tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Mei 2020 berada dalam situasi tidak biasa. Nilainya turun tajam meski Ramadan dan Idulfitri atau Lebaran 2020 jatuh di bulan tersebut.
Kepala BPS Suhariyanto menyatakan rendahnya inflasi pada Ramadan dan Idulfitri ini terjadi karena adanya penurunan permintaan, turunnya pendapatan masyarakat, dan terpukul karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mau tidak mau mengurangi aktivitas masyarakat baik untuk memperoleh pendapatan maupun membelanjakannya.
“Biasanya Ramadan, Idulfitri, permintaan meningkat sehingga inflasi tinggi. Kali ini tidak terjadi karena situasi tidak biasa,” ucap Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers virtual, Selasa (2/6/2020).
BPS mencatat inflasi Ramadan dan Idulfitri yang jatuh pada Mei 2020 hanya 0,07 persen secara month to month (mtom) jauh di bawah kisaran inflasi Lebaran 2019 yang jatuh di Juni dengan angka 0,55 persen mtom.
Secara year on year (yoy) nilainya juga terpaut jauh. Pada Ramadan dan Idulfitri 2020, inflasi yoy Mei 2020 hanya 2,19 persen padahal Lebaran 2019 lalu masih di kisaran 3,28 persen yoy.
Tidak hanya itu, tren inflasi biasanya mengalami peningkatan sejak awal tahun sampai puncaknya di Lebaran. Pada 2019, tren itu terlihat dari posisi Februari yang terdeflasi 0,08 persen mtom menjadi 0,68 persen dan 0,55 persen di Mei dan Juni 2019.
Namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Inflasi mtom terus turun dari Januari 2020 yang masih di kisaran 0,39 persen menjadi 0,08 persen di April 2020. Lalu mencapai titik terendah hingga saat ini yaitu Mei 2020 di angka 0,07 persen.
Keanehan inflasi Lebaran juga terjadi pada sebagian kelompok bahan makanan. Secara umum kelompok itu mengalami deflasi, tetapi BPS mencatat mereka malah sedang gencarnya menyumbang inflasi.
Bawang merah misalnya menyumbang inflasi dengan andil 0,06 persen lantaran harganya terus merangkak naik. Daging ayam ras menyumbang andil 0,03 persen. BPS bahkan mencatat ada peningkatan kebutuhan bagi keduanya selama Ramadan 2020.
Tidak hanya itu, di saat inflasi secara umum turun, tiket penerbangan juga dicatat menyumbang inflasi cukup tinggi dengan andil 0,08 persen. Bahkan golongan pengeluaran transportasi secara umum menyumbang inflasi paling tinggi selama Mei 2020 di angka 0,87 persen dan andil 0,02 persen.
“Meski pemerintah sudah mengimbau tidak mudik, masih ada penumpang yang melakukan perjalanan,” ucap Suhariyanto.
Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar B. Hirawan mengatakan inflasi yang bertepatan dengan Ramadan dan Idulfitri idealnya lebih tinggi dari bulan-bulan lainnya. Jika diasumsikan tidak terjadi pandemi, maka inflasi di bulan suci seharusnya identik dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu 1 persen secara mtom dan 3 persen yoy.
“Memang sepertinya ada anomali dan saya kira ini erat kaitannya dengan penurunan permintaan (daya beli), khususnya penurunan konsumsi rumah tangga,” ucap Fajar saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (2/6/2020).
Fajar mengatakan penurunan daya beli masyarakat sudah terlihat sejak pertumbuhan ekonomi Q1 2020. Waktu itu konsumsi rumah tangga anjlok di angka 2,84 persen padahal biasanya di kisaran 5 persen.
Di sisi lain, kata Fajar, masyarakat yang masih memiliki uang pun tidak banyak bisa berbelanja karena pertokoan harus tutup mengikuti aturan PSBB.
Hal ini menjawab mengapa BPS mencatat kelompok pengeluaran pakaian dan alas kaki yang notabene merupakan kebutuhan Lebaran hanya mengalami inflasi 0,09 persen mtom dan hampir tidak memiliki andil inflasi sama sekali atau nyaris 0 persen.
Beda dengan Juni 2019, inflasi bahan sandang waktu itu 0,81 persen mtom dan andilnya cukup besar 0,05 persen.
Kondisi serupa juga terjadi pada kelompok bahan makanan yang mengalami deflasi pada Mei 2020 atau minus 0,49 persen dan andil minus 0,09 persen. Keadaan ini bertolak belakang dengan Juni 2019 yang waktu itu terjadi inflasi 1,63 persen dengan andil 0,38 persen.
Menurut Fajar selain faktor daya beli masyarakat, rendahnya inflasi ini juga dipengaruhi oleh bertepatannya masa panen dan ketersediaan bahan pokok yang berhasil dijaga.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mencatat penurunan daya beli juga terlihat dari komponen inflasi inti yang mengukur daya beli lewat interaksi permintaan dan penawaran.
Pada Mei 2020 ini, kata Yusuf, inflasi inti hanya mencapai 0,06 persen dan andil 0,04 persen padahal Juni 2019 lalu masih di angka 0,38 persen dengan andil 0,22 persen.
Angka ini, kata Yusuf, juga menggambarkan imbas dari turunnya pendapatan masyarakat kelas menengah bawah yang kemarin terpaksa tidak bisa berjualan maupun kejutan yang dialami sektor informal karena tiba-tiba kehilangan pendapatan.
Belum lagi ada faktor kurang tepatnya sasaran penyaluran bansos sehingga daya beli masyarakat selama Ramadan tidak terkerek sepenuhnya, kata Yusuf.
“Meskipun secarasuplai barang, berhasil dijaga dan bahan pangan tercukupi selama Ramadan, namun daya beli dan permintaan melemah,” ucap Yusuf saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (2/6/2020).
Yusuf juga punya kekhawatiran lain. Menurutnya rendahnya inflasi terutama komponen inti berpotensi terejewantahkan menjadi kontraksi lebih dalam lagi pada pertumbuhan ekonomi kuartal II (Q2) 2020 nanti.
Pasalnya indikator inflasi inti menggambarkan konsumsi rumah tangga dan swasta yang merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB. Hal ini bertolak belakang juga dengan anggapan umum kalau pertumbuhan ekonomi seharusnya bisa terdongkrak karena di salah satu bulannya jatuh pada Ramadan dan Idulfitri.
“Kami sendiri memprediksikan pertumbuhan ekonomi di Q2 2020, dengan skenario terburuk akan mengalami kontraksi hingga minus 2 persen,” ucap Yusuf.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz