Menuju konten utama

Batuk, Pilek, Radang? Jangan Obati dengan Antibiotik

Dokter sering memberi resep antibiotik sembarangan, pasien lazim tidak menghabiskan dosis obat yang diberikan.

Batuk, Pilek, Radang? Jangan Obati dengan Antibiotik
Ilustrasi antibiotik. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - “Dok, sakit radang nih, tenggorokannya merah banget”

“Ingusnya sudah berubah hijau. Pilek nggak sembuh-sembuh.”

Keluhan semacam itu sudah lazim didengar oleh Purnamawati Sujud saat memeriksa pasiennya. Kemudian para orangtua akan melanjutkan kalimat tersebut dengan meminta merek antibiotik tertentu untuk sang anak.

“Kasih yang paten ya, Dok, plafon asuransi saya masih banyak.”

Bukan cuma Wati sebagai dokter spesialis anak yang mendapati percakapan semacam itu. Mayoritas dokter pernah memperoleh cerita serupa. Masyarakat Indonesia lazim meminta antibiotik untuk penyakit-penyakit seperti batuk, pilek, radang, atau diare. Bahkan membeli obat tersebut secara bebas di apotek, tanpa resep dari dokter.

Kebiasaan buruk konsumsi antibiotik belum berhenti di situ. Masih ada deretan panjang dosa kesehatan yang lazim dilakukan masyarakat, seperti tidak menghabiskan antibiotik sesuai saran dokter, menyimpan antibiotik sebagai cadangan obat, dan mengonsumsinya untuk segala kondisi penyakit, seolah antibiotik adalah obat kelas dewa.

Laporan WHO memperkirakan kebiasaan ini dilakukan oleh 64 persen masyarakat di 12 negara. Mereka percaya antibiotik bekerja untuk infeksi virus (2005). Padahal antibiotik jelas cuma manjur untuk penyakit yang bersumber dari bakteri, bukan virus atau mikroorganisme lainnya. Sementara penyakit semacam batuk, pilek, radang, atau diare mayoritas disebabkan oleh virus.

“Pasien sering menganggap penyakit akan lama sembuhnya kalau tidak diberi antibiotik,” ungkap Wati, dokter anak sekaligus Pendiri Yayasan Orangtua Peduli (YOP).

Diare baru membutuhkan pengobatan antibiotik ketika sudah disertai darah. Sebanyak 88 persen radang juga bersumber dari serangan virus, hanya 12 persen yang disebabkan bakteri. Merahnya tenggorokan saat radang hanyalah respon tubuh yang melebarkan pembuluh darah ketika membawa sel darah putih.

Penyakit akibat virus akan sembuh ketika sistem imun tubuh kuat dan menang melawan serangan. Di sini sel darah putih berperan “menyembuhkan” sehingga sejatinya tubuh punya mekanisme memulihkan diri dari virus asal sistem imunnya kuat. Mekanisme yang sama berlaku untuk respon demam, bakteri akan mati pada suhu tinggi.

Ancaman Teror Itu Bernama Resistensi Antibiotik

Di sisi berseberangan dengan pasien, ada dokter yang ikut memperburuk fenomena penggunaan antibiotik karena memberi resep secara sembrono. Novitasari, 25 tahun, pernah mengalaminya ketika ia berobat ke salah satu klinik yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan di Tangerang Selatan.

Mulanya Novi hanya ingin meminta obat pereda nyeri karena sudah merasakan migrain selama hampir satu minggu. Tapi dokter yang memeriksa hanya memberikan amnesis tanpa memeriksa secara lanjut kondisi kesehatan Novi. Kebetulan saat itu ia juga sedang batuk pilek.

“Cuma ditanya apa yang dirasain, ya aku bilang pusing, nelen sakit, lagi batuk pilek.”

Saat mengambil resep, Novi mendapat satu strip cefadroxil monohydrate 500 mg disertai catatan untuk menghabiskan obat. Cefadroxil monohydrate merupakan antibiotik untuk mengatasi infeksi bakteri di tenggorokan, saluran kencing, kulit, atau jantung.

Lantaran sedikit paham soal seluk beluk peruntukan antibiotik, maka Novi memutuskan tidak meminum obat tersebut. Tiga hari berselang batuk pileknya reda tanpa intervensi. Menurut Wati, laku asal dari dokter yang memberikan antibiotik lebih sering diakibatkan diagnosis yang tidak yakin atau kekhawatiran penyakit bertambah parah.

“Apalagi masih banyak yang menganggap kalau dokter tidak memberi antibiotik berati bukan dokter yang baik,” katanya.

YOP pernah bekerja sama dengan WHO untuk mengamati praktik peresepan antibiotik oleh sejawat dokter. Dari 153 responden dokter (umum, spesialis, gigi) sebanyak 57 persen mengaku meresepkan antibiotik untuk kondisi tidak butuh. Sekitar 25-75 persen antibiotika diresepkan padahal tidak perlu. Kebiasaan membeli antibiotik tanpa resep juga sangat tinggi, yakni mencapai 50-90 persen.

Padahal penggunaan antibiotik yang tidak sesuai prosedur seperti contoh-contoh kasus di atas sangat berpotensi membuat bakteri dalam tubuh resisten alias kebal antibiotik. Mungkin gambaran ancaman resistensi antibiotik terasa jauh dari bayangan, maka kondisinya dapat disederhanakan seperti ini: Anda sedang sakit, obat-obatan tersedia, tapi tak ada yang mempan mengobati penyakit Anda.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), resistansi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme (bakteri, jamur, virus, dan parasit) bermutasi karena terpapar obat antimikroba (termasuk antibiotik, antijamur, antiviral, antimalaria, dan anthelmintik). Akibatnya, obat antimikroba tidak mempan mengatasi mikroorganisme baru dalam tubuh, sehingga membuat infeksi terus berlanjut, dan meningkatkan risiko penyebaran kepada orang lain.

Resistansi antimikroba dapat mengancam kemampuan tubuh dalam mengobati penyakit sehingga mengakibatkan kecacatan bahkan kematian. Suatu saat jika tubuh yang sudah kebal terhadap antimikroba, terserang mikroorganisme maka penyakitnya akan sulit disembuhkan dan memakan biaya sangat mahal.

“Nah masyarakat memang harus paham, tidak semua penyakit harus ditindaklanjuti ke dokter. Jika terkena virus, dokter pun tak bisa mempercepat proses penyembuhan,” terang Wati.

infografik resistensi antibiotik
infografik resistensi antibiotik

Upaya Memerangi Resistensi Antibiotik

Sejak penemuan penisilin oleh Alexander Fleming pada 1928, antibiotik sukses melindungi ratusan juta orang dari penyakit menular. Seluruh dunia merayakan euforia karena akses obat terhadap berbagai macam penyakit – yang selama ini dianggap mematikan – terbuka. Tapi di saat bersamaan Fleming sudah memprediksi akan ada hari di mana penemuannya tak lagi berguna bagi dunia, dan masa itu telah tiba.

Saat ini akses menuju obat-obatan jadi sangat minim karena dunia terlalu berlebihan menggunakan antibiotik. Bakteri bisa kebal terhadap antibiotik karena obat tersebut bekerja dengan membasmi atau mempersulit perkembangbiakan bakteri. Sebagian bakteri memang akan mati saat kita mengonsumsi antibiotik, tapi sebagian yang lain tetap bertahan, bermutasi menjadi kebal, dan berkembang biak.

“Semakin sering kita minum antibiotik semakin banyak bakteri di tubuh jadi resisten,” terang Wati.

Untuk berkembang, bakteri hanya butuh hitungan menit. Sementara untuk menemukan sebuah antibiotik, manusia perlu waktu hingga 20-an tahun. Sebagai perbandingan saja, antibiotik jenis sulfonamides ditemukan pada tahun 1935 tapi bakterinya sudah resisten lima tahun kemudian.

Resistensi antibiotik adalah tsunami yang tidak terlihat, ancaman bencana kemanusiaan yang tak mampu kita hentikan. Kondisi itu terjadi secara alami, biasanya melalui perubahan genetik, tapi penyalahgunaan antibiotik mempercepat proses ini. Kita hanya bisa meminimalisir efek tsunami biologi itu dengan membuat tembok pertahanan, salah satunya adalah bijak mengonsumsi antibiotik.

Baca juga artikel terkait ANTIBIOTIK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Mild report
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf