Menuju konten utama

Hobi Menyantap Hewan Liar Bikin Satwa Punah

Sebagian masyarakat yang mempertahankan tradisi bushmeat menjadikan daging hewan liar sebagai sumber pangan yang murah.

Hobi Menyantap Hewan Liar Bikin Satwa Punah
Ilustrasi: Manusia, pemakan segala jenis binatang. tirto.id/Nadya

tirto.id - “Se-mu-a. Ada kelelawar, anjing, kucing, biawak, masih banyak lagi,” ujar Fine Wolajan menekankan kata "semua" untuk kebiasaan warga dari Sulawesi Utara yang melahap segala jenis daging.

Wolajan, yang berasal dari Manado, menyebut kebiasaan tersebut—istilah terkenalnya bushmeat—sebagai aktivitas menyantap satwa liar.

Anda mungkin sudah tahu bahwa bushmeat membuat beberapa wilayah di Sulawesi Utara terkenal. Salah satunya di Tomohon. Anda bisa mendapati pasar makanan ekstrem: kelelawar bakar, tikus hutan, ular piton, yaki (monyet hitam Sulawesi), biawak, anjing, dan kucing. Hal ini bahkan jadi daya tarik wisata.

Para penjual biasa memasok hewan-hewan itu dari para pemburu. Ada yang diambil dari jalanan, seperti anjing dan kucing; ada juga yang diburu seperti kelelawar, tikus, ular, yaki, atau biawak. Mereka tak ragu memasuki hutan-hutan liar di pedalaman.

“Setiap minggu pasti ada, apalagi setiap hari-hari besar keagamaan,” ujar Wolajan ketika saya bertanya seberapa sering menu ekstrem itu tersaji di meja makan.

Si Miskin Penyantap Bushmeat

Kemunculan tradisi bushmeat, menurut laporanNational Geographic Indonesia pada 2013, bermula pada masa 50-70 ribu tahun sebelum Masehi. Moyang manusia modern, yang bergantung dalam konsumsi hewan buruan, menyebar ke pelbagai penjuru dunia, mengikuti ketersediaan pangan.

Tradisi ini kian berkurang setelah manusia memiliki keahlian berternak dan bercocok tanam. Namun, aktivitas bushmeat masih bisa ditemukan di beberapa wilayah di dunia, seperti di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia. Jamaknya, daerah-daerah ini masih punya banyak hutan, padang sabana, atau semak-semak tempat hewan-hewan liar hidup.

“Titik panasnya ada di Indonesia, Tiongkok, India, beberapa negara di Afrika dan Eropa,” ujar dokter hewan Andri Jatikusumah dari Badan Pangan dan Pertanian (FAO) dalam satu lokakarya di Bogor, beberapa waktu lalu.

Sebagian masyarakat yang mempertahankan tradisi bushmeat menjadikan daging hewan liar sebagai sumber pangan yang murah. Faktor ekonomi menjadi alasan utama di balik aktivitas ini.

Konsumsi protein hewan buruan jelas lebih murah dibandingkan harus membeli daging ternak. Jika harus membeli, harga yang ditawarkan daging bushmeat masih di bawah daging ternak.

“Selain karena faktor sosial dan tradisi, ada kecenderungan bushmeat dipilih karena kondisi ekonomi keluarga,” kata Jatikusumah, yang juga penggiat Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies, lembaga nirlaba sekumpulan dokter hewan yang peduli pada isu pengembangan kesehatan hewan di Indonesia.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat menguatkan dugaan ini. Studi konsumsi di Kamerun, benua Afrika, menggambarkan bahwa bushmeat dilakukan oleh banyak rumah tangga miskin. Jika pun ada tren yang menggeser tradisi ini sebagai santapan mewah atau unik, jumlah peminatnya sedikit.

Ada selisih dua kali lipat pengeluaran untuk menyantap daging bushmeat antara si miskin dan si kaya, yakni antara 16-17 persen dibandingkan 7-9 persen. Perputaran uang untuk menyantap daging bushmeat di Yaoundé, salah satu daerah di Kamerun, diperkirakan mencapai 4 juta dolar AS per tahun.

Kondisi tak jauh beda terjadi di Sulawesi Utara. Penduduk setempat lazim menyajikan santapan daging unik dalam setiap perayaan. Kualifikasinya mencakup semua jenis daging di luar peternakan.

Untuk daging kelelawar, misalnya, selain alasan ekonomi, kepercayaan penduduk setempat turut mendorong peningkatan konsumsi. Hati dan jantung kelelawar dipercaya menyembuhkan asma, menganggap kelelawar sebagai sumber protein andal karena hewan nokturnal ini tinggal di hutan dan hanya memakan buah.

Bahkan beberapa dekade terakhir, perdagangan bushmeat di tingkat lokal berkembang menjadi jaringan perdagangan multi-provinsi. Pasar di Sulawesi Utara terhubung melalui jaringan distribusi dengan Tomohon, Langowan, dan Motoling sebagai pemasok pasar lain. Tomohon menetapkan diri sebagai pasar utama yang menjaga persediaan daging kelelawar.

Fakta ini dipaparkan dalam jurnal Global Ecology and Conservation pada 2015. Permintaannya bisa naik menjadi 60-70 persen pada hari-hari besar seperti Natal dan tahun baru. Perhitungannya: ada 45-75 ekor kelelawar yang diburu setiap hari, dan jumlahnya meningkat antara 150-445 ekor pada akhir pekan.

Dari sumber yang sama, ditulis oleh Sheherazade dan Susan M. Tsan, rata-rata setiap penjual daging kelelawar mendapatkan untung hingga Rp50 juta per tahun (estimasi laba bersih pada 2015). Kelompok etnis lokal menjadi aktor utama perdagangan daging kelelawar. Sebanyak 97 persen penjual dan 85 persen pembeli daging kelelawar berasal dari suku Minahasa dan Sangir.

Penduduk Sulawesi Utara mengonsumsi kelelawar setidaknya sebulan sekali, menurut penelitian tersebut pada 2015. Guna menutupi lonjakan permintaan saat hari libur atau hari besar keagamaan, pasokan kelelawar didatangkan dari provinsi lain sebanyak 500 ton.

Infografik HL Indepth Zoonosis

Bushmeat Mengancam Keanekaragaman Hewani

Kelelawar menjadi komoditas besar bushmeat di Indonesia karena tak terlindungi payung hukum. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam masih berfokus menangani hewan endemik yang dinilai memiliki tingkat kepunahan tinggi.

Minimnya regulasi membuat perdagangan kelelawar menjadi peluang ekonomi yang menarik bagi penduduk setempat. Di Kalimantan, misalnya, penjualan hewan ini menjadi pendapatan utama.

Selain kelelawar, babi hutan, ular, primata, dan hewan liar lain juga terancam karena tingginya perburuan demi, salah satunya, menyuapi tradisi bushmeat.

Penelitian lain dalam jurnal Royal Society Open Science pada 2016, berjudul "Berburu Bushmeat dan Risiko Kepunahan pada Mamalia Dunia", mengonfirmasi spesies paling terancam karena perburuan. Primata menempati peringkat pertama dengan 126 spesies terancam punah. Berikutnya hewan berkuku genap (65 spesies), kelelawar (27 spesies), hewan berkantung (26 spesies), hewan pengerat (21 spesies), dan karnivora (12 spesies).

Bushmeat tetap menjadi alasan utama perburuan hewan liar, baik untuk konsumsi harian maupun obat. Penelitian itu menjelaskan bahwa ada dua alasan lain hewan-hewan liar itu diburu: untuk peliharaan dan aksesori atau pemanis ruangan.

“Praktik ini terjadi di negara-negara dengan tingkat keamanan pangan rendah, dan kurang peraturan hukum,” kesimpulan para peneliti.

Baca juga artikel terkait SPESIES PUNAH atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam