Menuju konten utama

Anak Rentan COVID-19, Dampak Sekundernya "Melekat Seumur Hidup"

Anak rentan terinfeksi COVID-19. Selain itu, dampak sekundernya pun bisa memengaruhi mereka seumur hidup.

Anak Rentan COVID-19, Dampak Sekundernya
Seorang perempuan menggendong bayinya saat berbelanja di pasar tradisional Kebon Roek, Ampenan, Mataram, NTB, Kamis (28/5/2020). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/aww.

tirto.id - Andrew Pollard, profesor infeksi dan imunitas anak dari Universitas Oxford Inggris, mengatakan awalnya banyak kalangan memperkirakan "anak-anak tidak akan terinfeksi virus Corona" karena ketahanan tubuh mereka. Anggapan serupa sempat muncul pula di Indonesia.

Asumsi tersebut terbukti keliru. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut hingga 18 Mei lalu ada 584 anak terkonfirmasi positif COVID-19, 14 di antaranya meninggal. Lalu, jumlah Pasien Dalam Pengawasan (PDP) berusia anak jumlahnya mendapai 3.324, 129 di antaranya meninggal. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebut penderita COVID-19 berusia 0 sampai 17 tahun mencapai lima persen dari total kasus.

"Tidak benar kelompok usia anak tidak rentan terhadap COVID-19 atau hanya akan menderita sakit ringan saja," simpul Ketua Umum IDAI Aman B. Pulungan. Hal serupa juga dinyatakan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Maret lalu. Mereka mengatakan COVID-19 "mungkin menginfeksi orang dari semua usia."

Pada Senin 25 Mei, juru bicara penanganan COVID-19 Achmad Yurianto menyebut banyak anak-anak Indonesia tertular meski mereka tidak pernah keluar rumah karena berinteraksi dengan "orang dewasa yang mobilitasnya cukup tinggi," misalnya orang tua sendiri.

Penularan dari orang dewasa ke anak mungkin akan semakin sering terjadi di kemudian hari karena pemerintah sudah mengagendakan new normal atau kelaziman baru. Dalam new normal, masyarakat diminta hidup seperti biasa dengan memperhatikan protokol kesehatan seperti rajin mencuci tangan. Beberapa kelompok menolak gagasan ini. Mereka menganggapnya terlalu terburu-buru. New normal semestinya baru diterapkan saat kurva pandemi melandai.

Dengan pertimbangan yang sama, Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (Puskapa UI) Santi Kusumaningrum juga mengatakan tidak sepakat dengan agenda new normal atau "hidup berdampingan bersama COVID-19." "Penuhi dulu janji 10 ribu tes per hari, baru bicarakan era baru. Test, trace, itu juga dalam rangka melindungi anak. " ujarnya kepada reporter Tirto.

Toh saat ini saja menurutnya penanganan anak terdampak COVID-19 belum maksimal, bahkan untuk hal-hal mendasar seperti kelengkapan data.

Santi mengatakan pemerintah perlu memiliki data spesifik tentang: anak terdampak bila mereka adalah kakak/adik dari anak yang sakit/meninggal; anak yang ditinggalkan pengasuh yang meninggal akibat COVID-19; anak yang ditinggalkan pengasuh yang diisolasi karena status PDP; atau anak yang tinggal bersama individu atau diasuh oleh seseorang dengan status ODP. Data-data ini penting sebagai panduan untuk menyusuk rencana pendampingan dan bantuan yang tepat guna bagi anak-anak terdampak.

"Ketersediaan data yang lengkap dan dapat dipertukarkan secara aman dan bertanggung jawab bagi para peneliti adalah langkah awal memerangi virus secara efektif," katanya.

Dampaknya Seumur Hidup

Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef) menyoroti bagaimana COVID-19 tidak hanya memengaruhi kesehatan, tapi masa depan anak-anak. Unicef menyebut ini sebagai 'dampak sekunder'.

Dalam laporan berjudul COVID-19 dan Anak-Anak di Indonesia (PDF) yang dirilis pada 11 Mei lalu, Unicef menyebut jika tak segera diambil tindakan yang tepat, pandemi ini "dapat beralih menjadi krisis pemenuhan hak anak" dan dampaknya "bisa jadi melekat seumur hidup pada sebagian anak."

"Krisis kesehatan bisa menjadi krisis yang lebih luas sehingga menghambat, bahkan menimbulkan kemunduran dari kemajuan kondisi anak yang sudah dicapai Indonesia melalui kerja keras selama bertahun-tahun," kata perwakilan Unicef untuk Indonesia Debora Comini dalam keterangan tertulis.

Infografik Responsif

Infografik Responsif. tirto.id/Sabit

Laporan tersebut misalnya memaparkan dampak COVID-19 terhadap keluarga salah satunya adalah hilangnya mata pencaharian. Ketika satu keluarga kehilangan pendapatan, maka anak pun terkena dampak sistemik seperti kehilangan akses atas pendidikan dan makanan layak. Padahal, sebelum pandemi saja sembilan dari 10 anak mengalami kekurangan di sedikitnya satu aspek kesejahteraan seperti gizi, kesehatan, pendidikan, perumahan, serta air dan sanitasi.

Unicef juga menyebut setengah dari anak di Indonesia "mengalami sedikitnya dua kekurangan di luar aspek keuangan."

Potensi kekerasan terhadap anak juga meningkat, padahal sebelum pandemi pun tergolong tinggi. Unicef menyebut potensi ini, yang dampak traumatiknya bisa seumur hidup, meningkat seiring dengan pemberlakuan karantina wilayah. Hal ini sudah terjadi di negara lain, sementara di Indonesia data terkait tidak ada.

Atas semua masalah ini, Unicef mengimbau pemerintah menyadari bahwa "anak-anak adalah korban tak terlihat" yang harus ditangani dengan cara khusus.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino