tirto.id - Sudah dua dekade Front Pembela Islam (FPI) muncul di Indonesia dan organisasi massa ini memang sering melakukan aksi vigilantisme. FPI kerap menyasar golongan minoritas dan kelompok lain yang berseberangan dengannya.
FPI juga melakukan aksi main hukum sendiri. Pada bulan Ramadan, misalnya, anggota FPI sering merazia rumah makan yang tetap buka pada waktu pagi dan siang. Sedangkan menjelang hari raya Natal, FPI biasa mendatangi toko-toko atau pusat-pusat perbelanjaan untuk mencegah pegawai beragama Islam memakai atribut bernuansa Kristiani.
Beberapa orang tetap membela FPI dengan alasan FPI tak cuma identik dengan kekerasan. Organisasi ini juga melakukan beberapa aksi amal yang positif, misalnya membantu korban bencana alam.
Pada 30 Desember 2020, ormas yang didirikan M. Rizieq Shihab ini akhirnya dibubarkan pemerintah. Dalam pertimbangan pemerintah, banyak anggota FPI yang terlibat dalam tindak pidana kejahatan umum. Pemerintah mencatat jumlahnya mencapai 206 orang dan 100 di antaranya sudah menjalani hukuman. Sedangkan 35 orang anggota FPI dianggap terlibat dalam tindak pidana terorisme dan 29 di antaranya sudah dijatuhi hukuman.
“Pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan yang dilakukan FPI, karena FPI tidak lagi mempunyai legal standing sebagai ormas maupun organisasi biasa,” ucap Menkopolhukam Mahfud M.D. di kantor Kemenko Polhukam, Rabu (30/12/2020).
Korban Perppu Ormas
Ini adalah kali kedua pemerintah membubarkan organisasi masyarakat tanpa melewati pengadilan. Normalnya, mekanisme pembubaran organisasi dilakukan mengikuti aturan yang ada di Undang-undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Pemerintah pusat atau daerah juga punya beberapa tingkatan teguran. Pertama, misalnya, berupa peringatan tertulis satu, dua, dan tiga. Kemudian ada penghentian bantuan dana hibah dari pemerintah. Lalu pembatasan kegiatan secara sementara. Baru yang terakhir adalah pencabutan status badan hukum.
Langkah terakhir bisa dilakukan dengan permintaan tertulis dari Kementerian Hukum dan HAM ke pengadilan negeri setempat. Bukti sanksi administratif sebelumnya juga sudah harus dilampirkan.
Namun dengan adanya Perppu Ormas Nomor 2 tahun 2017, tata cara ini menjadi tidak berlaku.
Beni Kurniawan, peneliti ilmu hukum, mencatat dalam Pasal 62 ayat (2) Perppu Ormas, Menteri Hukum dan HAM mendapat hak untuk mencabut status badan hukum ormas. Dalam keterangan selanjutnya di Pasal 82, pencabutan itu berarti pembubaran ormas.
“Ketentuan tersebut menunjukkan, bahwa Pemerintah mengambil alih semua kewenangan dalam pembubaran Ormas. Akibatnya bisa jadi pembubaran suatu organisasi hanya berdasarkan keputusan politik pemerintah yang sangat bergantung pada kepentingan-kepentingan parsial pemerintah dan pertimbangan-pertimbangan politik semata,” catat Beni dalam makalah berjudul Konstitusionalitas Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas Ditinjau dari UUD 1945 (2018, PDF).
Bagi Beni, wewenang pembubaran ormas yang terpusat kepada kekuasaan eksekutif akan “melahirkan negara kekuasaan, bukan negara hukum.” Memang, ormas yang dibubarkan dapat menggugat ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN), tapi Beni memandang mekanisme tersebut “tidak mencegah pemerintah untuk membubarkan ormas secara sepihak.”
“Hal ini dapat memberikan implikasi negatif terhadap iklim kemerdekaan berserikat dan berkumpul di Indonesia. Selain itu mengenai Perppu tentunya tergantung kebutuhan yang dihadapi dalam praktik (the actual legal necessity),” catatnya.
FPI sejak dulu sebenarnya sudah tidak sreg dengan adanya Perppu ini. Ketika HTI akan dibubarkan dan pemerintah hendak menerbitkan Perppu Ormas, FPI adalah salah satu yang paling depan menolak. Slamet Maarif yang waktu itu menjadi Juru Bicara FPI khawatir, Perppu nomor 2 tahun 2017 nantinya akan digunakan menjerat ormas Islam. Tiga tahun berselang, ketakutan Maarif jadi kenyataan.
"Ini sangat membahayakan sistem demokrasi yang sedang dibangun dan bisa melanggar UUD tentang kebebasan berkumpul dan berpendapat," kata Maarif saat itu seperti dilansir Merdeka.
Sulit Jika Hanya Ganti Nama
"Kalau FPI dibubarkan, kami akan bikin lagi Front Penegak Islam," kata Rizieq Shihab di sela diskusi "FPI-FBR Versus LSM Komprador" di Wisma Dharmala, Jakarta.
Pernyataan itu bukan dikeluarkan pada 2016, 2019, atau 2020. Persiapan membentuk organisasi massa baru jika Front Pembela Islam (FPI) dibubarkan sudah ada di kepala Rizieq sejak 14 tahun silam, tepatnya tahun 2006. Di tahun itu, desakan pembubaran FPI memang sudah mengemuka.
Pembubaran FPI benar-benar terlaksana di pengujung 2020. FPI resmi dilarang beraktivitas di Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) enam pejabat, yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Pengacara FPI Sugito Atmo Prawiro mengatakan langkah pertama yang diambil adalah menggugat pemerintah ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN). Untuk wacana pergantian nama, Sugito belum bisa memastikan.
“Nanti kami diskusikan,” ucap Sugito di Markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat, Rabu (30/12/2020).
Mengganti nama memang tidak semudah itu dilakukan. Berkaca dari pengalaman ormas terlarang sebelumnya, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang dibubarkan pemerintah pada 2017 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Ormas nomor 2 tahun 2017, berganti nama tidak membikin organisasi itu boleh beraktivitas di Indonesia.
Dalam konteks pembubaran HTI, yang dilarang adalah ideologi anti-Pancasila yang dianggap dilanggengkan oleh HTI. Pada AD/ART HTI, mereka sudah mencantumkan dasar ideologi adalah Pancasila, tapi menurut pemerintah, HTI mengingkarinya.
"Kalau mereka bikin lagi dengan nama lain, kembali lagi (wajib) pakai anggaran dasar Pancasila, tidak apa, karena kebebasan berkumpul dan berorganisasi itu tetap dijaga. Tapi jika nanti mereka melakukan kegiatan yang sama (menyebarkan ajaran anti-Pancasila), itu harus dibubarkan lagi," kata Daulat P. Silitonga, Direktur Perdata pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM.
Salah satu poin alasan pembubaran FPI juga sama. Di dalamnya menyebutkan ada pelanggaran dalam anggaran dasar FPI yang bertentangan dengan UU Ormas. Dari dulu FPI memang tidak mencantumkan Pancasila sebagai asas organisasi mereka, tapi ajaran Islam. Jika pada akhirnya FPI mengganti nama, mereka juga harus mengubah AD/ART.
Sedangkan dasar lain yang dipakai pemerintah, ormas harus mengantongi Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Karena SKT FPI sudah berakhir pada 2019, pemerintah menganggap secara de jure FPI sudah bubar. Oleh sebab itu, untuk mendirikan FPI yang berganti nama, sisa-sisa ormas FPI juga harus mendaftarkan diri ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
"Semua ada aturan-aturan sebenarnya, apabila jenis apa FPI baru dan sebagainya itu kalau dia ingin menjadi suatu ormas seharusnya mengikuti aturan-aturan yang berlaku," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono kepada wartawan, Selasa (5/1/2020).
Pergantian nama akhirnya dilakukan sejalan dengan gugatan ke pengadilan. Setelah pembubaran oleh pemerintah, kelompok yang menamakan diri Front Persatuan Islam muncul dengan klaim “melanjutkan perjuangan membela agama, bangsa, dan negara, sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945” menggantikan FPI.
Orang-orang di dalamnya antara lain Ahmad Shabri Lubis dan Munarman. Hanya sekitar seminggu kemudian, nama baru itu berubah lagi menjadi Front Persaudaraan Islam.
Nama adalah satu hal, pekerjaan rumah lain seperti pembenahan AD/ART menanti "FPI baru" ketika harus mendaftarkan diri ke Kemendagri. Jika izin tidak didapat, betapapun FPI berganti nama, ia akan rentan dibubarkan pemerintah kapan saja dengan alasan serupa.
Editor: Ivan Aulia Ahsan