tirto.id - Luka di perut perempuan itu tak mau menyatu meski telah dijahit. Sobekan bekas operasi sesar terus menganga, memperlihatkan jaringan merah di dalamnya. Tubuh si perempuan telah membentuk resistansi antimikroba, sehingga bakteri yang menginfeksi lukanya tak bisa dimusnahkan.
Cerita di atas hanyalah gambaran bagaimana respons tubuh yang telah mengalami resistansi antimikroba. Rallya Telussa, penasihat teknis untuk Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), menunjukkannya kepada saya sembari melihat-lihat gambar luka-luka basah lainnya akibat resistansi antimikroba. Gambar-gambar ini, ujarnya, diambil di Indonesia.
“Kita tengah menuju era sebelum antibiotik ditemukan. Akibatnya, luka kecil pada tubuh pun jadi sulit sembuh,” katanya.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), resistansi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme (bakteri, jamur, virus, dan parasit) bermutasi karena terpapar obat antimikroba (antibiotik, antijamur, antiviral, antimalaria, dan anthelmintik). Akibatnya, obat antimikroba imun mengatasi mikroorganisme baru dalam tubuh, sehingga membuat infeksi terus berlanjut, dan meningkatkan risiko penyebaran kepada orang lain.
Resistansi antimikroba dapat mengancam kemampuan tubuh dalam mengobati penyakit sehingga mengakibatkan kecacatan bahkan kematian. Jika tubuh sudah kebal terhadap antimikroba, ragam prosedur medis seperti transplantasi organ, kemoterapi, pengobatan diabetes, dan operasi besar menjadi sangat berisiko. Efek dari kondisi ini, pasien harus menanggung perawatan yang lebih lama dan mahal.
Kerugian akibat Resistansi Antimikroba
Sejak penemuan penisilin oleh Alexander Fleming pada 1928, antibiotik dan jenis antimikroba lain telah melindungi ratusan juta orang dari penyakit menular. Sayangnya, penggunaan berlebihan membikin mikroba semakin sulit ditangani. Bahkan diperkirakan ada 200 ribu bayi meninggal setiap tahun akibat resistansi antimikroba.
Pertemuan global The Review on Antimicrobial Resistance pada Juli 2014 menyatakan kasus infeksi resistan terhadap antimikroba mengalami peningkatan. Di Eropa dan Amerika Serikat saja, ada 50 ribu nyawa hilang setiap tahun karena resistansi obat pada infeksi bakteri, malaria, HIV/AIDS atau TBC.
Pertemuan ini memperkirakan korban meninggal secara global mencapai sedikitnya 700 ribu setiap tahun. Pada 2050, jumlah ini diprediksi naik mencapai 10 juta orang, dengan korban terbesar sekitar 4 juta orang dari Afrika dan Asia. Prediksi biaya kesehatan untuk mengatasinya mencapai hingga 100 triliun dolar AS per tahun.
Ada beberapa kasus penyakit yang ditengarai makin sulit diobati karena kondisi ini. Pada 2016, WHO telah mengidentifikasi resistansi terhadap pengobatan lini pertama malaria di lima negara, yakni Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Resistansi antimikroba juga sudah menyerang sekitar 15 persen orang yang memulai pengobatan HIV. Sebanyak 40 persen orang dengan HIV juga harus mengulang pengobatan.
Antibiotik carbapenem untuk pengobatan tahap terakhir pneumonia (radang paru-paru) dilaporkan tak bekerja pada lebih dari separuh pasien. Bahkan untuk virus yang sering menjangkiti manusia seperti influenza A, sebanyak dua persennya sudah resistan terhadap obat antiviral.
Bijak Mengonsumsi Antimikroba
Jika Anda termasuk orang yang sering mengonsumsi antibiotik sembarangan, termasuk menyisakan resep dokter dan membeli secara bebas di apotik, bersiaplah menuju era pra-antibiotik lebih cepat. Saat ini, menurut FAO, ada 70 persen bakteri di dunia yang sudah resistan antibiotik.
Obat kolistin sebagai agen terakhir untuk memerangi bakteri yang resistan terhadap antibiotik terkuat pun tak lagi efektif. Alarm peringatan ini mulai berdering kali pertama pada 2015 di Tiongkok.
Sejak itu, berturut-turut Eropa dan Kanada melaporkan penemuan yang sama. Pengujian sampel klinis infeksi saluran kencing seorang pasien di sebuah fasilitas perawatan militer di Pennsylvania menunjukkan tak ada dosis kolistin yang efektif mengobati infeksi bakteri tersebut.
“Untuk berkembang, bakteri hanya butuh waktu bulanan bahkan mingguan. Sementara untuk menemukan sebuah antibiotik, manusia perlu waktu hingga 20-an tahun,” ujar Rallya Telussa dari FAO.
Mendengar penjelasan Rallya rasanya membikin kita putus asa. Resistansi antimikroba memang terjadi secara alami dari waktu ke waktu, biasanya melalui perubahan genetik. Namun, penyalahgunaan dan penggunaan berlebihan antimikroba mempercepat proses ini.
Banyak dari kita tak sadar telah mempercepat proses tersebut dengan menyalahgunakan antimikroba. Misalnya, dengan mengonsumsi antibiotik saat terserang infeksi virus seperti pilek dan flu. Padahal antibiotik secara spesifik diciptakan untuk menghancurkan bakteri, bukan virus.
Menurut WHO, kebiasaan ini dilakukan oleh masyarakat di 12 negara. Sebanyak 64 persen dari mereka percaya antibiotik bekerja untuk infeksi virus seperti influenza dan pilek.
Konsumsi daging yang diberi antibiotik sebagai promoter pertumbuhan atau pencegah penyakit juga turut menyumbang resistansi antimikroba pada manusia.
Mikroba resistan dapat ditemukan pada manusia, hewan, makanan, dan lingkungan seperti air, tanah dan udara. Mereka menyebar antara manusia dan hewan, termasuk dari makanan hewani, juga antarmanusia. Penyebarannya didorong oleh kontrol infeksi yang buruk, kondisi sanitasi yang tidak adekuat, dan ketidaktepatan penanganan makanan.
Penelitian berjudul "Apakah pemakaian antibiotik pada pakan hewan bisa menimbulkan risiko terhadap kesehatan manusia," dalam Journal Antimicrobial Chemotherapy pada 2004, menjelaskan bahwa penyebaran resistansi antimikroba dapat terjadi lewat makanan.
Patogen dapat beregenerasi menjadi resistan di lingkungan dan tersebar melalui limbah dan hewan liar, terutama hewan pengerat dan unggas. Selanjutnya, patogen diteruskan hewan melalui kotoran ke lahan penggembalaan atau makanan hewan ternak.
Tanaman yang menggunakan pupuk dari kotoran hewan juga rentan menjadi media penyebaran resistansi antimikroba. Sayur dan daging hewan ternak atau hewan liar, yang telah mengandung resistansi antimikroba, dapat berpindah saat dikonsumsi manusia.
“Resistansi antimikroba memang tak bisa dihindari, tetapi bisa dikendalikan,” kata Rallya.
Caranya, minumlah antibiotik hanya bila diperlukan dan diresepkan dokter. Jangan pernah menghentikan konsumsinya hanya karena merasa sudah sehat. Langkah selanjutnya: Anda dilarang menggunakan antibiotik untuk jenis penyakit karena virus. Terakhir, cucilah tangan serta bersihkan sayur, buah-buahan, dan telur sebelum dikonsumsi guna menghindari penularan penyakit infeksi.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam