tirto.id - Pada Selasa, 1 November 2016, beberapa orang yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pendukung Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI), inisiator demo 4 November, berkumpul di Grand Hotel Sahid Jaya, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Mereka adalah Rizieq Syihab, Bachtiar Nasir, Misbahul Anam, Muhammad Zaitun, serta Munarman.
Selain mereka, sejumlah tokoh masyarakat lainnya ikut hadir dalam acara konsolidasi sekaligus keterangan pers tentang demo 4 November. Mereka antara lain Rachmawati Soekarnoputri, Ratna Sarumpaet, Fahira Idris, Rita Subagio, Abu Jibril, dan Muhammad Al Khaththoh.
Abu Jibril tercatat sebagai pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), sementara Khaththoh merupakan Sekjen Forum Umat Islam (FUI). Mereka satu suara terkait aksi 4 November. Pada intinya, Aksi Bela Islam II ditujukan sebagai bentuk protes atas lambannya proses hukum dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama.
Bachtiar Nasir, Ketua GNPF MUI mengatakan, aksi demo 4 November dipicu ucapan Ahok yang mengutip Surat Al-Maidah ayat 51. “Ini Al Maidah 51 trigger dari pendahuluan yang sudah meresahkan banyak orang. Sehingga ketika ada Al Maidah 51, jadi satulah semua,” ujarnya.
“Kita coba mengambil inisiatif untuk menjadi problemsolver. Akhirnya beginilah jadinya. Ini semuanya tidak kami inginkan awalnya,” imbuhnya.
Para tokoh yang hadir dikenal sebagai “para pengkritik Ahok”. Rizieq Ketua FPI, Ahmad Dhani, dan Ratna Sarumpaet adalah tiga nama yang dianggap paling vokal mengkritik Ahok.
Selain tiga tokoh itu, kemunculan elite ormas Islam seperti FUI, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan MMI sebenarnya juga bukan hal baru dalam gerakan massa di Indonesia. FUI misalnya, kerap terlibat dalam gabungan ormas Islam di berbagai aksi.
Dalam setiap aksi, FUI biasanya muncul bersama MMI, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Dewan Dakwah Islam (DDI), HTI, Lembaga Dakwah Kampus (LDK), FBR, KISDI, atau Persaudaraan Muslim Indonesia. Selain itu, ada juga LPPI, PERTI, Al-Ijtihadiyah, serta Hidayatullah. Juga partai politik seperti PPP, PBB, PKS, dan PBR.
Sikap NU dan Muhammadiyah
Dari sekian banyak ormas Islam yang tergabung dalam GNPF-MUI, massa FPI, MMI dan HTI bisa dibilang paling dominan menjadi peserta demo 4 November. Mereka lahir dengan latar belakang berbeda. FPI terlahir untuk mengimbangi gerakan mahasiswa yang marak setelah rezim Orde Baru tumbang. Sementara HTI lahir untuk mendirikan kekhalifahan Islam. Sedangkan MMI lahir dengan tujuan mendirikan negara Islam di Indonesia.
M. Imdadun Rahmat dalam Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia (2005) menyebut kehadiran ormas-ormas berbasis Islam muncul setelah Orde Baru tumbang. Mereka muncul sebagai wajah baru dari wajah ormas Islam lama seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Dampaknya, wajah baru ini hampir selalu berbenturan sikap dengan NU dan Muhammadiyah, termasuk dalam kasus dugaan penistaan agama yang dituding dilakukan oleh Ahok. NU dan Muhammadiyah yang selama ini hampir selalu sejalan dengan pemerintah, memilih untuk tak mengimbau warganya mengikuti demo 4 November.
Pada 1 November 2016, elite NU dan Muhammdiyah justru hadir memenuhi undangan Presiden Jokowi di Istana Negara. Setelah pertemuan itu, baik NU maupun Muhammadiyah tidak menyarankan jemaahnya ikut demonstrasi. Namun, mereka juga tak melarang. Pimpinan dua organisasi itu, KH Said Aqil Siraj dan Haedar Nasir mengatakan, warganya boleh ikut berdemonstrasi dengan syarat tak menggunakan atribut resmi NU atau Muhammadiyah.
Kontestasi Masjid hingga Parlemen
Bukan hal baru jika NU dan Muhammadiyah berseberangan dengan beberapa ormas Islam yang ikut aksi demo 4 November. Tokoh dua ormas Islam terbesar di Indonesia ini tercatat sering "bentrok" dengan tokoh ormas dari MMI atau HTI. Gesekan bahkan terjadi di masjid-masjid kampus.
Berdirinya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) menjadi awal lahirnya sejumlah gerakan Islam politik baru yang bermula di masjid-masjid kampus. Sebagai balas budi terhadap jasa Natsir memuluskan langkah Orde Baru menggulingkan Orde Lama, Soeharto mengabulkan permintaan Natsir membangun sejumlah masjid di kampus-kampus negeri.
Di masjid-masjid kampus digelar latihan dan kaderisasi politik bagi mahasiswa yang tergabung dalam organisasi ekstra dan intra. Latihan Mujahid Dakwah (LMD) langsung dilakukan di bawah pembinaan M. Natsir dan para pengurus periode pertama DDII.
“Pergerakan politik di masjid kampus, yang saya sebut sebagai retorika ketakwaan, itu yang kini dilanjutkan gerakan Tarbiyah (KAMMI/LDK/PKS) melalui penguasaan masjid-masjid kampus negeri,” kata Nafi Mutohirin, Direktur Riset Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Malang.
Imdadun juga menyebut bahwa gerakan Tarbiyah di masjid kampus dilakukan PKS dengan pendekatan berbeda. Mereka memang tidak secara vulgar menyatakan ingin mendirikan negara Islam, namun berniat memasukkan nilai-nilai Islam dalam berbagai Undang-Undang.
Selain gerakan Tarbiyah di masjid, Imdadun juga menyebut bahwa “pertarungan” di antara elite Islam lama dan baru juga muncul dalam peta parpol di DPR saat ini. Partai Amanat Nasional (PAN) yang representasi Muhammadiyah dan Partai Kebangkitan Bangsa yng mewadahi kaum Nahdliyin, kerap berseberangan dengan PKS.
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 4 November 2016. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Irfan Teguh