan waktu satu hingga tiga hari.
- Pindahkan ikan betina ke dalam baskom. Pasangan itu akan kawin dengan cara menautkan badan.
- Jika telur-telur sudah bertebaran pada busa dan perut ikan betina sudah kempis, segera singkirkan ikan betina. Kalau tidak, ia akan memakan telur-telur itu.
- Telur akan menetas dalam dua hingga tiga hari. Singkirkan ikan jantan, supaya ia tak memakan burayak alias anak-anaknya—yang memang kelihatan serupa jentik nyamuk.
Saat itu malam pergantian tahun. Kau dan Taryono berbual-bual soal pekerjaan dan keterampilan, keluarga, dan lain-lain di sebuah pulau tak berpenghuni di Laut Jawa. Di antara kakofoni bunyi genset, derik serangga hutan, dan bunyi gesekan daun-daun, ia menjawab salah satu misteri terbesar dan paling awal dalam hidupmu. Ia membuatmu mengerti mengapa, dulu, setiap kali kau berusaha menggandakan ikan cupang andalanmu, mereka malah mati.
“Ikan cupang itu hewan teritorial. Mereka menganggap sesamanya, sekalipun betina, sebagai ancaman,” ujarnya. “Kalau tidak dipisah, yang betina bakal dipatuk sampai mati.”
Kau mengangguk-angguk dan tak dapat menyembunyikan rasa senang. Tak ada alasan buat meragukan petunjuk Taryono. Sebelum itu, ia bilang kepadamu bahwa seluruh pedagang ikan hias di Indramayu memperoleh keahlian mereka dari dia dan adik-adiknya.
Kau bertanya mengapa ia tidak terus membudidayakan ikan hias saja. “Memangnya betah mengurusi mercusuar dan jarang ketemu manusia, Mas?” katamu.
Taryono menggeleng, tetapi ceritanya tak berhenti. Ikan hias, katanya, cuma selingan kalau ia sedang tak ikut proyek-proyek pembangunan.
“Keahlian kita yang sebenarnya itu scaffolding, pemasangan pipa, dan pengelasan. Begitu urut-urutannya dari yang termudah sampai yang paling rumit,” ujarnya.
Ia menyebut dirinya "kita" bukan karena ia keliru memilih kata ganti orang pertama, tetapi "kita" dalam bahasa percakapan Indramayu berarti "saya".
Penghasilan Taryono dari proyek-proyek itu jauh lebih besar ketimbang dari berjualan ikan hias. Untuk proyek yang umumnya berlangsung selama tiga bulan, setiap bulan ia memperoleh 3 sampai 7 juta rupiah, tergantung tingkat kesulitan pekerjaannya. Sementara dari berdagang ikan hias, katanya, ia rata-rata hanya memperoleh 18 ribu rupiah dalam sehari. Itu berarti, jika bisnisnya ajek, dalam sebulan ia hanya mendapat 540 ribu rupiah saja.
“Jiwa kita yang sebenarnya itu jiwa dagang, Mas. Jiwa bebas. Tapi persoalannya adalah modal. Kalau modal kecil, berat. Sekarang kita mengumpulkan modal,” katanya. Taryono mengaku tak betah bekerja sebagai pengurus menara suar. Di luar perkara “panggilan jiwa”, kau mengerti bahwa ia gemar bergaul.
“Tiga juta,” jawabnya ketika kau bertanya soal gajinya (dengan cara berputar-putar yang tak ada faedahya diulang). “Sejuta untuk keluarga, sejuta untuk makan. Sisanya baru kita simpan. Di sini gaji kita kecil, tapi kita bisa jadi pegawai negeri. Kita ini tulang punggung keluarga.”
Kemudian wajah Taryono, yang sejak awal obrolan tampak riang, berubah jadi keruh. Matanya mengerjap lebih cepat. “Sejak kita SMP, Ayah sudah tidak ada. Kita punya tiga adik, dua laki-laki dan satu perempuan; tanggung jawab kita. Yang bungsu baru tunangan, Mas,” katanya. Saat mengucapkan kalimat terakhir, ia tersenyum lebar seakan-akan hal itu adalah pencapaiannya sendiri.
“Yang perempuan?”
“Iya.”
“Mas Taryono sendiri sudah punya calon?” tanyamu.
Ia menjawab: belum, dan kau merasa semestinya ia mengobrol dengan Arlian, temanmu yang ikut ke pulau itu dan membenamkan wajahnya di bantal tak lama setelah Taryono menggelar kasur buat kalian. Dengan begitu, pikirmu, pertukaran pengetahuan dapat berlangsung dua arah.
Selain ikan hias, Taryono juga kepengin berdagang pakaian. Rencananya sederhana: ia akan membeli jins dan kaus dan jaket berkodi-kodi dari konveksi di Jakarta dan Bandung, lalu menjualnya kembali di Indramayu.
“Tidak semua orang boleh belanja langsung di konveksi. Itu jatahnya pengepul. Tapi kita pernah kerja di konveksi. Walaupun ambil satu atau dua kodi, boleh, karena dianggap orang dalam,” katanya.
Saat Taryono menyebutkan merek-merek pakaian incarannya—On Fire, Levi's, dan lain-lain—ia terdengar seperti membicarakan hal-hal yang akrab dengannya tetapi juga amat jauh, seperti seorang peminum yang bicara soal kebun anggur pribadi atau pembaca buku-buku fiksi ilmiah yang bicara tentang sains roket. Kau pikir itu menyedihkan.
Selang semalam, kau mendapatkan kesan baru tentang Taryono. Saat kau terlelap dan bermimpi dikejar-kejar bangkai anjing, ia menyampaikan kepada Arlian apa-apa yang ia telah ceritakan kepadamu, dengan kalimat-kalimat yang identik. Dan esok siangnya, setelah kau dan Arlian berenang dan dikejar-kejar biawak, kalian bersantai dan mengobrol lagi dengan Taryono. Masalahnya: ia seperti lupa telah bicara apa saja kepada kalian dan mengulang lagi seluruh ceritanya, mulai dari A sampai Z, dari Alif sampai Ya.
Kesedihanmu segera malih rupa menjadi rasa penasaran. Maka, sepulang dari Pulau Biawak, kau mengunjungi rumah keluarga Taryono di Desa Karanganyar, Indramayu.
Taryono mengatakan bahwa rumahnya cuma gubuk dan kau menjumpai dinding separuh tembok separuh gedek yang melingkupi tiga ruangan kecil: tempat parkir sekaligus ruang tamu, kamar dengan ranjang tua penuh pakaian, dan dapur sekaligus sumur dan jamban. Warna air sumurnya mirip jus melon dan di langit-langit jamban ada sarang laba-laba sebesar dua telapak tangan plus penghuninya yang seukuran ruas jari tanganmu.
Wahyudi, adik pertama Taryono, mengafirmasi beberapa cerita kakaknya. Ia bahkan melengkapi beberapa bagian dengan detail yang menarik. Tentang pekerjaan Taryono di proyek-proyek pembangunan, ia mengatakan bahwa si kakak disenangi para mandor karena kerjanya bagus dan cepat. Tentang peran di keluarga, ia bilang, “Saya akui kakak saya itu benar-benar bertanggungjawab dan peduli pada keluarga.” Bahkan kartu ATM-nya, kata Wahyudi, dipegang oleh adik bungsu mereka.
“Yang perempuan?”
“Laki-laki, namanya Suryadi.”
“Jadi, yang perempuan itu anak tengah?”
Kau melihat kawan bicaramu merengut, lalu menunduk. Setelah diam dua atau tiga detik, ia menelan ludah dan bicara kembali: “Yang perempuan itu kakak saya, yang paling tua. Sudah almarhum.”
Digempur pengulangan cerita oleh Taryono, pikirmu, tidak ada apa-apanya dibanding keterangan Wahyudi. Kau melanjutkan percakapan dengannya sambil menyembunyikan rasa terkejutmu. Sepulang dari sana, kau ingin mengetahui bagaimana pikiran Taryono bekerja dan kau menemukan cerita tentang Sarah Shourd.
Shourd adalah korban paranoia pemerintah Iran. Pada 2008, ia, pacarnya, dan seorang teman mereka ditangkap di pegunungan Kurdistan Irak, di daerah perbatasan dengan Iran, dengan tuduhan mata-mata. Mereka dikurung dalam sel-sel yang terpisah dan mengalami sedikit sekali kontak sesama manusia selama sekitar 10 ribu jam.
Akibatnya, Shourd mengalami halusinasi berat. “Pada satu titik, aku mendengar seseorang berteriak, dan saat salah seorang sipir menyadarkanku, aku sadar bahwa itu adalah teriakanku sendiri,” tulisnya di New York Times pada 2011.
Sejumlah riset, menurut BBC, telah menunjukkan isolasi berdampak buruk bagi tubuh manusia. Orang-orang yang kesepian mempunyai tekanan darah lebih tinggi, lebih rawan terkena infeksi, dan lebih rentan mengalami penyakit Alzheimer dan demensia. Kesepian juga berisiko mengacaukan pola tidur serta penalaran logis dan verbal seseorang.
Pada 1993, sosiolog dan penjelajah gua Maurizio Montalbini menghabiskan 366 hari di sebuah gua di dekat Pesaro, Italia, yang dibuat oleh NASA untuk simulasi misi-misi angkasa luar. Montalbini hendak memecahkan rekornya sendiri dalam hal tinggal sendirian di bawah tanah. Saat kembali ke permukaan, ia yakin bahwa ia baru melewati 219 hari. Pengalaman Montalbini itu membuka jalan bagi para ilmuwan: Mereka berkesimpulan di dalam kegelapan dan kesendirian, umumnya orang akan menyesuaikan diri dengan siklus 48 jam—36 jam berkegiatan dan 12 jam tidur.
Apakah Taryono, yang meninggalkan Pulau Biawak sekali per dua bulan, telah terkena efek buruk kesendirian dan isolasi? Atau ada penjelasan lain?
Dengan cara yang mirip dengan yang kau pakai untuk mengetahui gaji Taryono, kau mengeduk informasi-informasi “pribadi” Taryono dari Wahyudi.
Hasilnya: (1) Taryono adalah pelupa akut. Ia, misalnya, pernah berantem dengan Suryadi gara-gara menuduh yang belakangan mengambil uangnya, padahal ia sendirilah yang telah memindahkan uang tersebut. (2) Taryono punya pacar. Perempuan itu, setidaknya, menurut Wahyudi, menganggap serius hubungan mereka. Sebelum berangkat ke Taiwan untuk menjadi tenaga kerja wanita, perempuan itu menawari keluarga Taryono buat memegang kartu ATM-nya (tetapi Taryono menolak dengan alasan takut khilaf). (3) Taryono doyan klenik.
“Kakak saya puasa Senin-Kamis sejak SD. Dia juga rajin ziarah ke tempat-tempat keramat,” kata Wahyudi. “Waktu awal-awal di pulau, katanya, dia pernah didatangi kakek-kakek berpakaian putih-putih. Kakek itu berpesan: 'Nak Yono, tolong, ya, jaga anak-anak saya.' Apa yang dimaksud anak-anak itu? Kalau menurut saya, ya, biawak-biawak itu, Mas.”
Pada waktu lain, kata Wahyudi, ketika Taryono duduk-duduk di balkon mercusuar menjelang magrib, ia ditegur oleh sebulat suara yang menyuruhnya kembali ke mes dan salat. “Kakak saya cari-cari asal suara itu,” ujar Wahyudi, “ternyata yang ngomong raksasa yang besar dan tinggi sekali, lebih besar daripada mercusuar.”
Setelah menceritakan ulang beberapa kisah klenik lain yang dialami kakaknya, termasuk tentang Pedang Pangeran Pulau Biawak yang sebelumnya kau dengar langsung dari Taryono, Wahyudi bilang bahwa “minat” itu diwarisi Taryono dari ayah dan paman mereka.
“Berarti, Mas Wahyudi juga 'bisa'?” tanyamu.
“Saya tidak mendalami karena saya merasa belum siap. Cuma tahu beberapa amalan, yang sederhana.”
“Misalnya?”
- Begitu tiba di tempat baru, hampiri tempat yang ada tanah (atau pasir).
- Awasi sekeliling, pastikan tidak ada orang yang mengawasi (supaya terhindar dari anggapan 'aneh', 'edan', dan sebagainya).
- Bersujudlah. Biarkan telapak tangan, lutut, dan dahimu menyentuh tanah.
- Bangkit. Ambil sedikit tanah, lalu masukkan ke mulut sambil mengucap basmalah dalam hati.
- Telan saja, tidak masalah.
- Insya Allah semua, manusia atau bukan, yang ada di tempat itu akur denganmu.
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Fahri Salam