Menuju konten utama

Cara Negara Mengatur Ormas

Cara negara mengatur ormas selama ini cenderung otoriter. Regulasinya belum akan direvisi dalam waktu dekat meski dianggap bermasalah.

Cara Negara Mengatur Ormas
Suasana di sekitar sekretariat DPP Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan, Jakarta, Rabu (30/12/2020). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/nz

tirto.id - Bagaimana pemerintah mengatur organisasi kemasyarakatan atau organisasi massa (ormas)?

Pada masa Orde Baru, mereka melakukannya lewat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985. Aturan ini, menurut aktivis Al Araf dalam buku terbarunya yang berjudul Pembubaran Ormas: Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia 1945-2018) (2022), “tidak bisa dilepaskan dari visi politik rezim pemerintahan yang ingin melanggengkan kekuasaan.”

Aturan ini bukan hanya mengontrol masyarakat, tapi juga menghilangkan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul. Salah satu poinnya adalah pemerintah boleh membubarkan ormas yang dianggap telah mengganggu ketertiban umum.

Sekilas, tidak ada masalah dengan beleid tersebut. Namun satu poin pentingnya adalah pemerintah boleh membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan, tren yang ternyata tetap ada di era demokrasi pasca-Orde Baru.

Mekanisme yang Otoriter

Front Pembela Islam (FPI) adalah salah satu ormas yang terdampak. Sebagian orang mengenal FPI dari aksi-aksi kekerasan seperti sweeping warung di bulan Ramadan, perkelahian, dan mobilisasi massa di Pilkada Jakarta 2017 lalu.

Sejarah FPI bisa ditarik ke sebuah kelompok yang muncul pada 1998 bernama Pam Swakarsa. Kelompok beranggotakan masyarakat sipil yang dipersenjatai ini dibentuk oleh elite TNI saat itu. Tugasnya untuk menjadi massa tandingan para mahasiswa yang menolak pemerintahan B. J. Habibie dan Sidang Istimewa MPR. Dengan kata lain, pemerintah pada saat itu mengadu sipil dengan sipil.

Pada satu momen bersejarah tahun 1998, Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais, dan Ketua Umum PDI Megawati Soekarnoputri--yang saat itu sama-sama oposisi--bertemu dan sepakat mendesak pemerintah melakukan berbagai pembenahan. Beberapa tuntutan yang kemudian dinamakan Deklarasi Ciganjur itu antara lain menghapus dwifungsi ABRI dalam kurun waktu enam enam tahun dan membubarkan Pam Swakarsa.

Tuntutan yang disebutkan terakhir sepertinya setengah matang karena setelahnya, tepatnya pada 17 Agustus 1998, muncul kelompok yang dianggap sebagai salah satu hasil dari gerakan Pam Swakarsa: tidak lain adalah FPI.

Sama seperti Pam Swakarsa, pemerintah yang silih berganti pun terus didesak membubarkan FPI.

Gus Dur sebenarnya ingin FPI dibubarkan. Namun hal tersebut tak jadi dia lakukan dalam pemerintahannya yang singkat (menjabat 20 Oktober 1999–23 Juli 2001). Dalam sebuah kesempatan pada 2008 lalu, dia mengatakan alasannya adalah karena hal tersebut memang tak bisa jadi prioritas. “Prioritas saya untuk menjaga Indonesia tetap satu, tidak terurai,” kata Gus Dur, dikutip dari Detik.

Desakan membubarkan FPI kembali berbondong-bondong muncul di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketua Umum PBNU kala itu, Said Aqil Siradj, misalnya, mengaku sudah meminta langsung SBY untuk membubarkan FPI karena menganggapnya sebagai ormas radikal.

Jusuf Kalla, ketika sudah tidak berstatus wakil presiden pun, mendukung apabila SBY memutuskan membubarkan FPI. Bagi JK, semua ormas bermasalah memang sepatutnya dibubarkan.

SBY sebenarnya telah lama hendak membubarkan FPI meski tak menyebutnya secara langsung. Pada 2011, ia menyatakan bahwa penegak hukum harus mencari “jalan yang sah atau legal, jika perlu dilakukan pembubaran atau pelarangan,” terhadap “kelompok atau organisasi resmi yang selama ini terus melakukan aksi kekerasan yang tak hanya meresahkan masyarakat luas, tetapi nyata-nyata banyak menimbulkan korban.”

Tapi, kita tahu, sampai akhir masa pemerintahannya SBY tidak juga membubarkan FPI. Ketika meminta aparat melarang ormas yang melakukan kekerasan, ia justru mendapatkan tantangan dari FPI. Munarman, juru bicara FPI saat itu, mengatakan organisasinya siap menggulingkan pemerintahan SBY.

Pada masa pemerintahan Joko Widodo, tepatnya di tahun pertama ia menjabat, desakan pembubaran FPI datang dari Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ahok menganggap FPI hanya “mempermalukan Islam” (kelak, FPI akan jadi biang kekalahan BTP di Pilkada Jakarta 2017).

Menkumham Yasonna H. Laoly merespons dengan menyatakan pemerintah tidak bisa melakukan pembubaran. “Kan tidak mudah untuk sampai kepada pembubaran, kita lihat saja fakta-faktanya dulu,” kata Yasonna. Permohonan dari BTP itu pun akhirnya tergerus seiring waktu.

FPI baru benar-benar dibubarkan pada 2020. Pemerintahan Jokowi mengeluarkan peraturan tentang larangan kegiatan bahkan penggunaan simbol FPI lewat surat keputusan bersama (SKB) beberapa menteri dan lembaga terkait.

Menkopolhukam Mahfud MD membantah anggapan bahwa pemerintah membubarkan FPI. Yang terjadi sebenarnya, kata Mahfud dalam sebuah acara, adalah FPI bubar dengan sendirinya karena surat perpanjangan izin mereka tak juga keluar--karena tidak disetujui pemerintah.

Di era SBY, ormas diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2013. Aturan tersebut, kata Araf, membuat pemerintah SBY sama seperti rezim terdahulu yang “melihat masyarakat sebagai ancaman sehingga perlu dikontrol.”

Dalam UU tersebut, mekanisme pembubaran ormas bersifat ambigu. Ia memberi ruang kepada pengadilan untuk membubarkan ormas yang berbadan hukum, tapi juga membuka kesempatan pada pemerintah untuk membubarkan yang tidak berbadan hukum tanpa lewat ketukan hakim.

Di masa pemerintahan Jokowi, kontrol negara terhadap ormas masih cenderung otoriter. Araf menyatakan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 dan kemudian disahkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017 hanyalah daur ulang dari regulasi terdahulu karena menyatakan sesuatu yang sangat multitafsir: “Pembubaran ormas dapat dilakukan secara langsung oleh pemerintah dengan berbagai alasan.”

“Latar belakang dan maksud pembentukan Perppu Ormas mencerminkan visi politik negara yang otoriter, di mana pemerintah mengabaikan mekanisme hukum peradilan untuk pembubaran ormas,” catat Araf. “Meski sistem politik demokrasi, watak kekuasaannya masih kental dimensi otoriter.”

Hilangnya (Ormas) Oposisi

Dengan peraturan yang disebut di atas, pemerintah Jokowi dengan cepat membubarkan ormas lain sejenis FPI, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Pemerintah memang memberikan preambul untuk membubarkan HTI dan FPI. HTI karena dianggap sesat, sedangkan FPI karena dianggap terlalu banyak mudaratnya, termasuk karena beberapa anggotanya kedapatan mendukung kampanye-kampanye terorisme di media sosial.

Namun apa yang dilakukan pemerintah ketika membubarkan kedua ormas tersebut juga dianggap terkait erat dengan kepentingan politik praktis mereka sendiri. Faktanya baik HTI dan FPI merupakan kelompok yang menentang kepemimpinan BTP, politikus yang dekat dengan Jokowi dan pernah bersama memimpin Jakarta.

Ahmad Najib Burhani, peneliti dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, mengatakan selain atas nama persatuan dan demokrasi, HTI juga dibubarkan untuk melemahkan kelompok konservatif jelang Pilpres 2019. Kekhawatiran semacam ini, menurut sebagian pakar, tidaklah tepat. Sebab, bagaimanapun Islam moderat di Indonesia masih lebih kuat.

“Dari pandangan pemerintah, pengaturan ormas adalah upaya mengatur ramainya segala gerakan tentang agama dan demokrasi setelah Reformasi yang dianggap berlebihan,” catat Ahmad dalam tulisan berjudul The Banning of Hizbut Tahrir and the Consolidation of Democracy in Indonesia (2017).

Setelah HTI dibubarkan, Ahmad melihat ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, akan ada pendisiplinan kelompok Islam oleh negara. Kedua, potensi aksi teror menentang pemerintahan. Ketiga, kembalinya kekuasaan yang bersifat otoriter. Sebagian orang melihat poin ketigalah yang terjadi. Pemerintah dianggap semena-mena dan tebang pilih dalam membubarkan ormas.

Faktanya aksi-aksi kekerasan bukan hanya dilakukan ormas seperti FPI saja. Ormas lain juga kerap terlibat aksi jalanan dan mengancam ketenangan masyarakat tapi masih saja bertahan sampai sekarang.

Arsul Sani, yang lama berkiprah sebagai anggota Komisi III DPR--membidangi masalah hukum dan hak asasi manusia (HAM)--mengatakan bahwa DPR sudah sadar bahwa Perppu Ormas “bukanlah sesuatu yang ideal.” Dengan UU Ormas 2013, terlalu rumit bagi pemerintah untuk menjatuhkan sanksi, sementara yang sekarang, UU Ormas 2017, dianggap terlalu mempermudah pembubaran ormas.

“Tentu sebagian--anggaplah orang seperti saya--tidak ingin yang ada di Perppu itu dipertahankan terus-menerus,” kata Arsul dalam acara peluncuran buku Pembubaran Ormas, Kamis (30/3/2022). “Pada intinya saya sepakat bahwa Perppu yang sudah menjadi UU itu harus direvisi, harus diubah kembali.”

Namun, hingga sekarang, revisi UU Ormas belum masuk ke dalam Prolegnas DPR periode 2019-2024. Setelah sempat masuk dalam Prolegnas Prioritas 2019, masa depan revisi UU Ormas kembali terbengkalai.

Baca juga artikel terkait ORMAS atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino