Menuju konten utama

Mewaspadai Metamorfosis HTI di Ruang Digital

Data Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat lebih dari 5.000 konten digital sepanjang 2023-2024 yang terindikasi membawa agenda ideologis eks-HTI.

Mewaspadai Metamorfosis HTI di Ruang Digital
Header perspektif Mewaspadai Metamorfosis HTI di Ruang Digital. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 2017 silam ternyata tidak serta-merta menghentikan pergerakan organisasi ini. Yang terjadi justru sebuah metamorfosis yang lebih canggih, dari gerakan konvensional menjadi gerakan berbasis digital yang lebih sulit terdeteksi. Fenomena ini menjadi tantangan serius bagi upaya menjaga keutuhan ideologi bangsa di era disrupsi digital.

Data Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat lebih dari 5.000 konten digital sepanjang 2023-2024 yang terindikasi membawa agenda ideologis eks-HTI. Angka ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, terutama mengingat sebagian besar konten tersebut dikemas dalam format yang sangat menarik bagi generasi Z dan milenial, dengan menyasar aplikasi TikTok yang merupakan platform paling populer di kalangan anak muda. Transformasi ini membutuhkan perhatian serius dari seluruh elemen bangsa.

Transformasi Digital dan Perspektif Global

Fenomena transformasi gerakan transnasional ke ruang digital bukan hanya terjadi di Indonesia. Malaysia, misalnya, menghadapi tantangan serupa dengan Hizbut Tahrir Malaysia (HTM) yang beradaptasi pasca pembatasan aktivitas mereka pada 2017. Otoritas Malaysia menerapkan pendekatan multi-dimensi yang menggabungkan penegakan hukum dengan program deradikalisasi digital. Program "Digital Wellness" yang diluncurkan pemerintah Malaysia berhasil menurunkan 60% aktivitas propaganda ekstremis di platform media sosial dalam dua tahun implementasinya.

Di Turki, negara yang memiliki pengalaman panjang dalam menangani gerakan transnasional, pendekatan yang diterapkan lebih komprehensif. Pemerintah Turki mengembangkan sistem artificial intelligence untuk mendeteksi dan melacak jaringan propaganda digital, sambil secara paralel menjalankan program pemberdayaan ulama moderat untuk melakukan counter-narrative di platform digital. Keberhasilan model Turki ini menjadi referensi bagi banyak negara dalam menangani transformasi gerakan serupa.

Dalam pengamatan selama dua tahun terakhir, setidaknya ada tiga pola transformasi yang patut dicermati. Pertama, digitalisasi gerakan yang ditandai dengan masifnya penyebaran konten-konten bernarasi khilafah di berbagai platform media sosial. Kedua, adaptasi narasi yang lebih sophisticated dengan pendekatan yang lebih halus menggunakan isu-isu aktual, seperti ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah atau ketimpangan sosial. Ketiga, pembentukan jejaring intelektual yang berperan sebagai opinion leader di media sosial, yang kerap kali memanfaatkan retorika berbasis agama untuk menarik simpati dan melegitimasi ideologi mereka.

Membedah Transformasi Digital HTI

Dalam kajian akademis terkini, Prof. Noorhaidi Hasan dari UIN Sunan Kalijaga memberikan analisis mendalam tentang transformasi HTI. Menurutnya, metamorfosis HTI telah berkembang dari gerakan berbasis kampus menjadi gerakan digital yang memanfaatkan algoritma media sosial secara canggih. Ia menekankan bahwa pendekatan keamanan semata tidak cukup efektif, dan diperlukan pembangunan narasi tandingan yang kuat dengan melibatkan tokoh-tokoh muda yang memahami dunia digital.

Dr. Ainur Rofiq, eks-HTI, memberikan tiga pendekatan efektif dalam menangani transformasi digital HTI. Pertama, membongkar kelemahan argumentasi ideologis HTI melalui pendekatan akademis dan keagamaan. Kedua, penguatan literasi digital yang dikombinasikan dengan pemahaman keislaman moderat. Program ini telah terbukti efektif di beberapa pesantren di Jawa Timur yang bekerjasama dengan tim siber Polda setempat. Ketiga, pemberdayaan mantan anggota HTI yang telah kembali ke pangkuan NKRI untuk menjadi agen perubahan.

Dalam konteks penanganan transformasi digital HTI, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. Pengalaman dari negara-negara seperti Malaysia dan Turki menunjukkan bahwa keberhasilan program kontra-narasi digital membutuhkan kombinasi antara teknologi artificial intelligence, pemberdayaan tokoh agama, dan program deradikalisasi yang berkelanjutan. Indonesia dapat mengadopsi model serupa dengan penyesuaian terhadap konteks lokal, terutama dengan memanfaatkan kekuatan jaringan pesantren dan organisasi kepemudaan Islam moderat yang telah memiliki basis kuat di masyarakat, seperti Gerakan Pemuda Ansor di NU atau Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda (Kokam) di Muhammadiyah.

Program ini perlu didukung dengan sistem monitoring berbasis AI yang dapat mendeteksi secara dini penyebaran konten-konten bernarasi khilafah, serta pembentukan tim khusus yang terdiri dari ahli teknologi, ulama, dan mantan aktivis HTI untuk mengembangkan strategi kontra-narasi yang efektif di platform digital.

Implementasi Program dan Strategi

Implementasi strategi penanganan transformasi digital HTI dilakukan secara bertahap dalam rentang waktu tiga tahun. Pada tahun pertama (2025), fokus utama diarahkan pada pembentukan fondasi yang kuat melalui pembentukan tim gabungan deteksi dini, yang dibarengi dengan program pelatihan intensif bagi ulama dan tokoh muda dalam literasi digital. Secara paralel, pengembangan konten counter-narrative akan dimulai untuk membangun basis narasi tandingan yang kuat dan relevan.

Memasuki tahun kedua (2026), program akan ditingkatkan dengan mengimplementasikan sistem artificial intelligence untuk monitoring yang lebih efektif. Pada tahap ini, program deradikalisasi digital akan diperluas jangkauannya, dengan penekanan khusus pada penguatan jaringan eks-HTI sebagai agen perubahan di masyarakat. Keterlibatan mereka yang telah kembali ke pangkuan NKRI menjadi kunci keberhasilan program ini.

Pada tahun ketiga (2027), fokus akan diberikan pada evaluasi menyeluruh dan penyempurnaan program yang telah berjalan. Tahap ini juga akan memperkuat aspek keberlanjutan melalui pengembangan kerjasama internasional dan institusionalisasi program-program yang telah terbukti efektif. Proses institusionalisasi ini penting untuk memastikan keberlanjutan program dalam jangka panjang, terlepas dari pergantian kepemimpinan atau perubahan dinamika politik.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.