tirto.id - Masjid Al Hurriyyah Institut Pertanian Bogor (IPB) tampak lengang sore itu. Orang-orang baru saja selesai salat Asar ketika saya datang. Aula bawah masjid, yang biasa disewakan untuk kegiatan organisasi internal dan eksternal kampus, juga kosong. Hanya terlihat beberapa mahasiswa berkerudung yang duduk berkumpul sambil membaca Alquran.
Di sisi selatan masjid terdapat asrama takmir masjid Al Hurriyyah. Di seberang asrama ada sebuah gedung serbaguna, salah satu ruangannya digunakan sebagai sekretariat Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al Hurriyyah. Ruang sekretariat terkunci, tidak ada kegiatan di dalamnya.
LDK Al Hurriyyah adalah salah satu LDK yang ikut dalam Simposium Nasional (Simnas) Lembaga Dakwah Kampus 2016. Kegiatan itu menjadi perbincangan publik setelah video para mahasiswa dalam acara itu mengucap janji untuk mendirikan kekhilafahan Islam di Indonesia.
Tidak hanya LDK AL Hurriyyah yang ikut dalam kegiatan itu. Ada banyak LDK yang diundang. Salah satunya Badan Kerohanian Islam Mahasiswa IPB yang dipimpin oleh Muhammad Afifuddin Al-Fakkar, mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan IPB angkatan 2014.
Afifuddin mengatakan kegiatan semacam Simnas adalah hal biasa. Kegiatan keagamaan lain pun demikian. Para mahasiswa biasa berkegiatan dengan organisasi ekstra kampus semacam HMI, KAMMI, KMNU, dan HTI. Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus, misalnya—yang menggelar Simnas—memiliki kedekatan dengan HTI.
“Selama ini di kampus biasa aja, sebenarnya kampus cukup Islami, sampai disebut Institut Pesantren Bogor. Kegiatan keagaman dan Islam cukup banyak dan berkembang,” katanya, Kamis lalu.
Ia beberapa kali pernah ikut dalam kegiatan HTI di kampus. Sepengetahuannya, HTI cabang kampus IPB tidak memiliki banyak kegiatan. Namun ia mengakui jika dalam kegiatannya, HTI selalu secara gamblang menyebarkan ideologinya. Isu khilafah sudah bukan bahan diskusi baru. Ia pun tidak menganggapnya sebagai masalah seperti halnya pemerintah Indonesia, yang melabali HTI sebagai organisasi anti-Pancasila.
“Kalau anti-Pancasila, sebut saja melanggar sila ke berapa? Harus jelas alasannya,” katanya.
Baca:
- Pengikut HTI dalam Bayang-Bayang Pengawasan
- Beredar Dokumen Pengikut HTI Bisa Memicu Gelombang Persekusi
Cara Kerja HTI
Kedekatan HTI dengan mahasiswa terjalin sejak organisasi politik ini masuk ke Indonesia. HTI sebagai gerakan pemikiran membangun basis melalui dakwah, diskusi, dan seminar di kampus. Pola ini dilakukan sejak Hizbut Tahrir datang ke IPB pada 1983 lewat Abdurrahman Al Baghdadi.
Cara HTI mengindoktrinasi para pengikutnya di kampus dilakukan lewat dua metode. Pertama, secara langsung melalui kegiatan HTI cabang Kampus; dan kedua, membangun afiliasi dengan cara menempatkan kader mereka pada jabatan strategis di LDK kampus.
Metode langsung misalnya dengan membuat seminar dan pelatihan. Salah satunya dilakukan di Universitas Negeri Medan (Unimed), IAIN Sumatera Utara, dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara pada April 2014. Mereka menggelar Medan Ta’aruf Awal (Mental) HTI di Aula Masjid Baiturrahman, Unimed, Medan.
Cara lain dengan menyisipkan tema kegiatan beserta para pembicara ke LDK yang berafiliasi dengan HTI. Lewat diskusi terbuka, HTI menyebarkan gagasannya kepada para mahasiswa. Perlahan tapi pasti, mereka segera mendapat simpati dari mahasiswa lewat kegiatan itu.
Afiliasi HTI dengan sejumlah LDK ini diakui oleh Afifuddin. Beberapa temannya ada yang secara langsung menjadi anggota HTI dan ada juga yang berafiliasi dengan HTI seperti dirinya yang jadi simpatisan HTI.
“Tapi kita tidak hanya condong ke HTI karena ada teman yang juga berafiliasi ke Tarbiyah dan Salafi yang memiliki pandangan berbeda,” ujarnya.
Gerakan HTI berbeda dari organisasi ektra kampus lain. HTI tidak membuka pendaftaran anggota seperti halnya KAMMI dan HMI. Mereka lebih berfokus membangun kelompok kecil tetapi loyal. Karena itu, secara resmi HTI tidak memiliki anggota yang tercatat sebagaimana organisasi lain.
“Kami tidak ada rekrutmen seperti yang lain. Kami itu murni berdakwah, kegiatan kami cuma dakwah,” kata ketua DPD I HTI kota Bogor, Muhammad Irfan, yang mengenal HTI saat kuliah di kampus IPB pada 1986.
Untuk menyebarkan gagasannya, HTI tak hanya memakai pertemuan kelompok kecil atau keliling masjid. HTI juga menjalin kerjasama dengan pemerintah dan lembaga lain seperti MUI dan ormas lain.
Dalam riset "Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia", yang dirilis Kementerian Agama pada 2012, HTI di Semarang menggunakan buletin Jumat untuk menyebarkan gagasannya. Selain itu mereka selalu membuat kegiatan terbuka. Untuk menarik minat masyarakat, mereka memublikasikan acara tersebut dengan spanduk di tempat strategis dan buletin Al-Islam (hal 93-95).
Struktur HTI
Laiknya sebuah organisasi politik, HTI memiliki struktur bertingkat dari pusat ke kecamatan. Pengurus di tingkat pusat disebut Dewan Pimpinan Pusat HTI, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I untuk tingkat provinsi, DPD II untuk tingkat Kota/Kabupaten, dan Dewan Pimpinan Cabang untuk tingkat kecamatan.
Juru bicara HTI Ismail Yusanto mengatakan pada Mei lalu bahwa saat ini HTI sudah ada di 34 Provinsi dan lebih dari 300 di kabupaten/kota.
- Baca: "Kami akan Melawan Pembubaran HTI"
Selain struktur itu, HTI memiliki struktur lain yang terpisah dari kepengurusan, yakni HTI cabang kampus dan Muslimah HTI untuk organisasi perempuan. Meski terpisah, tetapi organisasi sayap ini terlibat dalam koordinasi pengurus HTI.
Dua sayap HTI ini memiliki fungsi masing-masing. HTI cabang kampus semacam kepanjangan tangan HTI untuk menjangkau mahasiswa di kampus. Sementara Muslimah HTI lebih fokus pada isu perempuan dan Islam. Meski demikian, keduanya kerap bekerjasama untuk membuat kegiatan di kampus.
Selain dua organisasi dalam komando HTI, ada pula Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan, organisasi independen yang berafiliasi secara politik dan ideologi dengan HTI. Kesamaan ideologi membuat Gema Pembebasan kerap diindentifikasi sebagai underbow HTI.
Gema Pembebasan dibentuk pada 28 Februari 2004 di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia. Struktur Gema Pembebasan dimulai dari Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah, dan Pengurus Komisariat.
Meski badan hukum HTI sudah dibekukan oleh pemerintah, tetapi kelompok kajian kecil di kampus-kampus yang menjadi cikal bakal HTI masih tetap hidup. Begitu pula dengan LDK dan Gema Pembebasan yang berafiliasi dengan HTI.
Polisi sendiri, pada 20 Juli kemarin, mengatakan larangan terhadap aktivitas dakwah HTI, termasuk para aktivisnya tidak boleh lagi menggunakan nama, lambang, bendera atau atribut HTI.
"Kalau dakwah, nanti akan dipantau. Kalau dakwahnya jelas-jelas anti-Pancasila, anti-NKRI, akan kami tertibkan dan amankan," kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam