tirto.id - Senin lalu, 8 Mei, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menyatakan pemerintah akan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Alasannya, pemerintah menilai HTI ancaman bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berideologi anti-Pancasila.
“Kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas,” kata Wiranto didampingi Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly.
Wacana pembubaran HTI itu berembus sejak tersebar luas sebuah video ikrar mahasiswa IPB yang meyakini pada jalan khilafah di media sosial. Video itu dokumentasi kegiatan Simposium Nasional Lembaga Dakwah Kampus oleh Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus pada 25-27 Maret 2016. Lembaga dakwah ini berafiliasi dengan HTI.
Sesudahnya dorongan untuk membubarkan HTI makin kencang. Polisi turut melakukan pelarangan terhadap kegiatan HTI di sejumlah tempat.
Polda Metro Jaya Jakarta membatalkan kegiatan diskusi HTI bertema ’’Khilafah: Kewajiban Syar’i, Jalan Kebangkitan Umat’’ di Balai Sudirman, 23 April lalu. Ormas seperti GP Ansor dari Nahdlatul Ulama, organisasi muslim terbesar di Indonesia, menolak kegiatan HTI di sejumlah tempat.
Dalam beberapa tahun terakhir, nyaris tidak ada ribut-ribut terkait aktivitas HTI. Orgaisasi masyarakat ini bahkan kerap menggelar aksi-aksi besar di daerah-daerah yang mengritik demokrasi dan menawarkan kekhilafahan sebagai solusi. Sejak 2007 hingga 2015, HTI bahkan beberapa kali memakai stadion Gelora Bung Karno sebagai lokasi pertemuan dan pawai akbar. Pada 2013, HTI pernah menggelar Muktamar Khilafah di stadion tersebut.
Aksi besar terakhir HTI adalah "aksi menolak pemimpin kafir" dalam Pilkada serentak 2017 pada 4 September 2016 di Patung Kuda, Jakarta. Ada 20 ribu kader HTI yang turun dalam aksi itu. Seruan HTI ini bersambut aksi-aksi jalanan lain berbumbu agama sesudah Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama mengutip Surat Al-Maidah ayat 51 di Pulau Pramuka, akhir September.
Ucapan Ahok itu mendapatkan pijakan kuat atas propaganda HTI bahwa seorang muslim dilarang memilih pemimpin non-muslim. Gara-gara ucapan ini Ahok diseret sebagai tersangka hingga divonis 2 tahun penjara dengan pasal karet penodaan agama.
HTI dan Pilkada Jakarta
Serangkai aksi yang menyebut diri "bela Islam" digelar di Jakarta sepanjang Oktober 2016 hingga Maret 2017. HTI terlibat dalam aksi-aksi itu, tetapi bukan sebagai aktor utama.
“Officially," ujar juru bicara HTI Ismail Yusanto, "aksi bela Islam itu digerakkan GNPF. Peran Hizbut Tahrir sebenarnya tidak besar, bahkan sangat minim di situ. Itu kita mengakui secara kelembagaan. Tapi ketika aksi memang kita ikut, all out.”
GNPF akronim untuk Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI, sebuah taktik politik dari orang-orang yang menggerakkan aksi massa di jalanan Jakarta untuk menyeret Ahok dipidanakan. Di antara mobilisator aksi tersebut adalah Bachtiar Nasir, para pemuka Front Pembela Islam seperti Rizieq Shihab dan Munarman, serta Muhammad Khaththath dari Forum Umat Islam.
(Baca: Mereka yang Bersatu dan Berseteru pada Demo 4 November)
Aksi bela Islam itu diduga punya motif politik lain, salah satunya untuk menjungkalkan Presiden Joko Widodo. Polisi sudah menangkap sejumlah orang yang diduga merencanakan makar tersebut. Jurnalis investigatif Allan Nairn, dalam laporannya, menerangkan dugaan upaya makar itu tidak hanya diprakarsai oleh kelompok Rachmawati cs yang ditangkap polisi, tetapi menjangkau koneksi politik dengan pensiunan jenderal.
Baca: Benarkah Diskusi di UBK cuma Kamuflase Persiapan Makar?
Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar
Ismail Yusanto membantah HTI terlibat dalam dugaan gerakan makar itu. “Kalau makar, sejauh yang saya ikuti, enggak pernah ada ke kita. Yang ada itu anti-Pancasila. Mengancam NKRI. Itu suatu tudingan yang absurd. Itu politis,” tegas Ismail.
Aksi jalanan itu memanaskan panggung Pilkada DKI Jakarta. Propaganda "menolak pemimpin kafir" menjangkau kampung-kampung Jakarta, menyebar lewat spanduk di masjid-masjid, khotbah salat Jumat, menolak kedatangan Ahok dan Djarot dalam lawatan kampanye, hingga menolak menyalati jenazah pendukung Ahok. Peran ini banyak dimainkan oleh FPI dan MUI.
Isu agama ini membesar dan menjadi salah satu variabel pertimbangan elektorat memilih Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
(Baca: Faktor Agama Menentukan Kemenangan Anies-Sandiaga)
“Seperti kata Anda, setelah 212 dan setelah kemenangan Anies, kami merasa ditekan. Tokoh-tokoh aksi ditangkapi,” kata Ismail, menyebut aksi 2 Desember yang dihadiri ratusan ribu massa Islam dari pelbagai daerah di Indonesia yang tumpah di jantung ibukota Jakarta.
Dokumen Berlogo TNI soal HTI
Di tengah hiruk-pikuk aksi jalanan dengan bumbu agama dalam Pilkada Jakarta, sebuah dokumen setebal 61 halaman tahun 2010 berjudul “Menghidupkan Kembali Kekhalifahan di Nusantara: Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Strategi Mobilisasi dan Dampaknya Bagi Indonesia” dengan logo TNI menyebar di dunia maya. Isinya menguliti gerakan HTI dan saran untuk pemerintah.
“… Sementara HTI bukanlah ancaman langsung kepada pemerintah Indonesia karena posisi politik non-kekerasan, tetapi visi menghidupkan kembali kekhalifahan Islam ... bertentangan langsung dengan ideologi negara Indonesia, Pancasila,” tulis dokumen itu di halaman 53.
Pada bagian akhir dokumen itu menyarankan agar HTI dibubarkan.
“Gerakannya dengan strategi mobilisasi dan kepandaiannya menggunakan isu untuk melawan pemerintah seperti isu pornografi, agama, dan gerakannya di Papua patut untuk diantisipasi dan diambil suatu langkah hukum atau langkah lainnya agar organisasi ini tidak berkembang ke arah perpecahan bangsa dan apabila membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa HTI patut dipertimbangkan untuk dibubarkan.”
Dokumen ini sudah diketahui oleh HTI sejak 2010. Namun Ismail Yusanto heran bahwa dokumen ini kembali menyebar sesudah aksi 212. Berselang beberapa lama, video ikrar mahasiswa IPB pada 2016 kembali enyebar. Ismail tambah curiga.
“Sebenarnya kita merasa bahwa kita dibidik sejak lama,” ujarnya.
Terkait menyebarnya dokumen berlogo TNI itu, Kapuspen Mabes TNI Mayor Jenderal TNI Wuryanto menyangkal jika itu adalah dokumen resmi. Menurutnya, dokumen itu hanyalah konsep yang belum disahkan. “Tidak ada dokumen seperti itu, kami sudah membaca, kajian itu belum jadi dokumen kami, baru konsep saja,” katanya. “Kalau dokumen TNI, tidak mungkin disebarkan begitu.”
Mengapa HTI?
Mengapa HTI yang jadi bidikan pertama pemerintah untuk dibubarkan?
HTI bukanlah kelompok yang membahayakan. Berdasarkan riset Tirto, HTI tidak pernah bermasalah seperti ormas Islam radikal lain. Bandingkan dengan Front Pembela Islam, Forum Umat Islam, dan Majelis Mujahidin Indonesia yang memang sudah tercatat melakukan aksi intoleransi dan kekerasan.
(Baca: Sulitnya Merontokkan Radikalisme)
Selama ini aksi jalanan HTI dan menggelar seminar di kampus-kampus dengan cara non-kekerasan. Mereka mengusung gagasan khilafah, sebuah sistem pemerintahan yang berpijak hukum Islam, dengan mengkritik sistem demokrasi yang menurutnya "sistem bernegara paling buruk di dunia."
“Kita, kan, bertanya-tanya, kalau kita salah, salahnya di mana? Dalam kasus apa? Hizbut Tahrir itu tidak punya catatan kriminal, tidak ada catatan pelanggaran. Hizbut Tahrir kan di dalam dakwahnya itu dengan prinsip non-kekerasan. Semua dakwah berjalan dengan damai, tertib, lancar, mengikuti prosedur. Saya kira polisi lebih tahu itu,” ujar Ismail Yusanto, jubir HTI.
Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, HTI menyatakan diri sebagai perkumpulan yang sifatnya non-partisan dan menolak sistem pemilu di Indonesia.
Kekuatan organisasi ini lebih terlihat pada pengaruh propaganda-propagandanya yang berwatak sektarian, yang diterima di segmen masyarakat tertentu, sehingga dianggap sebagai pintu masuk radikalisasi agama. Mereka blakblakan mengampanyekan khilafah, termasuk menolak pemimpin kafir dalam Pilkada Jakarta, sehingga menjadi sasaran yang mudah dituding sebagai organisasi intoleran, anti-demokrasi, dan anti-Pancasila.
“Ini retorika seperti yang terjadi di masa Orde Baru dulu," ujar Ismail. "Sebentar-sebentar dituding anti-Pancasila."
Menurut Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat, pembubaran HTI harus sesuai aturan yang berlaku dalam undang-undang organisasi kemasyarakatan tahun 2013.
“Kalau pemerintah punya argumen-argumen yang menurut versi pemerintah itu kuat, mestinya ditempuh prosedur yang benar sesuai dengan undang-undang yang ada,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin lalu.
Kepala Divisi Advokasi LBH Jakarta Yunita menilai pembubaran HTI telah melanggar hak warga negara untuk berkumpul dan berserikat, yang diatur konstitusi dalam Pasal 28.
“Ini berbahaya karena sewaktu-waktu bisa saja pemerintah melakukan hal yang sama dengan membubarkan ormas lain,” katanya.
Baca: Sejarah kemunculan HTI hingga "langkah hukum secara tegas" pemerintah Jokowi untuk membubarkan HTI
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam