tirto.id - Ed Vulliamy, seorang wartawan Inggris, menulis sebuah laporan tentang Perang Bosnia: kekerasan melanda seluruh negeri; desa-desa dan kota-kota muslim bergelora; kamp-kamp konsentasi didirikan di Omarska dan Trenopolje; ribuan orang yang beretnis selain Serb dipenjarakan, dideportasi, atau dibunuh.
Para penyintas perang itu, umumnya warga sipil, tercerai-berai dan menyebar ke seantero Eropa dan Amerika Serikat, melanjutkan hidup masing-masing dengan terseok-seok. Mereka mengerti: hidup mesti jalan terus meski tak pernah sama lagi. Di Swiss, misalnya, Vulliamy pernah menghadiri pesta pernikahan anak pasangan pengungsi Bosnia.
Bosnia-Herzegovina, atau yang secara informal disebut Bosnia, adalah sebuah negara di Semenanjung Balkan, Eropa Tenggara. Wilayahnya berbatasan langsung dengan Kroasia di utara, barat, dan selatan; Serbia di timur; serta Montenegro di tenggara.
Wilayah ini sejak lama memiliki keragaman etnis dan agama. Tiga yang terbesar adalah Bosniak (etnis Bosnia yang umumnya beragama Islam), Serb (etnis Serbia), dan Kroat (etnis Kroasia). Seiring kegagalan Republik Sosialis Federal Yugoslavia, Bosnia-Herzegovina mengikuti sejak Slovenia dan Kroasia yang memisahkan diri pada tahun 1991.
Tiap-tiap etnis mempunyai wadah politik yang berkoalisi dalam pemerintah (pemenang pemilihan umum 1990) Bosnia-Herzegovina. Namun, sejak 1991, koalisi itu mulai rontok dan tiap-tiap etnis memilih memperjuangkan kepentingan masing-masing.
Sebagaimana dinyatakan Encyclopedia Britannica, ketika Komunitas Eropa—yang kelak digantikan oleh Uni Eropa—mengakui kemerdekaan Kroasia dan Slovenia pada Desember 1991, Bosnia-Herzegovina mendapat kesempatan menggelar referendum.
Namun, alih-alih memperbaiki situasi, kesempatan itu malah menambah ketegangan antarkelompok etnis. Mereka punya rencana sendiri-sendiri terkait masa depan negara tersebut. Di beberapa kawasan Bosnia-Herzegovina yang mayoritas penduduknya beretnis Serb, status Daerah Otonomi Serbia diumumkan secara manasuka.
Referendum terselenggara pada 29 Februari sampai 1 Maret 1992. Sebanyak 99,7 persen pemilih menginginkan Bosnia-Herzegovina menjadi negara berdaulat. Pemerintah Bosnia-Herzegovina mengumumkan kemerdekaan dua hari kemudian. Pada 6 April 1992, pengakuan internasional bermunculan, dan negara itu menjadi anggota PBB pada 22 Mei 1992.
Tetapi orang-orang Bosnia beretnis Serb menolak kemerdekaan tersebut. Dalam referendum, hampir tak ada orang Serb yang memberikan suara. Pasukan paramiliter Serb Bosnia menyerang kota Sarajevo, dan pasukan Serbia dari tentara Yugoslavia segera ikut campur di pihak mereka.
Kota-kota dengan populasi Bosniak yang besar seperti Zvornik, Foca dan Visegard menjadi sasaran utama gempuran pasukan gabungan tersebut. Kejadian ini umum digambarkan sebagai upaya pembersihan etnis Bosniak oleh orang-orang Serb. Sekitar enam pekan setelah serangan dimulai, pasukan penyerbu telah menguasai sekitar dua pertiga wilayah Bosnia.
Pada 1994, kaum Bosniak bergabung dengan saudara seetnis dan seiman mereka di Kroasia. Koalisi ini menjaga wilayah-wilayah yang telah diumumkan oleh PBB sebagai milik Bosnia-Herzegovina. Meski begitu, ada wilayah yang aman yang luput dari jangkauan mereka, yaitu Srebrenica.
Orang-orang Serb Bosnia telah mengincar Srebrenica sejak 1992 dan hendak menjadikannya sebagai bagian Serbia. Mereka memasuki kota tersebut pada Juli 1995. Radovan Karadzic, Presiden Republika Srpska yang merujuk pada Daerah Otonom Serbia di Bosnia-Herzegovina, merancang pelbagai teror dan kerusuhan di Srebrenica. Mereka juga memberlakukan embargo pangan dan barang-barang kebutuhan sehari-hari terhadap orang-orang Bosniak.
Puncaknya ialah pembantaian. Ribuan warga sipil Bosniak dirampok, diperkosa, dan dibunuh dalam rentang tanggal 11 hingga 22 Juli 1995. Menurut United Nations International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia, lebih dari 8.000 muslim etnis Bosnia, terutama kaum pria, dibunuh di dalam dan sekitar kota Srebrenica. Laporan Srebrenica Potocari menyatakan ada 8.373 orang yang menjadi korban genosida tersebut.
Perang Bosnia berakhir lewat perundingan di Pangkalan Udara Wright-Patterson di Dayton, Ohio, pada tangal 1 sampai 21 November 1995. Perjanjian yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Dayton itu diteken pada 14 Desember 1995 di Paris.
Selama Perang Bosnia berkobar, sekitar 100.000 orang tewas dan lebih dari 2,2 juta orang kehilangan tempat tinggal. Data Kementerian Dalam Negeri Bosnia menunjukkan bahwa ada 50 ribu (Uni Eropa dan UNHCR masing-masing menyatakan 20 ribu dan 12 ribu) wanita Bosniak yang diperkosa.
Konflik antaretnis ini menjadi isu sensitif di kalangan orang Serbia dan Bosnia. Menurut The New York Times, di Serbia, misalnya, peristiwa Srebrenica tidak diajarkan di sekolah.
"Srebrenica tidak ada dalam buku sejarah maupun budaya populer kami," kata Natasa Kandic, direktur Pusat Hukum Kemanusiaan di Beograd. "Negara ini harus mulai berhitung tentang masa lalunya."
Tokoh yang dianggap paling bersalah dalam perang brutal ini adalah Radovan Karadzic. Ia dianggap menghasut kaumnya buat memerangi orang Bosniak. Pengadilan internasional di Den Haag mendakwanya bersalah atas 11 kejahatan perang.
Pada awal 2008, International Criminal Tribunal for the former Yugoslaviamemvonis 45 orang Serbia, 12 orang Kroasia dan 4 orang Bosniak atas kejahatan perang selama Perang Bosnia.
Keputusan Boris Tadic, Presiden Serbia, untuk meminta maaf kepada seluruh korban Perang Bosnia pada 6 Desember 2004 menimbulkan pro dan kontra di negerinya sendiri. Tetapi ia bergeming. Maret 2010, parlemen Serbia menyusul: mereka mengutuk kejahatan perang terhadap penduduk Bosniak di Srebrenica pada Juli 1995. Kemudian, April 2010, giliran Presiden Kroasia, Ivo Josipovic, yang meminta maaf atas peran negaranya dalam Perang Bosnia.
Radovan “Jagal Bosnia” Karadzic telah resmi dinyatakan bersalah melakukan genosida di Srebrenica dan dijatuhi hukuman 40 tahun penjara pada 24 Maret 2016. Demikian pula Ratko Mladic, bekas panglima militer Serb Bosnia, yang hingga kini wara-wiri di pelbagai pengadilan internasional guna mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Kisah Pembantaian Srebrenica adalah memento terbesar sekaligus paling memilukan dari Perang Bosnia. Ia akan terus menjadi pengingat—baik di negara-negara Balkan maupun di tempat-tempat lain—bahwa perpecahan antaretnis ialah persoalan gawat yang dapat membikin segalanya berantakan.
Indonesia, kita tahu, mempunyai dosa sejarah yang tak kalah besar, yaitu pembantaian terhadap orang-orang (tertuduh) komunis yang ditaja negara. International People Tribunal (IPT) telah membahasnya di Den Haag pada 10-13 November 2015. Putusan sidang itu sudah keluar, namun, hingga kini pemerintah Indonesia belum menindaklanjutinya.
Tak sedikit negara yang pernah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, tetapi hanya bangsa dan pemerintahan kerdil yang membiarkan para pelakunya hidup tenang sembari berharap dosa-dosa itu bakal terlupakan seiring waktu.
Penulis: Tony Firman
Editor: Dea Anugrah