tirto.id - Soeharto punya dua junior di Angkatan Darat yang sama-sama pernah belajar di Akademi Hukum Militer angkatan pertama. Keduanya bernama Sutjipto. Mereka bersih dari G30S dan berkarier di militer hingga jadi jenderal. Yang satu berdinas di Mahkamah Militer, dan satu lagi di Komando Operasi Tinggi (KOTI).
Sutjipto yang aktif di KOTI, menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Angkatan Darat (1988:412), menjabat sebagai Ketua Gabungan 5/Politik, Ekonomi dan Sosial KOTI sejak Mei 1963. Pada 1965 pangkatnya sudah Brigadir Jenderal.
Setelah Letnan Jenderal Ahmad Yani terbunuh dalam peristiwa G30S, Mayor Jenderal Soeharto dianggap sebagai orang terkuat di Angkatan Darat. Maklum, ia adalah Pangkostrad yang mempunyai pasukan pemukul yang besar dan tersebar di sejumlah daerah. Soeharto bahkan menghalau G30S sejak hari-hari pertama.
Nmaun menurut John Rossa Dalih Pembunuhan Massal (2008:92), Soeharto “tak serta-merta menuduh PKI sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap G30S. Adalah para perwira bawahannya yang memobilisasi sejumlah pimpinan politik anti-PKI untuk melancarkan tuduhan."
Bagi para junior Soeharto yang telah menjadi jenderal di Angkatan Darat, PKI adalah musuh besar yang harus dibasmi. Sutjipto, disebut Rossa, sehari setelah G30S meletus dan gagal, segera memobilisasi para pemimpin kelompok anti-komunis.
Pada 2 Oktober 1965, Sutjipto mengadakan rapat dengan para pemimpin sipil di kantornya, di Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Seperti diceritakan OG Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1976:48), Sutjipto memimpin rapat serta memberikan informasi dan pengarahan atas situasi politik yang memanas. Rapat tersebut kemudian merencanakan pembentukan sebuah organisasi sipil untuk mengganyang PKI, yang bernama Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP Gestapu).
Lusanya, 4 Oktober 1965, sebuah rapat umum diadakan di Taman Sunda Kelapa, Menteng. Dalam rapat umum ini, peserta rapat ada yang membawa spanduk bertuliskan "G30S adalah Madiun Kedua dan Ganyang PKI dalang G30S". Pembicara dalam rapat umum adalah Subhan ZE dan Yahya Ubaid dari Nahdlatul Ulama, Teja Mulya dari Partai Katolik, Syech Marhaban dari Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Projokusumo dari Muhammadiyah. Setelah 1966, taman yang menjadi tempat rapat umum pembubaran PKI itu menjadi Masjid Sunda Kelapa.
“Dua hari sebelumnya, nama yang digunakan masih KAP Gestapu, yang kemudian diganti menjadi KAP Gestapu/PKI, dan di kemudian hari berubah lagi menjadi Front Pancasila,” tulis JB Sudarmanto dalam Tengara Orde Baru: Kisah Harry Tjan Silalahi (2004:115).
Brigadir Jenderal Alamsjah Ratu Prawiranegara dalam H. ARPN: Perjalanan Hidup Anak Yatim Piatu (1995:159) mengaku dirinya dan Sutjipto—yang dipercaya Mayor Jenderal Basuki Rahmat—telah memantau perkembangan situasi pasca G30S. Keduanya menyempatkan diri bertandang ke asrama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan golongan mahasiswa atau kelompok lain yang berpotensi melawan komunis.
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, seperti disebut John Rossa dalam Dalih Pembunuhan Massal (2008:276), memberikan banyak bantuan kepada KAP Gestapu. Menurutnya, pada awal Desember 1965, Duta Besar Marshal Green memberikan uang sebesar Rp50 juta lewat Adam Malik. Angka yang tidak kecil untuk masa itu. Uang tersebut bisa membiayai demonstrasi-demonstrasi dan aksi represif terhadap PKI. Dengan dana itu, KAP Gestapu tidak sulit memasok logistik dalam aksi-aksi demonstrasi.
KAP Gestapu--yang merupakan tulang punggung Angkatan 66--bersama Angkatan Darat bahu-membahu melakukan pembersihan terhadap anggota dan simpatisan PKI. Kursi-kursi kosong di pemerintahan bekas para pesakitan politik itu kemudian diisi oleh para eksponen Angkatan 66.
KAP Gestapu mirip dengan Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pam Swakarsa) pada era Reformasi. Keduanya dibidani oleh jenderal Angkatan Darat. Jika KAP Gestapu terkait dengan Sutjipto, maka Pam Swakarsa terkait dengan Kivlan Zen dan Wiranto.
Dalam Konflik dan Integrasi TNI AD (2004:72), Kivlan Zen mengaku pernah diarahkan Jenderal Wiranto untuk mengerahkan massa yang kemudian dikenal sebagai Pam Swakarsa.
“Nah, sekarang kamu kerahkan lagi pendukung SI (Sidang Umum). Ini juga [adalah] perintah dari Presiden Habibie,” ungkapnya.
Jenderal yang dekat dengan Prabowo Subianto ini diarahkan untuk mencari uang lewat Setiawan Djodi dan staf Habibie. Sementara Wiranto merangkul kelompok Islam, dan akhirnya muncul komitmen pengerahan 30 ribu massa untuk mendukung sidang istimewa MPR.
Aksi Pam Swakarsa ala Wiranto dan Kivlan Zen tak berjaya seperti KAP Gestapu tiga dekade sebelumnya. Karier Kivlan Zen di militer berangsur mundur. Sementara Wiranto masuk dalam kabinet yang dipimpin Abdurahman Wahid (Gus Dur) sebagai Menteri Koordinator Politik Keamanan (Menkopolkam).
Puluhan tahun sebelumnya, nasib Sutjipto sebagai jenderal dibalik KAP Gestapu, lumayan mujur seiring melemahnya Sukarno dan digantikan oleh Soeharto. Ia yang pangkat terakhirnya Mayor Jenderal itu pernah menjadi Menteri Pertanian dari 25 Juli 1966 hingga 6 Januari 1968. Belakangan, Sutjipto pernah menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Editor: Irfan Teguh