tirto.id - Reza Pankhurst, dosen di London School of Economics, adalah anggota Hizbut Tahrir (HT) London. Pada 2002 ia sempat dipenjara oleh rezim Hosni Mubarak dan mendapat siksaan berat karena menjadi bagian dari organisasi terlarang di Mesir. Sebagai upaya membebaskan Pankhurst, Amnesty International memberikannya status "Prisoner of Conscience".
Maajid Nawaz, kawan Pankhurst satu sel, memutuskan untuk keluar dari HT begitu dibebaskan dari penjara. Sekembalinya ke Inggris, Nawaz, yang kelak sempat menjadi penasihat Perdana Menteri David Cameron, mendirikan lembaga pemikiran kontra-terorisme Quilliam Foundation. Sejak itu Nawaz dan Pankhurst tak pernah lagi bicara.
Tiap Jumat, Pankhurst menjadi khatib di sebuah mesjid di London. Ia pernah berkata: “Apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menuding saya lupa bahwa saya selalu menghabiskan 10 menit (tiap berkhotbah) untuk menegaskan bahwa Islam melarang keras dan tidak membenarkan tindakan-tindakan yang menyasar orang-orang yang tak berdosa.”
Pankhurst mengaku hingga kini status keanggotannya di HT kerap kali memancing kecurigaan orang-orang di sekitarnya. Namun, stigma itu bukannya tanpa alasan. Retorika anti-Barat, anti-demokrasi, anti-sekularisme, ideologi politik kekhalifahan, serta oposisi mereka atas rezim yang sama-sama mengatasnamakan Islam, membuat Hizbut Tahrir dilarang di banyak negara. Sebaliknya, di teritori yang dikuasai ISIS, aktivis HT diburu.
“Sangat penting bagi kelompok dan perorangan yang meyakini khilafah agar memiliki program terperinci. Literatur Hizbut Tahrir, misalnya, memuat konstitusi yang rinci tentang kekhalifahan kelak, supaya khilafah tidak menjadi aspirasi samar yang gampang dimanfaatkan pihak-pihak lain,” ujar Pankhurst dalam sebuah wawancara pada 2014.
Infiltrasi Militer
Hizbut Tahrir atau Partai Pembebasan dinyatakan terlarang di banyak negara, termasuk di negara mayoritas berpenduduk muslim atau meletakkan Islam sebagai dasar konstitusi.
Arab Saudi melarang aktivitas HT dan persebaran terbitan-terbitan karangan penulis yang berafiliasi dengan HT. Misalnya buku-buku Omar Bakrie Mohammad, seorang salafi militan Suriah yang memprakarasi HT cabang Inggris dan sel-sel HT di Saudi pada 1980-an.
Beberapa pelarangan mengutip kasus keterlibatan anggota HT dalam aksi-aksi terorisme. HT memang tidak diizinkan beroperasi di sejumlah negara Barat seperti Inggris dan Australia. Itu imbas dari gelombang aksi terorisme pasca-11 September 2001. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran jika dibubarkan, HT akan bergerak di bawah tanah dan sulit dikontrol.
Di Mesir, pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser (1958-1970), HT resmi dilarang dan bergerak di bawah tanah. Pada 1974, kelompok bernama Shabab Muhammad menyerbu sekolah militer di Kairo guna melancarkan kudeta dengan membunuh Presiden Anwar Sadat. Para pelaku kudeta, yang dikabarkan diradikalisasi oleh seorang aktivis HT, mengumumkan berdirinya negara Islam di bawah kepemimpinan HT. Kudeta yang gagal itu direspons oleh otoritas Mesir dengan pemenjaraan dan hukuman mati.
Semasa pemerintahan Sadat (1970-1981), beberapa kelompok Islam terpaksa bergerak di bawah tanah. Di antaranya adalah Ikhwanul Muslimin. Namun, pada 1981, dalam sebuah parade militer, Sadat dibunuh oleh seorang letnan yang ternyata adalah anggota Jihad Islam, organisasi militan Islamis bawah tanah.
Pakistan melarang Hizbut Tahrir (HT) pada 2004 melalui proses yudisial. Setahun kemudian larangan itu dicabut, tapi lantas diberlakukan lagi pada 2012. Belakangan, pemerintah melakukan pembubaran aktivitas-aktivitas HT berikut menahan para aktivisnya secara besar-besaran.
Pakistan adalah negara tidak stabil dengan hubungan sipil dan militer yang sangat rentan. Negeri nuklir itu telah mengalami tiga kudeta militer, salah satunya didukung oleh partai Islamis (Jamaat al-Islami) yang masih bertahan hingga kini dan memiliki jejaring luas di antara kelompok-kelompok Islamis ekstremis. Pakistan juga menjadi pintu masuk para militan Islamis ke Afganistan sejak 1980-an. Sampai sekarang, sisa-sisa Taliban yang masih kuat beroperasi di daerah utara perbatasan.
(Baca: Cermin Penodaan Agama di Pakistan Hantui Indonesia)
Sama halnya di negeri jiran Pakistan, Bangladesh. HT cabang Bangladesh didirikan pada 2000 dan dilarang 9 tahun kemudian. Banyak anggota dan simpatisan HT dikabarkan bekerja di pemerintahan. Pada Januari 2012, HT dituduh terlibat dalam percobaan kudeta yang dilakukan beberapa purnawirawan dan perwira aktif.
Maret lalu, setelah HT berencana menggelar konferensi Khilafah, Turki memenjarakan ratusan aktivis dan simpatisan HT. Dalam waktu semalam, ratusan tahanan dibebaskan kecuali lima anggota HT. Kendati memelihara kelompok-kelompok Islamis sebagai basis massanya, Erdogan dan AKP memilah mana kalangan Islamis yang pro-pemerintah dan mana yang tidak. Pasca-percobaan kudeta yang gagal terhadap Erdogan tahun lalu, kelompuk Gulen yang moderat disingkirkan dari birokrasi dan kepolisian.
Baca: Buruk Erdogan, Gulen Dibelah
Selamat Datang Sultan Erdogan!
Delegitimasi Rezim
Mengapa sejumlah negara dengan pemerintahan Islam, atau partai penguasanya adalah partai Islamis, melarang Hizbut Tahrir?
Organisasi ini memperjuangkan khilafah, sebuah sistem pemerintahan politik yang meski berpihak pada hukum Islam tetapi ia melampaui batas-batas negara, bangsa, dan bahasa. Alasan terakhir itulah yang dianggap bisa menggerus legitimasi pemerintahan.
Serupa kelompok-kelompok Islamis lain, HT banyak mengadopsi jargon-jargon gerakan kiri, meneriakkan anti-kapitalisme, dan melontarkan kritik-kritik atas politik luar negeri Amerika Serikat.
Itu wajar belaka mengingat HT lahir dan besar di Timur Tengah, sebuah kawasan dengan kultur gerakan kiri berpengaruh kuat pada politik anti-kolonialisme dan nasionalisme Arab, khususnya di bawah kepemimpinan Nasser. HT selalu mengambil posisi menentang rezim Saudi yang militernya berhubungan erat dengan AS, demikian pula Turki.
Di satu sisi, HT melarang penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Namun, di sisi lain, sejumlah aksi kekerasan dan teror meninggalkan jejak perorangan (bekas) anggota HT.
Bahrun Naim, misalnya, orang yang dituduh melatari aksi bom di Sarinah pada Januari 2016, pernah bergabung di Hizbut Tahrir sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan pada ISIS.
Memanglah kekuatan HT lebih tampak pada pengaruh propaganda-propagandanya yang berwatak sektarian, yang diterima di segmen masyarakat tertentu, sehingga dianggap sebagai pintu masuk radikalisasi agama.
Seperti termuat dalam komunike Hizbut Tahrir Indonesia pada 2014 lalu, infiltrasi ideologi militer yang terjadi di Pakistan dan Bangladesh barangkali mengonfirmasi seruan khas HT kepada militer untuk mengambil alih kekuasaan dan mengawali revolusi damai.
Di Indonesia, menurut Sidney Jones dalam makalah "Sisi Gelap Reformasi", "benteng terkuat terhadap penyebaran pengaruh HTI adalah Partai keadilan Sejahtera karena mereka menyasar target dakwah yang sama, yaitu kaum elit terdidik." Indonesia juga menjadi salah satu cabang HT terbesar di dunia.
Meski pelbagai kampanyenya mengklaim minoritas akan dilindungi dalam kekhilafaan masa depan, HTI sangat tidak setuju dengan gagasan pluralisme, demikian Jones. Mereka memakai "alat advokasi masyarakat madani" sebagai sarana memperluas pengaruhnya dalam lembaga atau kelompok yang ia tempati. Tak heran, slogan mereka yang anti-kapitalisme bisa memikat kalangan terdidik seperti Siti Fadillah Supari, mantan menteri kesehatan, atau Adhyaksa Dault, mantan menteri olahraga.
Jones bahkan menulis bahwa target perekrutan HTI termasuk di lingkungan akademi pemerintah seperti Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Para anggota HTI, meski perannya cuma sebagai pendukung, terlibat pula dalam gerakan jalanan di tengah panggung Pilkada Jakarta untuk mendesak Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama dipenjara. Ismail Yusanto, jubir HTI, berkata mereka "all out" saat ikut aksi yang menyebut diri "bela Islam" itu.
(Baca: Pilkada DKI Jakarta sebagai latar Pemberangusan HTI)
Dalam salah satu diskusi dengan tajuk provokatif "Cinaisasi" di balik reklamasi Teluk Jakarta, Ismail Yusanto dan Mantan KSAL Slamet Soebijanto (2005-2007) berbicara bersama di atas panggung. Diskusi itu digelar di Gedung Joang, Jakarta Pusat, pada 29 September 2016.
Di acara itu Ismail mengatakan bahwa "demokrasi itu justru alat untuk menjajah kita. Alat untuk meneguhkan dominasi kapitalis atas negeri ini. Lalu apa alternatifnya? Kalau dalam bahasa Hizbut Tahrir, lebih lugasnya itu adalah sistem Islam."
Pernyataan Ismail ini persis sebagaimana simpulan Sidney Jones. Jika organisasi macam FPI adalah otot gerakan Islamis, maka HT adalah otaknya, yang memang memiliki agenda lebih luas dari sekadar soal-soal agama.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Fahri Salam