tirto.id - Seli, 29 tahun, tak pernah membayangkan dunianya yang semula berjalan normal mendadak menjadi pelik. Hanya dalam waktu beberapa bulan, keteraturan hidupnya dibuat jungkir balik karena diagnosis tuberkulosis (TB). Seli bahkan sempat putus asa dan punya niatan bunuh diri.
Setiap tahun, jumlah kasus TB di Indonesia selalu masuk tiga besar di antara negara-negara dengan kuantitas insiden tertinggi. Pada 2020 lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan insiden TB Indonesia berada pada urutan ketiga setelah China dan India. Estimasi kejadiannya mencapai lebih dari 842 ribu kasus dengan angka kematian lebih dari 98 ribu jiwa per tahun—setara 11 nyawa per jam.
“Eliminasi TB adalah tantangan, mengingat TB merupakan 10 penyakit penyebab utama meninggalnya pasien. Selain itu, banyak kasus TB tidak tercatat. Ini menjadi tantangan dalam penanganan TB,” ungkap Maxi Rein Rondonuwu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, dalam acara “Outlook Tuberculosis 2022”, Rabu (23/3/2022).
Seperti kata Maxi, upaya eliminasi TB punya banyak tantangan. Salah satunya adalah kejadian belum terlaporkan dengan presentase sebesar 32 persen. Belum lagi menyoal kejadian putus obat akibat berbagai faktor, termasuk kejenuhan dan stres pengobatan.
Sebagai penyintas Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB), misalnya, Seli menjalani pengobatan hampir satu tahun lamanya. Sebagai informasi, MDR-TB merupakan kondisi ketika bakteri Mycobacterium tuberculosis resisten alias kebal terhadap antibiotik atau obat lini pertama.
Seli pertama kali merasakan gejala TB seperti napas pendek dan mirip gejala flu seperti batuk pilek sejak awal 2020. Namun, gejala-gejala tersebut tidak kunjung membaik meski Seli sudah mengonsumsi obat bebas. Malah, hingga Juni 2020, massa tubuhnya turun drastis dan Seli dilarikan ke ruang gawat darurat karena diare.
“Perawatan di RS Swasta hanya tes mantoux dan diberi obat paru biasa. Ternyata Agustus hasil tes dahak di puskesmas menyatakan positif MDR-TB,” ungkap Seli. Pengobatannya baru dinyatakan tuntas dan sembuh pada pertengahan 2021 lalu.
Pasien dengan TB biasa umumnya menempuh pengobatan selama setengah tahun, sementara MDR-TB periodenya lebih lama, bisa mencapai dua tahun. Maka bayangkan rasanya menjadi Seli yang harus minum belasan obat dalam sehari dengan efek pusing, mual, dan muntah hebat hingga puluhan kali dalam sehari. Semuanya harus dia jalani selama periode waktu tahunan.
“Setiap mau minum obat saya pasti menangis, rasanya stres sekali. Butuh waktu hingga 3 jam hanya untuk minum obat karena harus ambil jeda istirahat, makan, dan menata mental setiap menelan butir-butir obat itu,” tuturnya.
Kalau boleh dibuat gambaran, rasanya lebih dahsyat dibanding sepuluh kali mabuk laut.
Kadang kala ibunda yang menemani Seli ikut geregetan karena dia tak kunjung menuntaskan jadwal minum obat harian. Tapi mau bagaimana lagi, bahkan baru mencium bau obatnya saja, Seli sudah merasakan gangguan psikosomatis.
Itu belum ditambah tekanan lain berupa stigma dan diskriminasi yang dia terima. Selama masa pengobatan, kantor tempat Seli bekerja memutus kontak secara sepihak, tanpa pemberitahuan. Gara-gara itu, beban hidupnya jadi berlipat-lipat lebih berat.
“Ada satu titik saya merasa sudah tidak kuat. Saya bilang sama teman-teman pendamping, ‘kalau begini rasanya (minum obat) mending saya mati saja’.”
Tuberkulosis dan Efek Psikologisnya
Di permukaan, kita hanya melihat statistik TB sebagai angka-angka kasus sebuah penyakit yang—saat ini—kalah pamor dibanding pagebluk COVID-19. Padahal, dimensi kasus TB lebih mendalam karena meliputi persoalan kemiskinan, stigma, diskriminasi, kepercayaan usang soal guna-guna, dan problem kesehatan mental.
Niatan bunuh diri yang pernah terbesit dalam pikiran Seli bukan ungkapan berlebihan belaka. Perasaannya valid ketika merasa letih luar biasa akibat perjalanan terapi TB dan tekanan ekonomi karena pemutusan hubungan kerja. Para pasien TB—terutama MDR-TB, memang lebih rentan mengalami gangguan psikologis karena efek obat yang mereka terima.
“Pengobatan MDR-TB ada yang namanya sikloserin. Itu mempengaruhi gejala psikotik,” jawab dokter ahli jiwa (psikiater) dari RS Persahabatan Tribowo Ginting saat kami tanya soal efek turunan dari pengobatan MDR-TB.
Sikloserin merupakan obat antituberkulosis oral lini kedua yang memiliki sifat toksisitas ke susunan saraf pusat. Efek gangguan psikologis akibat obat ini paling sering muncul pascatiga bulan pengobatan TB.
Namun di samping efek obat, menurut Tribowo, ada faktor lain yang memicu gejala psikotik pada pasien TB, seperti lamanya pengobatan, efek samping obat secara fisik, kekhawatiran menjadi penular, stigma, pengucilan, serta masalah ekonomi karena tak mampu beraktivitas dan bekerja secara maksimal.
Sebuah studiterhadap pasien MDR-TB di sebuah rumah sakit daerah Solo (terbit 2019) menyimpulkan adanya gejala gangguan halusinasi, kecemasan, depresi, perubahan perilaku, dan ide bunuh diri pada pasien MDR-TB. Padahal sebelumnya, para sampel penelitian tidak memiliki riwayat gangguan psikologis.
“Biasanya pasien TB dengan gangguan psikologis akan dirujuk ke kami (psikiater). Jika kondisinya berat, sikloserin akan dihentikan sementara,” lanjut Tribowo.
Setelah melakukan pengamatan pada pasien, psikiater akan memberi obat sesuai gejala. Misalnya obat antipsikologis pada pasien dengan gangguan psikotik atau antidepresan pada gejala depresi. Selain itu, psikiater juga melakukan psikoterapi suportif guna memberi semangat, pandangan rasional terhadap pengobatan, dan mengalihkan pikiran negatif pasien.
Pengobatan psikiatri idealnya dilakukan beriringan dengan terapi TB sampai pasien dinyatakan sintas. Seiring gejala psikologis berkurang, maka dosis obat psikotik juga berangsur diturunkan. Penanganan masalah psikologis ini sangat penting karena dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien, yang akhirnya berpengaruh pada kepatuhan pengobatan.
Pendampingan Psikologis adalah Keharusan
Gangguan psikologis yang tidak ditangani dengan baik akan berpotensi membuat pasien putus obat sehingga terjadi resisten obat tingkat lanjut. Pengobatan TB akan jadi lebih sulit lagi, lebih berat, dan lebih lama dari jangka waktu sebelumnya.
Ironisny, sangat jarang pasien MDR-TB mendapat pendampingan psikologis. Terapi kesehatan mental ini juga tidak masuk dalam satu paket perawatan sehingga tidak gratis seperti paket pengobatan TB. Jika ingin mengakses terapi psikologis, pasien harus melakukan konsultasi terpisah.
“Konsultasi tenaga ahli kesehatan jiwa bisa diakali dengan menggunakan BPJS Kesehatan. Jadi, pengobatannya berkolaborasi supaya bisa maksimal di status kesehatan lain,” demikian jawaban dari Sub Kordinator TB Kemenkes RI Endang Lukitosari saat kami tanya mengenai persoalan ini dalam sesi acara diskusi TB bersama Yayasan Pesona Jakarta (YPJ), Jumat, (18/3/2022).
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia memang menanggung keluhan psikologis, tapi masalah pengobatan dampingan TB tidak berhenti di sana. Masih banyak fasilitas kesehatan yang tidak memiliki layanan kesehatan jiwa, terutama di daerah luar Jawa.
Christian Lambogia, dokter praktik salah satu rumah sakit di Manado, bilang bahwa pendampingan psikologis pada pasien TB yang memiliki gejala psikiatri memang menjadi kebutuhan penting. Namun ketika tenaga kesehatan jiwa tidak tersedia, pendampingan psikologis akan dikerjakan oleh komunitas pendamping pasien TB.
“Mereka bisa memberikan motivasi kepada pasien, lalu mengedukasi lingkungan pasien terkait dukungan psikososial yang diperlukan,” kata Christian.
Yang terpenting dari semua itu, orang dengan TB harus paham bahwa penyakit ini dapat sembuh. Demikian juga gejala psikiatri yang menyertainya. Jadi, tak perlu takut menjalani pengobatan karena terapi fisik maupun mental pada pasien TB akan membantu memperbaiki kualitas hidup mereka.
Jika tak menemukan layanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan terdekat, sebagai psikiater, Tribowo menganjurkan pasien TB mencari bantuan dan dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi