tirto.id - Miralem Pjanic adalah muslim sejak lahir, mengikuti agama Islam yang dianut oleh kedua orangtuanya, Fahrudin dan Fatima. Pesepakbola top yang kini memperkuat Juventus ini berasal dari keluarga yang punya sejarah kelam akibat Perang Bosnia.
Pjanic lahir tanggal 2 April 1990 di Tuzla, kota yang saat ini termasuk wilayah negara Bosnia-Herzegovina atau yang dulu masih berada di bawah naungan Yugoslavia.
Saat dilahirkan, tanah air Pjanic tengah dilanda konflik antar kelompok etnis yang terselip sentimen perbedaan agama. Situasi ini membuat masa kecil Pjanic dilalui dengan amat pedih.
Keluarga Pjanic yang muslim berusaha sebisa mungkin keluar dari Yugoslavia agar terhindar dari pembantaian. Mereka berharap mendapatkan suaka dari negara lain demi keamanan dan kelangsungan hidup.
Fahrudin yang merupakan seorang pesepakbola semi-profesional akhirnya berhasil membawa pergi keluarganya. Beruntung, ayahanda Pjanic ini memperoleh tawaran dari klub sepak bola Luksemburg, Schifflange.
Sejak itu, Pjanic kecil menetap di Luksemburg. Ia bahkan menganggap negara kecil yang berbatasan langsung dengan Perancis, Jerman, dan Belgia itu sebagai tanah air keduanya.
Selamat Berkat Tangisan
Proses keluarga Pjanic menuju Luksemburg bukan perkara mudah. Fahrudin tidak bisa langsung menerima tawaran dari Schifflange karena masih terikat kontrak dengan klub Yugoslavia, FK Drina Zvornik.
Fahrudin meminta kepada manajemen FK Drina Zvornik agar klub menerbitkan dokumen yang memungkinkan dirinya ditransfer ke Schifflange. Namun, permintaan itu berkali-kali ditolak.
Hingga akhirnya, Fatima nekat menemui direksi klub FK Drina Zvornik. Sambil menggendong Pjanic kecil, istri Fahrudin ini memohon kepada jajaran petinggi klub agar mengabulkan keinginan suaminya.
Keajaiban terjadi. Samar-samar, Pjanic yang ternyata punya 'andil' dalam peristiwa itu masih mengingatnya.
"Ibu saya ingin kami pergi, tetapi pihak klub tempat ayah saya bekerja mengatakan tidak. Saya yang tidak mengerti apa-apa menangis sampai membuat sekretaris klub kesal, lalu mengatakan oke," kenang Pjanic, kepada The Guardian.
Tangisan Pjanic rupanya menjadi kunci keselamatan. Sementara Fahrudin dan keluarganya menuju Luksemburg, banyak warga etnis Bosnia di Yugoslavia tewas akibat konflik yang terus berkobar. Ribuan orang lainnya harus kehilangan harta dan rumah.
Mengikuti Jejak Sang Ayah
Kehidupan baru Pjanic dan keluarganya di Luksemburg berlangsung dengan damai dan tenang meskipun mereka harus memulai semuanya dari awal. Ayahnya bermain bola, sementara sang ibu mengurus keluarga di rumah.
"Kami mengulang dari nol dan berhasil membangun keluarga yang indah. Kami masih bersama-sama selama 27 tahun dan menjalani kehidupan yang baik di Luksemburg," ungkap Pjanic seperti dilansir The Guardian.
Soal sepak bola, Pjanic menjadikan sang ayah sebagai teladan. Posisi mereka pun sama, beroperasi dari sentral lapangan tengah. "Ia adalah seorang gelandang sederhana dengan model permainan yang simpel," sebut Pjanic tentang ayahnya.
Pjanic masuk ke akademi klub yang diperkuat sang ayah, Schifflange, saat umurnya masih 7 tahun. Talenta Pjanic ternyata diendus oleh pencari bakat dari klub Perancis, Metz.
Tahun 2004, Pjanic dibawa ke Perancis untuk bergabung dengan tim junior Metz. Ia dipromosikan ke skuad senior pada 2007.
Langsung jadi andalan di lini tengah Metz dengan tampil dalam 32 laga untuk musim 2007/2008, Pjanic diminati oleh klub yang lebih besar, Olympique Lyonnais alias Lyon.
Klub papan atas Ligue 1 itu menebus Pjanic dari Metz dengan mahar sebesar 7,5 juta euro, demikian menurut data dari laman Soccerway.
Pjanic memperkuat Lyon hingga akhir musim 2010/2011 untuk memenuhi pinangan klub ibu kota Italia, AS Roma. Giallorossi merogoh kocek 11 juta euro demi memboyongnya.
Selama 5 musim berikutnya, Pjanic menjadi gelandang berpengaruh di AS Roma. Sampai kemudian ia direkrut Juventus pada 1 Juli 2016 dengan nilai transfer yang melonjak tinggi hingga 32 juta euro.
Korban Rasial yang Toleran
Kenangan kelam masa kecil masih tergiang dalam ingatan Pjanic. Terlebih, ayah dan ibunya kerap berkisah tentang pertikaian antar etnis dan agama yang terjadi di tanah kelahiran mereka. Inilah yang membuat Pjanic tumbuh menjadi pribadi yang toleran.
Pjanic tidak pernah reaktif dalam menanggapi segala sesuatu, termasuk ujaran kebencian berbalut SARA yang ditujukan kepadanya.
Itu tampak ketika Pjanic mendapatkan perlakuan kurang patut dari sebagian suporter Brescia saat Juventus bertandang ke Stadion Mario Rigamonti dalam lanjutan Liga Italia Serie A pada 25 September 2019 silam.
Pjanic yang mencetak satu gol dan turut membawa kemenangan Bianconeri dengan skor 1-2 dalam laga tersebut dicemooh oleh segelintir tifosi tuan rumah dengan ejekan bernada rasisme yang menyinggung etnis dan agamanya.
Gelandang berusia 30 tahun ini tidak bereaksi berlebihan untuk menyikapi serangan rasial di markas Brescia itu. Mirisnya, bomber paling top di tim ini, Mario Balotelli, juga kerap mendapatkan perlakuan serupa dari suporter klub lain.
Beberapa hari setelah pertandingan itu, Pjanic melalui akun Instagram-nya yang punya lebih dari 5 juta pengikut menulis:
"Kami adalah pemain bola, kami adalah pendukung, kami punya semangat di sepak bola. Kami sangat gembira menyambut laga, demi gol dan kemenangan," cuit pemilik 92 caps bersama tim nasional Bosnia dan Herzegovina ini.
"Akan tetapi," lanjut Pjanic, "ejekan dari empat orang rasis yang datang ke stadion membuat semuanya hilang. Mari kita yakinkan itu tidak pernah terulang. Untuk seluruh tifosi [Brescia] lainnya, saya bertepuk tangan."
Penulis: Permadi Suntama
Editor: Iswara N Raditya