tirto.id - Menjelang dan setelah badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia dibekukan oleh Kementerian Hukum dan HAM, beredar dokumen 73 halaman yang memuat tuduhan daftar pengurus, anggota, dan simpatisan organisasi politik tersebut. Nama-nama yang tertera dalam dokumen ini dituding berprofesi sebagai pegawai pemerintah alias aparatur sipil negara, dari TNI dan Polri, akademisi (PTS dan PTN), serta "unsur lainnya."
Dokumen dengan tulis tik font Arial tersebut menyebar secara acak, tak diketahui siapa pembuat dan pembocornya. Ia juga tanpa kop institusi. Isinya adalah 1.300-an orang yang dituduh dalam kategori tersebut, yang menjangkau 34 provinsi. Ia mencantumkan alamat, pekerjaan, hubungan dengan HTI, dan nomor ponsel.
Juru bicara HTI Ismail Yusanto berkata sudah mendapatkan dokumen tersebut beberapa hari lalu. Ia menuturkan, sebagian identitas yang tercantum memang pengurus dari HTI. Namun, ia tak ingin memastikan untuk sebagian lainnya. Ismail menegaskan HTI tak pernah melakukan pendataan seperti itu.
"Kalau ini, kan, kerja intel," tuduh Ismail, Selasa lalu. "Dandim mungkin akan begini," imbuhnya.
Ia meyakini pendataan identitas dalam dokumen itu berkaitan dengan pembubaran HTI. Ia khawatir Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu Ormas) Nomor 2 Tahun 2017 "berdampak secara personal" ke pengurus maupun simpatisan HTI.
"Perppu itu bukan hanya menyasar organisasi, tapi juga menyasar orang. Nanti bisa terjadi pemidanaan terhadap orang," tuturnya, menambahkan bahwa HTI pusat telah menginstruksikan agar para pengurus menjaga keamanan dakwah, keamanan properti, dan keamanan diri.
Baca wawancara dengan Ismail Yusanto: "Kami akan Melawan" Pembubaran HTI
Saat dikonfirmasi, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berkata ia mendapatkan dokumen serupa. Namun. menurutnya, masih perlu diperiksa kembali akurasinya.
“Di Kemendagri sedang pengecekan detail dulu, ada atau tidak. Yang ASN, kan, perlu dicek dengan benar, jangan sampai jadi fitnah,” ujar Tjahjo tanpa menjelaskan dokumen itu ia dapatkan dari siapa, Minggu lalu.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo berkata pihaknya tidak mengumpulkan data identitas yang tercantum dalam dokumen tersebut. Gatot malah menganggap dokumen yang sudah beredar itu sebagai hoax.
“Enggak ada itu. Percuma kalau hoax, saya enggal mau menanggapi hoax,” katanya, Kamis kemarin.
“Mana ada saya yang mengusulkan. Ngawur,” imbuhnya.
Sementara Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan kepolisian biasa melakukan pendataan terhadap organisasi. Langkah pendataan macam ini, kata Tito, akan menjadi bagian dari "mendalami permasalahan untuk menegakkan hukum" terhadap HTI.
Meski begitu, Tito enggan menjelaskan apa pihaknya sudah melakukan pendataan tersebut.
“Itu pasti harus kami lakukan. Karena ini ormas yang sudah dibubarkan, dilarang. Pasti kami lakukan, kerjaannya polisi memang itu. Itu tugas polisi, ada bagian namanya badan intelijen,” ujar Tito, Kamis kemarin.
Tito mengatakan bahwa pola pendataan profil dan identitas yang dilakukan oleh Polri selalu secara rahasia. Tugas macam ini diserahkan kepada intelijen atau Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.
“Mereka bisa bergerak tanpa mengundang reaksi berlebihan dari publik,” ujar Tito.
Menyaring Identitas Pengikut HTI Sebelum Aksi 313
Rio, seorang aktivis HTI di Kabupaten Tanggamus, Lampung, "tidak kaget" namanya masuk dalam dokumen tersebut. Ia ingat sempat memberikan identitasnya kepada intelijen dari Polres Tanggamus saat hendak ke Jakarta.
"Mereka (Polres Tanggamus) punya data saya," katanya, Kamis kemarin.
Saat menuju ke Jakarta untuk ikuti Aksi 313 pada Maret lalu—salah satu gelombang aksi lanjutan di tengah pentas Pilkada Jakarta, Rio dan rombongannya diminta untuk memberikan identitas diri. Demo itu menuntut agar Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama yang berstatus terdakwa agar diberhentikan jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta dan dijebloskan ke penjara. Demo itu dikomandoi alumni HTI, Gatot Saptono alias Muhammad Al-Khaththath.
"Pihak kepolisian mendata aktivis-aktivis dari mubalig atau mana. Dari kepolisian juga menghubungi saya dan kemudian ketemu," tuturnya.
Maka, Rio "tak heran" jika profesinya sebagai aparatu sipil negara di salah satu pengadilan dan nomor ponselnya tercantum dalam dokumen.
Sementara Siswanto, Bendahara HTI Lampung Selatan, berkata ia menyerahkan data diri ke pihak kepolisian saat tiba di Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan.
"Semua KTP diminta. Memang diminta nomor handphone," katanya, Rabu lalu.
Siswanto mengklaim saat itu memang ada imbauan dari kepolisian untuk "mencegah orang-orang daerah" ikut demonstrasi ke Jakarta. "Kami dicegat, cuma mereka enggak enak mau melarang karena memang (pihak polisi) kawan semua," ujarnya.
Siswanto tak mengakui rincian identitasnya yang tercantum dalam dokumen. Dalam dokumen ia disebutkan bekerja sebagai PNS dan beralamat di wilayah Lampung Selatan. Tapi, katanya, beberapa hari lagi ia akan pensiun.
Dihubungi secara terpisah, Ikhsan, Pelaksana Tugas Ketua HTI Lampung Selatan, menegaskan tidak pernah melakukan pendataan anggota maupun simpatisan HTI di wilayahnya. Ia berkata bahwa pihak Komando Distrik Militer Lampung dan kepolisian pernah meminta data beberapa minggu lalu.
"Dari intelijen. Dari kesatuan Angkatan Darat, Kodim, dan Polres. Kami tidak kasih. Mereka minta anggotanya berapa, pengurusnya berapa, bagian apa," ujar Ikhsan.
Ikhsan mengatakan sebagian identitas dalam dokumen atas dirinya "salah". Profesinya bukanlah satpam, katanya. Ia memastikan alamat rumahnya dalam dokumen itu "benar".
Begitu juga Erwin, yang berkata "benar" bahwa profesinya sebagai wiraswasta di sebuah apotek. Hanya saja ia menolak dianggap sebagai koordinator HTI Lampung Selatan.
Saat dikonfirmasi, Sekretaris dan Humas Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I HTI Lampung, Hammam Abdullah, mengaku identitasnya yang tercantum dalam dokumen itu benar. Tapi ia memastikan tak pernah melakukan pendataan selain orang-orang yang tercantum dalam kepengurusan.
Sedangkan Mahyuddin kerap diundang menjadi pembicara oleh DPD II HTI Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Bahkan ia sempat menjadi salah satu orator demo HTI di Kupang.
Dalam dokumen yang beredar, Mahyuddin diidentifikasi sebagai tokoh atau penceramah. Ia membenarkan bekerja sebagai PNS. Saat ditanya apakah termasuk dalam struktur resmi HTI, Mahyuddin enggan menjawab.
"Dari pusat kami mendapat arahan untuk tidak mudah berkoordinasi dengan pihak eksternal," respons Mahyuddin, Kamis kemarin. "Situasinya lagi kritis."
Khawatir Memicu Kekerasan
Puri Kencana Putri, wakil koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengatakan "ada pihak" yang ingin memicu ledakan konflik horizontal di Indonesia dengan beredarnya dokumen pengikut HTI.
"Ada siklus kekerasan yang tampaknya sedang dirancang," ujar Puri, Selasa lalu.
Ia mendesak agar pembuat dokumen berisi profiling pengurus, anggota, dan simpatisan HTI harus segera dicari tahu. Menurutnya hal itu jadi tanggung jawab pemerintahan Jokowi guna menelusuri siapa yang memiliki kemampuan untuk mengumpulkan data itu.
"Harus dipertanggungjawabkan. Kita punya Badan Intelijen Negara. Dicari dong sumber penyebar informasi yang ngawur ini, itu tugas negara," kata Puri.
Puri berkata penyebaran dokumen pengikut HTI ini mirip dengan profiling orang-orang yang secara subjektif dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjelang pembantaian massal 1965-1966.
Begitupun dalam kasus penembakan misterius alias Petrus ketika upaya penelusuran identitas seseorang yang menjadi target operasi semakin serius.
"Negara mengakui bahwa mereka mengejar kelompok sosial tertentu. Profiling preman di mana-mana. Modus tembak di tempat kemudian dibenarkan," terangnya.
Hal serupa terjadi lagi ketika orang-orang yang dianggap dukun santet didata untuk dibunuh. Kasus ini terjadi di Banyuwangi dan beberapa wilayah di Jawa Barat.
"Modusnya juga sama. Berbasis rumor dan desas-desus. Bahkan negara membiarkan praktik mob violence," ujarnya.
KontraS mengingatkan agar Presiden Jokowi "tidak kaku" usai membubarkan HTI. Jokowi harus membangun dialog, bukan memfasilitasi kebencian terhadap HTI makin naik.
Pendapat Puri dikuatkan oleh Bedjo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965. Bedjo mengakui pada peristiwa 1965, beredar daftar nama tokoh PKI. Isinya, para pengurus dari daerah hingga pusat yang harus dibantai.
"Pada peristiwa 65, kan, sengaja (data itu) disebarkan tentara yang konon katanya didapat dari CIA. CIA juga memang punya catatan mengambil nama-nama dari koran dan sebagainya, nama itu sudah dikenal umum," ujar Bedjo, Kamis kemarin.
Bedjo menilai, data terkait pengikut HTI sengaja disebarkan guna memancing kerusuhan. Ketika kerusuhan tersebut meledak, terbukalah ruang pengambilalihan pemerintahan.
"Saya khawatir ada pihak tertentu yang ingin memunculkan chaos seperti peristiwa 65 yang terjadi huru-hara besar-besaran," tuturnya.
Asfinawati, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menganggap pola pengidentifikasian dalam dokumen tersebut memicu persekusi. Ini sudah terjadi pada pengikut Muslim Ahmadiyah dan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
“Itu bisa menjadi teror mental buat orang-orang yang namanya di situ. Itu bisa menimbulkan konflik sosial. Bayangkan, kalau ada ormas yang berlawanan ideologinya, kemudian melakukan langkah-langkah sendiri, kan berbahaya,” ujarnya Asinawati, Kamis kemarin.
- Baca: Memenjarakan Gafatar
Wahyudi Djafar, waklil direktur riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), menyoroti lemahnya peran negara dalam menjaga identitas warga negaranya. Ini terbukti dengan peristiwa terdekat saat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebarkan identitas Veronica Koman.
"Afiliasi politik itu terkait dengan kebebasan berpikir, dan itu keyakinan diri masing-masing. Dalam prinsip perlindungan data pribadi, afiliasi politik itu termasuk data sensitif yang harus dilindungi," ujar Wahyudi.
Baca:
- Mendagri Sebar e-KTP Orator yang Mengkritik Jokowi
- Wawancara Wahyudi Djafar: Perppu Ormas Tak Sejalan dengan Negara Hukum
Pola Pengawasan terhadap Aktivitas yang Kritis pada Pemerintah
Pendataan atas individu, dan afiliasi terhadap organisasi maupun latar belakang profesinya, sudah sering dilakukan oleh otoritas Indonesia. Kasus yang pernah muncul dan jadi pembicaraan internasional adalah dokumen internal militer yang memata-matai lapisan masyarakat Papua yang disederhanakan sebagai "ancaman separatisme".
Dokumen itu bocor pada 2011, memuat daftar agen intelijen di kepolisian dan militer, daftar orang yang direkrut satuan elite tempur Kopassus, dan daftar aktivis Papua. Ada kesan militer melebih-lebihkan perannya di Papua dalam pengawasan, tetapi yang mengejutkan bahwa praktik pengawasan terhadap masyarakat sipil Papua sudah tersebar luas. Militer nyaris memata-matai aktivitas sipil di Papua, dari hotel, media massa, kampus, organisasi nonpemerintah, organisasi mahasiswa, gereja, partai politik, dan DPR Papua.
Dalam satu dokumen setebal 97 halaman, misalnya, tercantum sejumlah warga sipil Papua yang jadi target kekerasan. Ia bikin kalangan gereja Papua marah karena institusinya diawasi dan dituduh sebagai "organisasi separatis."
"Dokumen Kopassus menunjukkan paranoia mendalam dari militer Indonesia di Papua yang menyingkap pandangan politik damai dianggap tindak pidana," ujar Human Rights Watch yang mengulas dokumen tersebut.
Dalam kasus dokumen HTI yang beredar yang agaknya sengaja menyembunyikan siapa pembuat dan pembocornya, polisi sudah mengatakan melarang dan mengawasi aktivitas dakwah penggiat HTI.
"Kalau dakwah, nanti akan dipantau. Kalau dakwahnya jelas-jelas anti-Pancasila, anti-NKRI, akan kami tertibkan dan amankan," katanya Irjen Setyo Wasisto, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Kamis kemarin.
Langkah pengawasan terhadap pengikut organisasi yang dilarang pemerintah, dalam kasus terbaru dan meluas, dialami oleh Gafatar pada awal tahun 2016. Mereka diusir dari Pulau Kalimantan dan sebagian pengikutnya "diamankan" dengan ditempatkan di sebuah tahanan untuk "dibina" serta pemimpinnya dipidana dengan pasal "penodaan agama".Wahyudin Djafar mengatakan bahwa beredarnya dokumen yang memuat tuduhan para pengikut HTI ini "biasanya bertujuan untuk memprovokasi publik dan menciptakan kegelisahan dan rasa saling curiga di tengah masyarakat."
"Bila melihat materinya yang sedetail itu," kata Wahyudin, "kemungkinan besar pendataan dilakukan oleh aparat negara, karena hanya mereka yang memiliki kemampuan sebesar itu."
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam