tirto.id - “Khilafah! Khilafah! Khilafah! Khilafah! Khilafah! Khilafah! Khilafah!”
Teriakan ribuan mahasiswa IPB itu makin lantang dan cepat terdengar.
“Takbir!”
“Allahu Akbar!”
Teriakan-teriakan itu didengungkan setelah sekitar 1.500 mahasiswa Institut Pertanian Bogor mengucapkan ikrar untuk memperjuangan khilafah di Indonesia. Khilafah adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan hukum Islam.
“Dengan sepenuh jiwa, kami akan terus berjuang, tanpa lelah, untuk tegakan syariat Islam dalam naungan negara Khilafah Islamiyah, daulah Khilafah Islamiyah, sebagai solusi tuntas atas problematika Indonesia dan negeri muslim lainnya.”
Potongan peristiwa itu adalah dokumentasi video kegiatan Simposium Nasional Lembaga Dakwah Kampus yang diselenggarakan pada 25-27 Maret 2016 oleh Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus di IPB. Video itu menjadi viral akhir bulan April lalu.
Terlepas dari dampak lanjutan video, peristiwa itu menunjukkan bagaimana kelompok sektarian gampang menggaet simpatisan dari pelbagai institusi pendidikan.
Sejak awal lahir dari kampus IPB, Hizbut Tahri Indonesia lihai memanfaatkan ruang publik untuk kepentingan mereka. Dalam catatan Tirto, HTI nyaris tidak pernah absen membuat kegiatan di kampus-kampus dalam skala kecil maupun besar.
Di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, misalnya, HTI beberapa kali menyewa aula dan ruang terbuka untuk kegiatannya. HTI cabang kampus UGM ikut dalam acara yang bertajuk "Expo Gerakan" di kantor pusat Fakultas Teknik UGM, November 2012 . Di tempat lain seperti di Medan, anggota HTI dari Universitas Negeri Medan, IAIN Sumatera Utara, dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara menggunakan aula Masjid Baiturrahman untuk kegiatan "Medan Ta’aruf Awal (Mental) HTI", April 2014.
Juru bicara HTI Ismail Yusanto mengatakan ruang publik di kampus memang dipakai untuk "dakwah sekaligus pengaderan" oleh HTI. Mereka masuk ke kampus melalui kegiatan pengajian lalu merekrut anggotanya.
“Memang kita awalnya dari kampus. Saya dari kampus, dari UGM. Kampus menjadi salah satu sentral, bukan hanya Hizbut Tahrir. Bukan sesuatu yang aneh,” ujar Ismail kepada Tirto, Senin lalu.
Kampus seni seperti Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pun tak lepas dari pengaruh HTI. Pada Juni 2016 lalu, sejumlah dosen dan alumni ISI berdemonstrasi di depan kampus yang menolak keberadaan HTI di ISI karena dianggap “anti-Pancasila, tidak menghargai kebebasan akademik, dan dalam jangka panjang dapat mengancam eksistensi negara.”
Memanfaatkan Ruang Publik untuk Unjuk Massa
Selain menggunakan kampus, HTI juga kerap menggunakan ruang publik. Paling terlihat penggunaan stadion Gelora Bung Karno. Sejak 2007, HTI sudah menggunakan stadion itu untuk menggelar kegiatan akbar mereka.
Pada 2013, mereka menggelar "Muktamar Khilafah" di GBK. Pada 2015 mereka menggelar rapat dan pawai akbar di lokasi yang sama. Persertanya mencapai puluhan ribu kader HTI dari pelbagai daerah. Mereka mengusung gagasan menegakkan khilafah dan menghujat demokrasi.
Ismail mengatakan, pemakaian tempat itu tidak ada maksud lain selain dapat menampung jumlah massa lebih banyak. HTI menyewa tempat tersebut. Termasuk saat mereka hendak menyewa gedung Sudirman milik TNI AD untuk kegiatan "International Khilafah Forum 1438 H" pada 23 April lalu.
“Ini sederhana saja, karena ini kegiatan dakwah mestinya di mana saja enggak ada masalah. Selama ini kita hubungannya profesional. Balai Sudirman bayar. Di GBK kita bayar,” ujar Ismail.
Apa beda HTI dari gerakan transnasional lain seperti Tarbiyah dan Wahabi? Sila baca laporannya di SINI
Melarang Kegiatan HTI
Sejak ramai protes kegiatan HTI di ruang publik, larangan kegiatan HTI menyebar ke daerah. Di Yogyakarta, Polda DIY tidak mengizinkan pelaksanaan sejumlah acara besar yang digelar DPD HTI pada Minggu, 9 April lalu.
Surat pemberitahuan dari DPD HTI DIY ke Polda DIY menyebutkan ormas ini akan menggelar tiga kegiatan di hari itu. Ketiganya ialah masirah (pawai) Panji Rasulullah SAW bertajuk “Khilafah Kewajiban Syar'i, Jalan Kebangkitan Umat”, acara berjudul Forum Indonesia Khilafah, dan "tablig akbar".
Humas DPD HTI Daerah Istimewa Yogyakarta Yusuf Mustaqim mengatakan pelarangan acara HTI di Yogyakarta ini baru kali pertama. Sebelumnya, ormas ini bebas menggelar acara-acara besar di DIY.
“Benar kejadian tersebut adalah kejadian pertama, kami sejak dahulu taat dengan prosedur yang ada,” kata Yusuf saat dihubungi Tirto, Rabu lalu.
Kabid Humas Polda DIY AKBP Yulianto membantah pihak kepolisian pernah melarang penyelenggaraan acara HTI di Yogyakarta. “Belum pernah Polda DIY melarang acara HTI di Yogya selama ini, kalau HTI mau bikin acara apa-apa asalkan itu tidak ilegal, jelas acaranya apa, di mana, berapa orang, izinnya selalu keluar,” kata Yulianto.
Menurut Yulianto, Polda DIY tidak memberikan izin untuk acara besar HTI pada awal April 2017 sebab berisi kegiatan pawai. “Kalau itu hal ilegal, seperti pawai atau konvoi yang sekiranya membahayakan, menimbulkan kemacetan, ya kita larang,” ujar dia.
Sumber Uang HTI
Masalah izin kegiatan dan penggunaan tempat tentu hanya masalah administrasi. Pertanyaannya, dari mana sumber uang HTI untuk bisa menyewa gedung berkapasitas besar atau bahkan menyewa stadion GBK. Tarif penyewaan GBK mulai dari Rp80 juta - Rp120 juta.
Ismail mengatakan, selama ini pendanaan kegiatan HTI dari iuran anggota dan iuran kegiatan. Jumlahnya bervariasi, dari Rp50 ribu hingga Rp150 ribu, tergantung jenis kegiatannya.
Pada acara di GBK tahun 2015, HTI menghabiskan Rp2 miliar - Rp3 miliar. Uang itu didapat dari iuran peserta yang datang.
“Iuran, kok pada enggak percaya? Itu yang disebut crowdfunding. Kita beli gedung ini (kantor HTI di Tebet) juga iuran,” tandasnya.
Ismail membantah jika ada bantuan dana dari Hizbut Tahrir Internasional untuk HTI di Indonesia. “Tidak ada. Iuran. Kita kalau ada kegiatan itu bayar gedungnya. Cuma karena semua-muanya diatur sendiri, jadi simpel. Gelora Bung Karno, misalnya. Kalau orang biasa mungkin habis Rp10 miliar sampai Rp15 miliar, kita paling Rp2 miliar sampai Rp3 miliar cukup.”
Selain mengklaim tidak menerima sumbangan dari Hizbut Tahrir Internasional, HTI juga tidak menerima bantuan dana hibah dari pemerintah Indonesia.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam