tirto.id - Mesut Ozil dikenal sebagai pesepakbola muslim yang gemar berderma. Di luar lapangan, aksi gelandang Jerman berdarah Turki ini kerap menyita perhatian, salah satunya membantu anak-anak dan pengungsi di beberapa negara.
Berkat pribadi dermawan tersebut, Ozil yang baru-baru ini dikabarkan menolak pemotongan gaji oleh Arsenal sebagai dampak pandemi virus Corona (COVID-19)- didaulat menjadi duta Rays of Sunshine Britania Raya, sebuah organisasi amal untuk anak-anak di Inggris.
Pada 2014, playmaker Arsenal dan Timnas Jerman ini menyumbangkan hadiah kemenangan Piala Dunia 2014 untuk membiayai operasi 23 anak-anak Brasil. Biaya untuk operasi tersebut dilaporkan mencapai 240.000 paun. Setahun setelahnya, Ozil kembali mendanai operasi untuk 11 orang anak di negara yang sama.
Salah satu momen yang memancing perhatian publik adalah pernikahannya dengan mantan Miss Turki, Amine Gulse. Ozil memanfaatkan pernikahan ini untuk meminta donasi pembiayaan operasi 1.000 orang anak.
Lantang Suara Ozil
Di lain sisi, aktivitas luar lapangan Ozil yang menyita perhatian adalah kevokalannya dalam menyuarakan sikap politik. Hal ini tercermin dari komentarnya atas masalah Uighur dan ketika ia pensiun dari Timnas Jerman.
Sebelum Jerman tersingkir secara memalukan dari Piala Dunia 2018, Ozil dilaporkan bertemu dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Pertemuan ini dituding sejumlah pihak bermuatan politis.
Pejabat DFB (PSSI-nya Jerman) dan media negeri panser pun mengkritik Ozil terkait pertemuan itu. Presiden DFB waktu itu, Reinhard Grindel, bahkan meminta pernyataan publik dari Ozil terkait hal tersebut.
Ozil "membalas" dengan merilis pernyataan sekaligus mengumumkan pensiun dari Timnas Jerman.
Dalam pernyataannya, Ozil mengaku merasa diperlakukan tidak adil sebagai pesepakbola keturunan Turki di Jerman. Eks pemain Real Madrid ini menambahkan bahwa pertemuan dengan Erdogan sama sekali tidak terkait politik.
"Dengan berat hati dan setelah banyak pertimbangan, karena hal-hal yang terjadi belakangan ini, saya tidak akan lagi bermain untuk Jerman di tingkat international selagi saya merasakan rasisme dan sikap tidak hormat ini," tulis Ozil dikutip Goal.
Raja Assist Religius
Pada 2019 lalu, Ozil kembali bersuara. Lewat Twitter, salah satu pesepakbola berjuluk raja assist ini mengkritik dunia muslim yang "diam" terhadap represi pemerintah Cina atas minoritas Uighur.
Menurut laporan lembaga pemantau hak asasi manusia, Cina membangun kamp-kamp konsentrasi di Xinjiang untuk menahan minoritas Uighur, sesuatu yang diklaim Beijing sebagai "pusat edukasi".
"Quran dibakar. Masjid ditutup. Sekolah muslim dilarang. Cendekiawan religius dibunuh. Saudara-saudara dikirim paksa ke kamp. Muslim diam saja [terkait Uighur]. Suara mereka tidak terdengar," cuit Ozil sebagaimana dikutip DW.
Sikap politik pesepakbola berusia 31 tahun ini pun mendapat respons keras di Cina. Ozil bahkan dihapus dari game sepak bola populer, Pro Evolution Soccer (PES) 2020, di negeri tirai bambu.
"Pesepakbola Jerman Ozil mengunggah pernyataan ekstrem mengenai Cina di media sosial," demikian pernyataan NetEase, perusahaan yang merilis PES di Cina sebagaimana dikutip BBC.
Pembelaan Ozil atas minortias Uighur dibungkus dengan sentimen religius sebagai sesama muslim.
Pesepakbola yang mencatatkan 92 caps bersama Timnas Jerman ini lahir pada 15 Oktober 1988 di Gelsenkirchen. Ozil melakoni karier junior di sejumlah klub lokal sebelum memulai karier profesional bersama Schalke 04 pada 2006.
Karier Ozil mulai menanjak di Werder Bremen sebelum penampilan gemilang di Piala Dunia 2010 yang membuatnya dipinang salah satu klub terbaik dunia asal Spanyol, Real Madird.
Pada 2013, Ozil pindah dari Spanyol ke Inggris setelah direkrut Arsenal dengan biaya transfer yang dilaporkan mencapai 42,5 juta paun.
Ozil dikenal sebagai muslim taat. Dalam wawancara dengan Der Tagesspiegel, ia mengaku selalu berdoa sebelum bertanding.
"Saya berdoa di ruang ganti sebelum keluar ke lapangan. Ketika saya berdoa, teman-teman setim sudah paham bahwa mereka tidak bisa mengajak saya bicara untuk waktu singkat," ucap Ozil.
Penulis: Ikhsan Abdul Hakim
Editor: Iswara N Raditya