tirto.id - Obat penyakit tuberkulosis (TBC) memiliki aturan pakai yang ketat. Penderita tuberkulosis diharuskan mengonsumsi obat TBC dalam jangka panjang dan waktu yang tepat.
Tentu aturan pakai yang ketat ini bukannya tanpa alasan. Hal ini karena adanya risiko resistensi antibiotik yang dapat memengaruhi pasien tuberkulosis apabila absen atau telat minum obat.
Padahal resistensi antibiotik adalah kondisi berbahaya yang dapat menyebabkan penyakit TBC bertambah parah karena tidak bisa diobati dengan obat-obatan yang diberikan sebelumnya.
Kasus resistensi obat pada pasien tuberkulosis di Indonesia cukup tinggi. Hal ini disampaikan langsung oleh Peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes Kindi Adam.
Kindi mengungkapkan bahwa kasus TBC-RO di Indonesia selalu mengalami peningkatan setiap tahun. Bahkan pada 2019 estimasi kasus resisten obat meningkat sebanyak 24 ribu kasus.
Tidak hanya itu, dari 24 ribu kasus tersebut hanya ada 48 persen pasien resisten yang mendapatkan pengobatan.
"Pasien yang berobat tapi obatnya lompat-lompat ada sekitar 12 ribu kasus," kata Kindi dalam media briefing Hari Tuberkulosis Dunia 2023 yang dilaksanakan pada Senin (20/3/2023).
Apa Itu Tuberkulosis Resisten Obat Antibiotik?
Tuberkulosis resisten obat atau TB-RO adalah penyakit infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis penyebab TBC yang sudah kebal obat. Kondisi resisten ini dapat disebabkan oleh penggunaan obat antibiotik tidak benar.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), obat TBC masuk dalam kategori antibiotik. Obat ini dirancang untuk menghentikan atau bahkan membunuh mikroba untuk bertahan hidup.
Namun, penggunaan obat antibiotik tidak sesuai dosis dan anjuran dapat menyebabkan perubahan genetik yang memicu mikroba bertahan hidup.
Tidak hanya itu, dalam banyak kasus resistensi, mikroba dapat berkembang dan menemukan cara mengalahkan obat antibiotik. Kondisi ini menyebabkan pasien tidak lagi bisa diobati dengan obat yang sama karena sudah tidak mempan lagi.
Penyebab Resisten Antibiotik pada Pasien TBC
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan pasien TBC mengalami resisten antibiotik.
Melalui kesempatan yang sama, Ketua Perhimpunan Organisasi Pasien (POP) TB Indonesia sekaligus penyitas TB-RO, Budi Hermawan salah satu pemicu resisten obat adalah karena menghentikan proses pengobatan secara sepihak.
Padahal, menurut Budi sifat pengobatan TBC itu seharusnya dilakukan secara rutin dan terus menerus sesuai anjuran dokter.
"Pengobatan TBC itu perlu konsisten atau dilakukan secara terus menerus," kata Budi.
Selain itu, menurut Dinas Kesehatan Kota Depok ada beberapa faktor lainnya yang dapat memicu resistensi obat pada pasien TBC, termasuk:
- tidak teratur minum obat TBC sesuai panduan;
- menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya;
- tidak memenuhi anjuran dokter atau petugas kesehatan;
- gangguan penyerapan obat akibat penyakit tertentu yang menyerang saat bersamaan;
- tertular dari pasien TB-RO lainnya.
Cara Mengetahui Resisten Obat TBC
Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi NTB menyebutkan bahwa gejala TB-RO tidak bisa dibedakan dengan gejala TBC biasa. Oleh karena itu, diperlukan tes khusus untuk mendeteksi kondisi ini.
Salah satu cara mengetahui apakah pasien TBC mengalami resisten obat atau tidak adalah melalui Tes Cepat Molekuler (TCM). Tes ini dilakukan dengan cara memeriksa spesimen dahak pasien untuk diuji di alat khusus.
Masih dalam kesempatan yang sama, Kindi menyebutkan per Januari 2023 sudah ada 19.444 fasilitas layanan kesehatan di Indonesia yang memiliki alat TCM yang tersebar di 500 kabupaten/kota.
Selain TCM, prosedur lain yang bisa dilakukan pasien untuk cek apakah tubuhnya resisten obat adalah dengan melakukan uji kepekaan obat. Uji kepekaan obat ini hasilnya lebih akurat namun memakan waktu yang lebih lama.
Cara Mengobati Resisten Obat TBC
Kabar baiknya, kondisi TB-RO masih bisa disembuhkan. Namun, pengobatannya cukup berat, membutuhkan waktu yang lama, dan mahal.
Menurut Dinkes Provinsi NTB, prinsip pengobatan TB-RO adalah dengan menemukan antibiotik lain yang diharapkan masih bisa membunuh kuman.
Umumnya, dokter bisa saja meresepkan berbagai jenis obat-obatan. Selain itu, seluruhnya harus dikonsumsi secara rutin setiap hari dalam jangka waktu 9 - 24 bulan.
Selama prosesnya, pasien mungkin dapat mengalami serangkaian efek samping obat-obatan, masalah psikologis, hingga komplikasi. Beberapa efek samping pengobatan TB-RO antara lain:
- mual dan muntah;
- kesemutan;
- sakit kepala;
- jantung berdebar;
- nyeri dada;
- sesak napas;
- kemampuan pendengaran berkurang.
Jika terjadi efek samping ini, pasien harus segera dilarikan ke rumah sakit rujukan TB-RO. Di Indonesia sendiri saat ini baru ada 405 rumah sakit rujukan TB-RO di seluruh Indonesia.
Editor: Yantina Debora