Menuju konten utama

Kivlan Zen vs Wiranto: Perang Buka Kartu Jenderal Orde Baru

Wiranto dan Kivlan Zen sedang berseteru. Keretakan hubungan keduanya sudah ada sejak mereka sebagai perwira aktif di TNI.

Kivlan Zen vs Wiranto: Perang Buka Kartu Jenderal Orde Baru
Ilustrasi Wiranto VS Kuvlan Zen. tirto.id/Fuad

tirto.id - Usia Kivlan Zen memang beberapa bulan lebih tua dari Wiranto. Namun, Wiranto lebih dulu menginjakkan kaki di Lembah Tidar sebagai taruna Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah.

Pada 1968, Wiranto lulus dari akademi dan menyandang pangkat Letnan Dua. Saat Wiranto keluar, Kivlan belum lama di Lembah Tidar, sebagai taruna baru, setelah bertahun-tahun jadi mahasiswa kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara, ia juga merangkap aktivis HMI yang musuh PKI.

“Ada nama saya. Di kantor PKI di Medan,” kata Kivlan mengenang masa lalunya, yang penuh ketakutan kepada PKI.

Kivlan baru lulus dari akademi pada 1971. Ia harus menjalani penugasan perdana di Papua, di Batalyon Infanteri 753/ Agra Vira Tama di KODAM Cendrawasih. Sedangkan, Wiranto dinas pertama di Gorontalo pada Batalyon Infanteri 712/Satyatama dan Batalyon 713/Wiratama di KODAM Merdeka.

Setelah bertahun-tahun di wilayah dinasnya masing-masing, pada 1980-an keduanya ditugaskan ke Pulau Jawa, di Kostrad. Wiranto dan Kivlan dalam satu naungan kesatuan elite TNI baret hijau.

Namun, pada pertengahan 1980an, Kivlan dengan Wiranto mulai tidak cocok. Menurut Kivlan Zen, dalam buku Konflik dan Integrasi TNI AD (2004:72), “Wiranto menggagalkan Letnan Kolonel Kivlan Zen menjadi komandan batalyon pada 1985.”

Waktu itu Kivlan siswa kursus komandan batalyon dan Wiranto Komandan Sekolah Komandan Batalyon di Pusat Kesenjataan Infanteri (Pusenif) di Bandung. Pangkat Wiranto kala itu seharusnya sudah Kolonel. Kivlan punya jasa terhadap Wiranto, karena berkat dirinya dan Prabowo Subianto, Wiranto diusulkan namanya menjadi calon ajudan presiden.

“Atas pengangkatan itu, Wiranto mengucapkan terima kasih kepada Kivlan Zen di kantornya di Merdeka Timur,” klaim Kivlan (2004:72).

Ihwal jabatan ajudan presiden, Wiranto dalam buku Pak Harto The Untold Story (2012:580-581), mengaku Soeharto sempat menyampaikan hal kepadanya saat kali pertama melapor “tiga tahun adalah waktu yang tidak lama. Selama itu kamu akan mendapatkan pendidikan yang tidak pernah kamu dapatkan sebelumnya, karena kamu boleh membaca surat-surat saya sebagai presiden RI, bisa mendengar ucapan-ucapan saya, mendampingi saya menerima tamu-tamu negara,” kata Soeharto seolah sedang melakukan pengkaderan kepada Wiranto. Sementara itu, Kivlan tidak pernah mendapatkan kesempatan "emas" semacam itu.

Perjalanan karier Wiranto mirip dengan Try Sutrisno. Wiranto sempat menjadi Kepala Staf KODAM Jakarta Raya (Jaya), Panglima KODAM Jaya, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan akhirnya Panglima ABRI. Bedanya, Wiranto tak pernah jadi wakil presiden seperti Try Sutrisno. Wiranto jadi Panglima ABRI di bulan-bulan terakhir kekuasaan Soeharto.

“Pada 16 Februari 1998, saya mendapat kepercayaan dari Negara sebagai Panglima ABRI. Sebulan kemudian saya masuk dalam kabinet sebagai Menhankam (Menteri Pertahanan Keamanan),” kata Wiranto dalam Bersaksi Di Tengah Badai (2003:4).

Wiranto jadi orang paling bertanggungjawab atas keamanan, terutama wilayah Jakarta sebagai ibu kota. Di masa-masa turunnya Soeharto ini, gesekan antara Kivlan Zen dengan Wiranto jadi makin keras.

Saat kondisi genting terjadi pada rezim Orde Baru, Wiranto dianggap Kivlan telah melakukan dua kesalahan yang cukup fatal. Wiranto “tidak menggunakan pasukan cadangan dan meninggalkan tempat dalam keadaan gawat,” kata Kivlan dalam bukunya Konflik dan Integrasi TNI AD. Menurut Kivlan, “bila keduanya dilakukan maka akan dapat menghentikan kerusuhan dengan cepat.”

Di masa genting itu, Kivlan bersama Prabowo adalah pemimpin pasukan cadangan yang dikenal sebagai Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Letnan Jenderal Prabowo Subianto sebagai panglima Kostrad dan Mayor Jenderal Kivlan Zen adalah sebagai kepala staf Kostrad. Kepergian Wiranto ke Malang saat kondisi genting telah menjadi bahan serangan bagi Kivlan untuk menyalahkan Wiranto soal kondisi Jakarta yang kacau jelang lengsernya Soeharto pada Mei 1998.

Setelah kejadian itu, Prabowo Subianto sebagai Panglima Kostrad dicopot oleh Presiden Habibie pada 22 Mei 1998. Kivlan pun juga ikut dicopot sebagai Kepala Staf Kostrad. Prabowo kemudian ditendang dari militer karena masalah penculikan aktivis, hingga Pangkatnya mentok di Letnan Jenderal dan Kivlan di Mayor Jenderal.

Kivlan hanya “diparkir” di Markas Besar Angkatan Darat sebagai perwira tinggi. Tanpa jabatan berarti. Karier Kivlan terakhir jadi Koordinator Staf Ahli (Koorsahli).

Kivlan mengklaim dirinya saat masih menjabat Kepala Staf Kostrad mampu merebut gedung MPR pada 22 Mei 1998 dari aksi massa. Dari pengalaman itu, ia mengaku kembali dipanggil oleh Wiranto yang sedang butuh solusi demi kelancaran Sidang Isitimewa (SI) pada November 1998.

“Kiv, kok orang anti SI (sidang Istimewa) semua. Saya dengar kamu bisa mengalahkan massa untuk masuk di (Gedung) MPR. Nah, sekarang kamu kerahkan lagi mendukung SI. Ini juga (adalah) perintah dari Presiden Habibie,” kata Wiranto yang kala itu menjabat sebagai panglima TNI.

“Dulu Bapak copot saya, saya sudah tidak punya jabatan sekarang. Mengapa saya dipanggil?” tanya Kivlan yang masih kecewa dengan Wiranto.

“Ah itu kan kehendak (Mayor Jenderal) Djamari Chaniago. Sudahlah, kamu kerahkan massa lagi, nanti saya kasih jabatan kalau selesai,” kata Wiranto pada Kivlan

Infografik Wiranto vs Kivlan Zen

Infografik Wiranto vs Kivlan Zen

Obrolan Wiranto dan Kivlan itu terjadi pada pertemuan selama 15 menit pada 4 November 1998. Menurut Kivlan Zen (2004:95). Saat itu, Wiranto memberi arahan pada Kivlan, kemana harus mencari dana. Kivlan diarahkan bertemu musisi pengusaha Setiawan Djodi dan juga Staf BJ Habibie. Sore itu Kivlan langung bertemu Djodi dan dapat sumbangan.

“Jenderal Wiranto dianggap tidak senang dengan kalangan Islam dan lebih dekat dengan Benny Moerdani,” kata Kivlan (2004:85).

Namun, pada malam yang sama, Wiranto bergandeng tangan dengan pimpinan ormas Islam dan pondok pesantren di Jalan Ampera. Pertemuan itu melahirkan komitmen soal pengerahan 30.000 massa. Di antara massa itu berasal juga dari luar Jakarta. Saat itu organisasi massa itu belum disebut Pam Swakarsa. Istilah Pam Swakarsa berasal dari Kapolda DKI Jakarta, Nugroho Jayusman.

Setelah Sidang Istimewa berjalan, Wiranto tetap jadi Panglima TNI/ABRI hingga 1999, sementara itu karier Kivlan Zen suram.

Saat ini Wiranto dan Kivlan masih terdengar namanya di dunia politik Indonesia. Wiranto kini bersama Partai Hanura berada dalam barisan petahana, sementara itu Kivlan Zen berada dalam satu barisan bersama junior yang pernah jadi atasannya, Prabowo Subianto yang juga ketua umum Partai Gerindra sekaligus capres pada Pilpres 2019.

Kini, hubungan mereka berdua tak bisa dibilang baik-baik saja. Wiranto yang terlihat kalem menantang Kivlan untuk Sumpah Pocong setelah mendapat tudingan dari Kivlan soal dalang kerusuhan 1998. Wiranto merespons, dan sempat mengungkit masa lalunya bersama Kivlan, ia membongkar aib Kivlan yang diklaim Wiranto sering meminta uang kepada Wiranto.

Apakah saling buka kartu kedua jenderal ini bakal berlanjut?

Baca juga artikel terkait ORDE BARU atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra