tirto.id - Mohamed Salah mungkin tak menyangka kehadirannya sebagai pesepakbola muslim di Liga Inggris bisa mengubah pandangan orang terhadap Islam. Bintang Liverpool ini membuktikan, perbedaan agama bukan masalah. Islamofobia di Eropa pun mulai dikikis Mo Salah lewat amal aksi dan prestasinya.
Citra Islam di beberapa negara Eropa terkadang tidak terlalu bagus. Sejumlah peristiwa terorisme termasuk aksi bom bunuh diri yang mengatasnamakan Islam membuat tak sedikit orang mengalami Islamofobia dan menilai umat muslim dengan pandangan miring.
Runnymede Trust dalam Muslims and Crime: A Comparative Study (2005) karya Muzammil Quraishi mendefinisikan Islamofobia sebagai "rasa takut dan kebencian terhadap Islam, dan oleh karena itu, juga kepada semua muslim," serta merujuk pada praktik diskriminasi terhadap muslim dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan suatu bangsa.
Kiprah Mo Salah di gelanggang sepak bola secara tidak langsung turut mereduksi kesan Islamofobia yang selama ini dipahami oleh masyarakat Inggris, juga di kancah Eropa berkat aksinya bersama Liverpool di Liga Champions.
Mo Salah menggunakan statusnya sebagai muslim dengan sempurna usai diboyong dari AS Roma ke Anfield pada 2017. Striker tim nasional Mesir ini melakukannya dengan cara yang barangkali tidak disengaja.
Sebagai contoh, Mo Salah selalu memanjatkan doa sebelum pertandingan. Pesepakbola berusia 27 tahun ini juga kerap melakukan sujud syukur setelah mencetak gol. Alhasil, orang jadi penasaran dengan kebiasaan Salah tersebut.
“Itu [selebrasi dengan bersujud] seperti berdoa atau berterima kasih pada Tuhan atas apa yang telah saya raih. Saya selalu melakukan itu sejak lama dan di mana pun saya bermain,” kata Salah di website klub Liverpool.
"Penyelamat" Muslim di Inggris
Menurut penelitian dari Departemen Sains Politik Universitas Stanford, kebiasaan Mo Salah yang selalu berdoa dan bersujud di pertandingan sepak bola, juga didukung perilaku baiknya, berdampak besar bagi orang-orang terkait Islamophobia.
Hasil riset itu menyebutkan bahwa tingkat kejahatan terhadap seorang muslim di Inggris turun hingga 18,9 persen sejak Mo Salah merumput di Premier League bareng Liverpool.
“Kenapa angka kejahatan [terhadap muslim] turun? Ada dua penjelasan spekulatif menurut kami," sebut William Marble, peneliti di Universitas Stanford.
"Pertama karena orang-orang mungkin sudah lebih toleran. Kedua, banyak orang-orang bicara soal Mo Salah. Ia diterima dengan baik disini dan orang melihat bahwa dari Salah, Islam ternyata tak seburuk yang selama ini mereka kira,” lanjutnya.
Kesaksian lain terkait 'peranan' Salah dalam mengikis Islamofobia terjadi ketika semifinal Liga Champions 2017 di Stadion Olimpico, Roma, Italia. Salim Kassam, editor The Muslim Vibe, mendapatkan sambutan hangat dari suporter Liverpool dengan kisah yang diceritakannya.
“Di Roma, tepat sebelum kick-off, saya di stadion dan saat itu adalah waktu untuk kami sholat," buka Kassam memulai ceritanya.
"Kami menemukan sebuah sudut yang kami rasa bisa dipakai untuk sholat. Kami tak sengaja bertemu suporter Liverpool dan mereka langsung menyanyikan chants ‘Mo Salah’. Hal seperti itu tak pernah terjadi sebelumnya disini,” imbuhnya.
Kisah nyata tersebut tentu menjadi kabar bagus bagi umat Islam di Inggris. Pasalnya, pada 2015 lalu sejumlah suporter Liverpool mendapatkan ejekan saat beribadah di Anfield.
Bahkan, suporter dari klub lain pernah menyanyikan chants yang menyebut bahwa Salah adalah seorang teroris.
Ramadan di Final Liga Champions
Lahir di Nagrig, Basyoun, Mesir, tanggal 15 Juni 1992, Mohamed Salah merupakan muslim yang taat sejak kecil. Ia rajin melaksanakan puasa Ramadan. Kewajiban itu tetap ditunaikannya sebisa mungkin bahkan ketika Mo Salah sudah menjadi pesepakbola profesional di Eropa.
Kendati begitu, ada kalanya Mo Salah terpaksa tidak berpuasa. Semisal pada 2018 ketika Liverpool tampil di final Liga Champions yang kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadan.
Ruben Pons, pelatih kebugaran Liverpool kala itu, mengatakan bahwa pada final Liga Champions 2018, Mo Salah tidak berpuasa dua hari, yakni di hari partai puncak dan sehari sebelumnya.
Sayangnya, di laga final 2018 melawan Real Madrid itu, Mo Salah hanya bermain sebentar karena mengalami cedera akibat berbenturan dengan Sergio Ramos.
Final Liga Champions musim berikutnya yakni 2019 juga dihelat saat Ramadan. Liverpool dan Mo Salah untuk kedua kalinya secara berturut-turut kembali masuk final, kali ini menghadapi sesama klub Inggris, Tottenham Hotspur.
Belum diketahui dengan pasti apakah Mo Salah berpuasa atau tidak saat tampil di Stadion Wanda Metropolitano, Madrid, kala itu. Namun, beberapa media meyakini Salah tetap menjalankan ibadah puasa.
Mo Salah baru terlihat minum saat laga memasuki menit 40 atau waktu berbuka puasa di Madrid. Saat itu, Mo Salah terlihat meneguk minuman ketika pertandingan terhenti karena Jan Vertonghen butuh perawatan.
Jurgen Klopp, manajer Liverpool, tidak mempermasalahkan hal tersebut. Ia menghormati keyakinan Mo Salah. Klopp yakin, pemainnya itu tetap bisa memberikan yang terbaik di lapangan.
“Saya tidak masalah jika ada pemain saya yang puasa. Saya menghormati ajaran agama mereka," ujar Klopp.
Meski puasa, mereka tetap bisa memberikan yang terbaik sama seperti ketika mereka sedang tidak puasa. Ada kalanya juga Mo dan Sadio Mane memanfaatkan kamar ganti untuk beribadah,” sambung pelatih asal Jerman ini.
Mo Salah membuktikan bahwa prestasi tetap bisa diraih meski menjadi kaum minoritas. Tak heran jika suporter Liverpool sangat mencintainya. Mereka bahkan menciptakan chants khusus bagi Mo Salah yang terbilang sangat menarik:
If he scores another few
Then I’ll be Muslim, too
If he’s good enough for you
He’s good enough for me
Sitting in a mosque...
That’s where I wanna be.
Penulis: Wan Faizal
Editor: Iswara N Raditya